3. Perkara Jodoh

26 2 0
                                    


Di meja itu sudah ada makanan dan minuman yang disediakan panitia. Setelah menggabungkan makanan yang mereka bawa disana, Raya membawa tumbler berisi kopi yang dibuat ibunya untuk sang ayah. Sementara Sagara membantu beberapa orang yang meminta umpan.

"Ayah, ini kopi dari Bunda."

Pria bertubuh gagah itu tersenyum menyambut putri bungsunya. "Tolong ambilkan dua gelas, Ray," lalu menoleh kearah kanan. "Pak, ngopi dulu."

Ternyata dia memanggil Pak Arya−ayah Sagara sekaligus pemilik kolam ini.

Raya sudah menuangkan kopi ke dalam dua gelas kertas, memberikan kepada ayahnya dan Pak Arya. Ia menurut saat Pak Arya memberinya kursi kecil untuk duduk.

"Makasih, Pakde."

Kolam ini ramai. Katanya ada lebih dari seratus kilo ikan yang bisa warga rebutkan. Beberapa orang juga terlihat sedang menarik alat pancingnya dan muncul seekor ikan di permukaan air.

"Wuih, itu Pak Samsul dapat gede banget ikannya. Coba aku lihat ember Ayah, udah dapat ikan berap−ya, ampun. Ayah daritadi ngapain aja? Masa baru dapat dua ekor. Mana kecil-kecil lagi." Raya melihat ember itu dengan tatapan mengenaskan.

"Belum itu, baru pemanasan. Habis ini juga bakal dapat lebih gede dari punya Samsul," sahut Pak Ridho−ayah Raya.

Pak Arya yang mendengar itu seketika tertawa. "Ayah kamu mana bisa mancing, Ray."

"Tapi tiap mancing sama Pakde, Ayah selalu bawa ikan banyak. Gede-gede lagi."

"Ya jelas. Wong ikannya diserok pakai itu." Pak Arya menunjuk jaring-jaring dengan gagang panjang di pojokan.

"Jangan buka kedok dong, Pak," gerutu Pak Ridho, kembali menatap Raya. "Ayah bukan enggak bisa, cuma belum jodoh aja itu ikan sama kail Ayah."

"Benar itu, Om." Sagara muncul dengan membawa ember kecil. "Coba pakai umpan ini, siapa tau rejeki."

Pak Ridho menarik pancingnya, membiarkan Sagara memasang cacing di ujung kail. Ditiupnya umpan itu seolah itu adalah cara jitu agar umpannya dimakan ikan.

"Wuidih, segala ditiup. Enggak sekalian disembur biar kayak mbah dukun," ledek Raya dengan bibir bawah yang dimajukan.

"Ngeledek kamu, ya. Lihat. Umpan ini pasti berjodoh sama ikan gurame kesukaan kamu." Dilemparnya ujung pancing itu ke kolam.

"Enggak bisa mah enggak bisa aja, Yah. Enggak usah pakai alibi jodoh," ucap Raya. "Ini Sagara juga ngapain bawa-bawa rejeki."

"Lah, kok aku dibawa-bawa," sahut Sagara yang ikut duduk di lantai semen itu.

"Tenang, Raya. Nanti Pakde kasih ikan gurame buat kamu karena Pakde juga enggak yakin sama ayah kamu."

Pak Arya dan Raya tertawa.

"Ini kenapa jadi berseberangan. Raya kompak sama Pak Arya, malah Sagara yang dukung saya."

Kali ini Sagara juga ikut tertawa.

"Tapi jangan salah, Ray. Jodoh dan rejeki itu emang saling berkaitan," kata Pak Ridho setelah menyeruput kopinya. "Kamu ingat motor Pak Yanto yang bulan lalu hilang?"

Raya mengangguk.

"Dalam kasus pencurian kendaraan bermotor, sangat jarang sekali kendaraan itu akan kembali. Maling jaman sekarang makin pinter. Lapor polisi juga paling cuma jadi tumpukan kertas. Tapi kenyataannya, motor Pak Yanto ditemukan di semak-semak satu minggu kemudian. Itu artinya motor itu masih rejeki dan berjodoh dengan Pak Yanto."

Pandangan Pak Ridho tertuju pada salah satu warga yang sedang berjuang dengan alat pancingnya, sepertinya ikan melakukan perlawanan.

"Menurut kamu, ikan itu berjodoh dengan Pak Heru atau enggak?"

HAI, MANTAN. NIKAH, YUK!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang