🍀 𝐓𝐢𝐠𝐚 🍀

35 10 0
                                    

🍀 𝐓𝐢𝐠𝐚 🍀

Benja terkekeh ketika melihat Bee yang tengah menggerutu sembari mengantri. Wajar saja, bubur ayam itu sudah sangat lama dan rasanya juga enak. Tidak heran jika Bee mampir tanpa pamit.

“Abang cariin ternyata lagi di sini. Udah nunggu berapa menit?” ledek Benja yang tiba-tiba datang membuat Bee memajukan bibirnya.

“Tiga puluh menit ada kali Abang! Tapi penjualnya enggak nengok-nengok ke Adek! Kenapa kalau Abang yang beli langsung jadi?! Sedangkan Adek?”

Mengelus rambut Bee pelan dengan tersenyum. Dirinya menoleh kala mendengar suara sang Papi tengah mengomeli Daddy di sepanjang jalan.

“Enggak ada malunya Papi. Udah, sana Adek nyari tempat, nyusul Daddy sama Papi. Biar Abang yang antri,” saran Benja, yang langsung dihadiahi kecupan di pipinya.

“Makasih Abang Benja! Adek ke Daddy sama Papi dulu!”

Bee melambaikan tangannya dengan tersenyum dan berjalan menuju sang ayah. Betra langsung membopong Bee depan kala anak bungsunya itu sudah berada di depannya. Membuatnya menjawil hidung sang anak.

“Eum! Nakal banget si, pergi enggak pamit heh?”

Sedangkan Belva bersyukur dalam hati ketika dugaan Benja benar. Dirinya melirik ke anak sulungnya, yang benar saja banyak yang mengajaknya berfoto.

Belva geleng-geleng kepala melihatnya. “Triknya masih aja, sama.”

“Papi, maafin Adek ya? Yang pergi tanpa pamit,” sesal Bee sadar, jika dirinya pasti tadi membuat orang tuanya panaik ketika tidka mendapati dirinya ada di belakang mereka.

“Iya, Papi maafin, tapi kalau mau pergi izin dulu sama Daddy, Papi, kalau enggak ya sama Abang. Kita enggak larang Adek kok, biar nantinya gampang kalau nyari. Paham?”

Bee mengangguk keras hingga Betra tersenyum tipis menjaga bungsunya agar tidak jatuh di gendongannya. “Siap!”

Tidak lama mereka makan bubur ayam, kini selesai. Waktu menunjukan pukul tujuh lebih sepuluh. Mereka memutuskan untuk pulang ke rumah. Tapi, baru beberapa langkah nereka pergi dari tempat mereka makan, Belva dikejutkan dengan orang yang tiba-tiba datang dan memeluknya dalam tangisan.

“Bel, gue enggak tahu harus gimana, hati gue sakit Bel, sakit.”

Mendengar hal itu, Belva menyuruh mereka agar pulang kebih dulu. Urusan temannya ini akan sangat panjang jika temannya ini sudah mendatanginya dengan tangisan pilu seperti ini.

“Ya udah, yuk Bang, Dek! Kita pulang dulu. Kalian harus mandi, katanya mau ada temen yang main.”

Ketiganya berjalan beriringan. Sesekali Benjamin dengan otak jahilnya menjahili sang adik yang asyik bercerita tentang sekolahnya.

“Ish! Abang, sini! Adek cubit paha nya!”

“Enggak kena wle-wle!”

Untunglah sudah memasuki area perumahannya, yang mana jalanan tidak ada yang mengunakan alat transportasi di pagi hari weekend seperti ini. Jadinya anak-anaknya bisa bebas saling mengejar satu sama lain. Tidak lupa menyapa tetangga-tetangganya yang tengah jalan santai di depan rumah masing-masing.

𝗕𝗲𝗻𝗱𝗮𝗹𝗮 𝗙𝗮𝗺𝗶𝗹𝘆Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang