02

69 13 0
                                    

Suatu hari, di kantin sekolah, Joey duduk sendirian di sudut, memainkan makanan di atas piringnya. Suasana ramai di sekitar membuatnya semakin merasa terasing. Teman-teman sekelasnya yang lain tertawa dan bercanda, sementara Joey hanya bisa menatap kosong. Tiba-tiba, sekelompok siswa mendekatinya dengan senyuman mengejek.

“Lihat siapa yang kita miliki di sini, si omega lemah!” salah satu dari mereka berteriak, mengangkat suaranya agar semua orang mendengar. “Apakah kamu sudah siap untuk lebih banyak serangan asma, Joey?”

Mereka semua tertawa, dan Joey merasakan wajahnya memerah. Kata-kata mereka menusuk lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan. Ia berusaha untuk tidak memperdulikan mereka, tetapi hatinya semakin hancur. Dengan tangan bergetar, ia hanya menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata.

“Mengapa kau tidak mengundang alpha-mu? Oh, tunggu, mungkin dia terlalu sibuk dengan teman-temannya yang lebih keren daripada kamu!” seru yang lain, dan tawa mereka semakin keras. Joey bisa merasakan semua mata tertuju padanya, dan seolah-olah dunia runtuh di sekelilingnya.

Di sisi lain, Aiden duduk di meja bersama teman-temannya. Dia melihat Joey di sudut, diolok-olok oleh teman-teman sekelasnya, tetapi dia tidak peduli. Dia merasa seolah-olah itu bukan urusannya. Mengapa dia harus peduli?  Apa yang terjadi di sekolah padanya tidak memengaruhi posisinya, dan itu sudah cukup baginya.

Joey berusaha menahan diri agar tidak menangis, tetapi air mata mulai mengalir tanpa bisa ia tahan. Suasana di kantin seolah memudar, semua suara hilang, hanya ada tawa mengejek yang terus bergaung di telinganya. Dia mengumpulkan keberanian untuk berdiri dan pergi dari sana, tetapi saat dia melangkah, seseorang mendorong bahunya dengan keras.

“Ke mana kau pergi, lemah? Apakah kamu akan lari lagi?” olok-olok itu semakin menyakitkan, dan Joey merasa semua harapannya untuk dihargai hancur berantakan.

Tanpa melihat ke belakang, Joey berlari keluar dari kantin, merasakan tatapan teman-teman sekelasnya menembus punggungnya. Dia hanya ingin bersembunyi, menjauh dari semua yang menyakitkan. Ketika dia akhirnya sampai di toilet, dia membasuh wajahnya dengan air, berharap bisa menghapus semua rasa sakit itu. Namun, air matanya hanya membuatnya merasa lebih lemah.

Di luar toilet, dia berpapasan dengan Aiden yang baru saja keluar dari kantin. Saat mata mereka bertemu, Joey merasakan campuran harapan dan keputusasaan. “Aiden,” panggilnya, suaranya bergetar. “Tolong, mereka menggangguku…”

Aiden hanya meliriknya sejenak, lalu melanjutkan langkahnya tanpa menjawab. “Selesaikan urusanmu sendiri,” katanya dingin. Joey tertegun, hatinya hancur melihat betapa acuhnya Aiden. Seolah-olah tidak ada ikatan di antara mereka, seolah-olah Joey hanyalah orang asing padahal beberapa yang lalu mereka resmi berpacaran.

Sisa hari itu terasa seperti siksaan. Di setiap sudut sekolah, dia merasakan tatapan orang-orang yang mengenalnya, yang melihatnya sebagai omega yang lemah dan tidak berharga. Setiap kali seseorang berbisik atau tertawa, hatinya bergetar dengan ketakutan dan kepedihan. Dia merasa semakin terasing, semakin tidak berharga. Semua ini terjadi di hadapan Aiden, dan tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah keadaan.

Di rumah, Joey merasa letih. Dia duduk di sudut kamar, merangkul lututnya. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengatasi perasaannya, dan tidak ada Aiden yang datang untuk menyemangatinya. Dia merindukan kebaikan yang diberikan oleh ibunya yang telah tiada, merindukan cinta yang tulus dan perhatian tanpa syarat.

Malam itu, saat Aiden pulang ke apartemen, dia melihat Joey yang duduk sendirian di sudut ruangan. Meskipun Aiden ingin melewatkannya, ada sesuatu yang membuatnya berhenti sejenak. Joey tampak begitu rapuh, dan untuk pertama kalinya, Aiden merasakan secercah rasa bersalah di dalam hatinya. Namun, ia segera menepisnya. Ini bukan urusannya. Tidak ada yang bisa dia lakukan.

“Kenapa kau tidak tidur?” tanya Aiden, suaranya datar.

Joey mengangkat wajahnya, tetapi tidak ada yang bisa ia katakan. Dia hanya menatap Aiden dengan mata penuh harapan yang hancur. Dalam hatinya, dia ingin berteriak, ingin mengungkapkan semua rasa sakit yang dia rasakan, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya.

“Jika kau tidak ingin membicarakannya, aku tidak bisa membantumu,” Aiden melanjutkan, merasa bahwa segala sesuatu sudah cukup jelas. Tanpa menunggu jawaban, dia pergi ke kamarnya, meninggalkan Joey sendirian dengan kesedihannya.

Hari-hari berlalu, dan Joey semakin terjebak dalam pusaran kesedihan. Rasa sakit dari perlakuan teman-teman sekelasnya masih membekas, dan kini dia merasa tidak ada lagi kekuatan untuk melawan. Dia mengurung diri di dalam kamar, menghindari pertemuan dengan dunia luar. Setiap pagi, ketika alarm berdering, ketakutan menyergapnya, dan keinginan untuk pergi ke sekolah sirna seketika.

Joey lebih memilih duduk di sudut kamar, membiarkan bayang-bayang kesedihan menyelimutinya. Dia menghabiskan waktu berjam-jam hanya dengan menatap dinding, terjebak dalam pikirannya sendiri. Rasanya semakin sulit untuk beranjak dari tempatnya, seolah dunia di luar kamar menjadi tempat yang terlalu menakutkan untuk dijelajahi.
“Apa aku harus pergi ke sekolah?” bisiknya pada diri sendiri, suara itu penuh keraguan.

Namun, harinya tidak mungkin diabaikan selamanya. Suatu pagi, saat sudah hampir siang, Aiden mengetuk pintu kamar Joey. “Joey! Ayo cepat keluar! Kita harus pergi ke sekolah!” teriaknya, nada suaranya mencerminkan ketidakpuasan.

Joey hanya menggelengkan kepala, mengharapkan Aiden pergi. Dia tidak ingin berhadapan dengan realitas yang menakutkan di luar sana. “Aku tidak mau!” jawabnya dengan suara yang hampir tidak terdengar.

"Keluar sekarang juga!” Suaranya meninggi, dan dorongan untuk mendobrak pintu semakin kuat.

Mendengar ketukan keras di pintu, Joey terlonjak, jantungnya berdebar kencang. Dia tahu Aiden tidak akan berhenti. Dia merasa terjebak, dan tidak ada cara untuk melarikan diri. Dengan sekali dorong, Aiden mendobrak pintu kamar, membuka pintu dengan kekuatan yang mengejutkan. Joey terperangah melihat Aiden berdiri di ambang pintu, wajahnya menunjukkan kemarahan yang mendidih. “Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau mengurung diri?”

“Aku tidak mau ke sekolah!” jawab Joey, suaranya kini lebih tegas, tetapi masih menggigil. “Aku tidak mau berhadapan dengan mereka lagi!”

Aiden melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. “Kau pura-pura tidak mendengarkan mereka sialan,” katanya, matanya menatap tajam.

“Bagaimana bisa kau mengerti? Kau tidak merasakannya!” Joey merasa marah, tetapi juga bingung dengan perasaannya sendiri. Mengapa dia merasa perlu menjelaskan semua ini pada Aiden? “Kau tidak tahu betapa menyakitkannya semua ini. Semua orang mengejekku, dan kau—kau hanya duduk di sana, tidak peduli!”

Aiden menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Kau tampak sehat-sehat saja, jadi pergilah ke sekolah besok, suaranya semakin keras.

“Kalau begitu, pukul aku!” seru Joey, tertegun dengan emosinya sendiri. “Kalau kau tidak peduli, kenapa tidak lakukan saja? Kau bisa menghajar aku agar aku tidak pergi ke sekolah!”

Aiden merasa seolah seluruh emosinya terakumulasi dalam satu ledakan, dia memutuskan melangkah keluar dari kamar Joey.

The Weight of a PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang