PROLOG

65 4 0
                                    


"Kamu bercanda? Bulan depan kita akan menikah dan sekarang kamu minta putus?" Raya menyambar jus jeruk di depannya cepat. Tenggorokannya mendadak kering. Lalu kemudian tersedak.

"Hati-hati, Ray."

Ditepisnya tangan pria yang duduk di depannya. "Stop. Nggak usah sok baik setelah apa yang kamu katakan tadi." Mulutnya berdecak kesal, napasnya masih berderu cepat. Masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Gila, ya. Di saat semua udah siap, hanya tinggal sebar undangan. Bahkan aku udah suntik tetanus pranikah yang rasanya sangat sakit itu. Kamu ini gila, edan atau nggak waras, sih?"

"Aku minta maaf."

"Kamu lebih pantas bilang minta ditonjok."

"Lakukan jika itu bisa mengobati sakit hati kamu."

"Yang ada tangan aku yang sakit. Dasar bego."

Pria itu mendelik kaget. Raya mengerti. Kata kasar sangat jarang keluar dari mulutnya. Bahkan beberapa menit lalu ia masih menyambut tunangannya dengan sopan, lengkap dengan panggilan 'Mas Adit'.

"Kenapa? Kaget lihat reaksi aku kayak gini? Enggak sesuai harapan kamu, ya? Kamu berharap aku bakal nangis-nangis kayak cewek yang menyesal setelah lepas perawan sebelum nikah?"

Adit masih menatapnya dengan tatapan tak percaya. "Kamu... nggak sakit hati?"

"Kamu pikir aku pohon pisang yang hanya punya jantung doang? Aku masih manusia yang punya hati." Beberapa kali Raya menghembuskan napas mencari ketenangan. Sampai akhirnya suaranya tidak lagi menggebu seperti sebeumnya. "Tapi otak cerdasku ini langsung berpikir cepat. Setelah kamu mengatakan itu, otomatis harapanku habis. Kamu laki-laki, calon pemimpin keluarga. Kalau pemimpinnya aja udah enggak menginginkan aku, percuma aku berjuang, ke depannya bakal capek sendiri."

"Ray−"

"Ya Allah." Sekali lagi Raya membuang napas cepat, sedikit melihat ke atas dengan tangan saling menelungkup. "Aku bukan hamba yang baik, tapi kenapa Engkau sebaik ini dengan menjauhkanku dari laki-laki red flag seperti Adit? Terimakasih, Ya Allah."

"Aku punya alasan, Ray."

Raya kembali menatap Adit. "Baik. Katakan." Lalu telapak tangannya terangkat. "Tolong jangan bilang alasannya karena 'aku terlalu baik buat kamu'. Orang tuaku nggak akan terima alasan klise khas anak abege seperti itu. Kita udah sama-sama dewasa, oke."

Adit tidak langsung menjawab, seolah dia butuh kekuatan untuk mengeluarkan isi kepalanya.

Raya melanjutkan. "Akan sangat masuk akal jika alasannya kamu menghamili anak orang. Dengan begitu mau tidak mau kamu harus menikahi dia."

Seketika tubuh Adit menegang, matanya berkedip beberapa kali, melihat kearah mana pun kecuali ke arah Raya.

Dan Raya melihat setiap perubahan itu, seketika terkesiap. "Astaga. Jangan bilang tebakanku benar?"

Ketika mata Adit terpejam dengan kepala sedikit menunduk, Raya sudah mendapat jawabannya. Senyum getirnya terbit. "Apa karena waktu itu aku menolak memberikan itu sebelum kita resmi menikah dan akhirnya kamu mencari pelarian ke cewek lain?"

Adit menggeleng.

"Atau ini kamu yang sebenarnya. Pria yang suka berpetualang dari cewek satu ke cewek yang lain?"

"Enggak, Ray. Aku dijebak. Aku cinta kamu. Aku nggak mungkin dengan sengaja mengkhianati kamu."

Lagi-lagi Raya mengangkat tangannya agar Adit berhenti. Raya pikir drama seperti ini hanya ada di novel, ternyata ia mengalami sendiri. Miris sekali nasibnya. "Siapa dia?"

HAI, MANTAN. NIKAH, YUK!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang