Chapter III : Celestial Demons

3 1 0
                                    

Malam sebelum pembunuhan massal itu terjadi, angin dingin berhembus melewati gedung tua yang terletak di Distrik 1, membelai dinding batu yang mulai rapuh. Gedung itu pernah menjadi markas yang megah, namun kini hanya tinggal bayangan kejayaannya.

Gedung itu adalah peninggalan masa lalu, dikelilingi oleh dinding-dinding kusam yang pernah menyaksikan banyak pertemuan rahasia. Di dalam, suasana sunyi menyelimuti ruang besar yang dipenuhi kursi-kursi berantakan dan meja-meja yang penuh dengan sisa-sisa minuman dan makanan, bukti pertemuan mereka sebelumnya.

Keheningan malam itu nyaris tidak wajar. Udara terasa tegang, seolah ada sesuatu yang menunggu untuk meledak. Para Iblis Surgawi—makhluk yang konon berasal dari surga, namun tercampakkan karena ambisi dan kegelapan hati mereka—duduk dalam kebosanan yang mendalam. Tidak ada obrolan, tidak ada tawa. Mereka hanya menunggu, tanpa tujuan yang jelas, hingga suasana hening dan membosankan itu terpecah oleh suara yang tak sabar.

Azariel, sang Dewa Kegelapan, yang kabutnya menguasai dunia bawah, merasakan kejenuhan yang tak tertahankan. Kepalanya bersandar di belakang kursi, kedua kakinya dilipat santai di atas meja yang penuh dengan debu dan noda darah kering. Ia menghela napas panjang, mencoba memecah kebosanan yang merayap ke dalam tulang-tulangnya.

"Apa kita tidak bisa melakukan sesuatu yang lebih menarik?" suaranya bergetar, penuh dengan kejenuhan, memecah kesunyian yang menggantung di udara. "Aku bisa mati kebosanan disini,"

Dia melipat tangan di belakang kepalanya dan menatap langit-langit. Kursi yang ia duduki berderit saat ia mengayunkannya dengan kakinya, menciptakan suara yang memantul di dinding yang kosong. Para Iblis lainnya hanya memandangnya sejenak, sebelum suara lain yang lebih berat dan seram menyahut.

Tiamathor, si monster laut, tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi tajamnya. Senyum di wajahnya tampak seperti seseorang yang baru saja menemukan hiburan di tengah kekosongan. Suara beratnya menggema dengan nada yang tidak menyenangkan.

"Bermain?" matanya yang melotot berkilat gila. "Itu terdengar menarik."

Tiamathor memiliki tubuh tinggi dengan tentakel menjalar di sekujur tubuhnya, meski diselimuti kegilaan, dia terlihat lumayan tampan. Ada sesuatu yang menyeramkan dalam cara ia bergerak, tentakelnya meliuk-liuk seolah ingin menerkam.

Di sisi lain ruangan, Xolhuatl, Dewa Kematian, duduk dengan angkuh. Bibirnya yang tebal membentuk senyuman sinis saat ia menopang dagu, sesekali menjilat bibir dengan lidah panjangnya.

"Bagaimana kalau kita melanggar peraturan?" ujarnya santai, meneguk minuman keras yang berkilauan dalam gelasnya.

Xolhuatl, meskipun dikenal kejam dalam membantai mangsanya, memiliki pesona aneh. Sosoknya penuh kharisma, meski auranya memancarkan kekejaman. Saat dia mengangkat gelas, matanya berkilau puas.

"Minuman keras dari darah manusia adalah yang terbaik. Bersulang untuk diriku sendiri, cheers!" ia meneguk minuman keras dari cangkir berukir tengkorak yang ada di tangannya. Darah manusia yang telah difermentasi—minuman favoritnya—terlihat memercik di pinggir cangkir saat dia meminum habis isinya dengan satu tegukan.

Azariel, yang masih bersantai di kursinya, menatap Xolhuatl dengan harap, matanya membesar seperti anak anjing. "Xol~ bisakah kau memberikanku secangkir? Boleh ya?"

Xolhuatl menatapnya dengan alis terangkat dan tersenyum angkuh. "Huh? Tidak." jari telunjuknya bergerak ke kiri dan kanan dengan gerakan songong. "Cari sendiri sana, Azariel."

Azariel mendengus, lalu kembali bersandar, tak ingin memperpanjang masalah. Namun, ketegangan di ruangan itu mulai terasa lebih jelas. Tiamathor menggerakkan tentakelnya dengan gelisah.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 10, 2024 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

The RulerWhere stories live. Discover now