Di pinggir pantai yang tenang, angin berhembus lembut, membelai kulit Samudra yang sedang duduk di teras rumah kayunya. Dengan secangkir kopi hangat di tangannya, ia menatap laut biru yang tak berujung, merasakan ketenangan yang seringkali tidak bisa ia temukan di tengah hiruk-pikuk kehidupan. Samudra adalah seorang penulis muda yang baru saja merilis novel perdananya, dan meski buku itu berhasil mendapat perhatian publik, kesendiriannya masih menyelimuti hatinya."Sam, kau harus berhenti bersembunyi di sini," seru Rina, sahabatnya yang tiba-tiba muncul dari belakang, mengguncang ketenangannya. "Kau tahu kan, peluncuran bukumu kemarin itu sukses besar? Semua orang membicarakannya."
Samudra tersenyum tipis. "Terima kasih, Rina. Tapi aku lebih suka menulis daripada berada di tengah keramaian. Apalagi jika harus berhadapan dengan para kritikus."
Rina duduk di sampingnya, menyandarkan punggung pada tiang teras. "Ayo, jangan jadi pengecut. Ini adalah kesempatanmu untuk bersinar. Tunjukkan pada dunia siapa Samudra yang sebenarnya."
"Yang sebenarnya?" Samudra mendengus, menatap jauh ke arah lautan. "Aku bukan orang yang pandai bersosialisasi, Rina. Menulis adalah satu-satunya cara aku bisa mengekspresikan diriku."
"Tapi itu tidak berarti kau harus menyendiri selamanya. Hidup tidak hanya tentang menulis," balas Rina, dengan nada penuh semangat. "Kau perlu bertemu orang-orang, berbicara, dan-"
"Dan jatuh cinta?" Samudra memotong, mengerutkan dahi. Sejenak, hatinya terasa nyeri saat memikirkan cinta yang hilang.
Rina mengangguk pelan. "Ya, mungkin. Kau tidak pernah tahu. Mungkin di luar sana ada seseorang yang akan mengerti semua kata-katamu."
"Lalu kenapa dia belum datang?" Samudra bertanya, suaranya pelan. Ia menarik napas dalam, berusaha mengusir kenangan pahit yang menghantui pikirannya.
"Mungkin karena kau terlalu fokus pada pekerjaanmu," jawab Rina. "Dengar, aku mengerti. Kau ingin menulis yang terbaik, tapi tidak ada salahnya membuka hati sedikit. Hanya mencoba."
Samudra menatap sahabatnya, merasakan harapan yang tersembunyi di balik kata-kata Rina. Namun, bayang-bayang masa lalu membuatnya ragu. "Aku tidak ingin terluka lagi."
"Aku tidak ingin melihatmu seperti ini, Sam. Kau sangat berbakat. Cintamu untuk menulis luar biasa, tapi hidup tidak hanya tentang kata-kata. Kadang kita perlu merasakannya."
Percakapan itu menyentuh bagian dalam diri Samudra yang selama ini terpendam. Ia mengangguk pelan, meskipun hatinya masih ragu. "Baiklah, mungkin aku akan mencoba," ujarnya.
"Bagus! Pertama-tama, kita pergi ke acara seni malam ini," Rina berkata dengan penuh semangat. "Aku mendengar ada banyak orang menarik yang akan hadir."
Samudra merasa sedikit enggan. "Acaranya siapa?"
"Koleksi baru dari salah satu galeri seni lokal. Banyak seniman muda yang akan memamerkan karya mereka. Ini kesempatan bagus untuk menjalin koneksi," Rina menjelaskan.
Samudra menghela napas, berusaha meyakinkan diri. "Baiklah, aku ikut. Tapi jangan harap aku akan berbaur dengan semua orang."
Rina tersenyum lebar. "Itu sudah cukup baik, Sam! Yang terpenting adalah kau keluar dan melihat dunia."
Setelah berbincang-bincang lebih lanjut, Samudra beranjak dari kursinya dan masuk ke dalam rumah untuk bersiap. Ia meraih buku catatan di meja, mencatat ide-ide baru untuk novel berikutnya, sambil memikirkan pertemuan yang akan terjadi malam ini. Dalam hatinya, ada harapan kecil bahwa mungkin, hanya mungkin, ia bisa menemukan seseorang yang mengerti dirinya.
---
Malam tiba dengan langit cerah penuh bintang. Samudra dan Rina memasuki galeri seni yang penuh warna. Suasana ramai, dipenuhi gelak tawa dan percakapan para pengunjung yang tampak antusias. Samudra merasa sedikit canggung, tetapi Rina segera menariknya ke arah beberapa lukisan yang dipamerkan.
"Lihat lukisan ini!" seru Rina, menunjuk ke arah lukisan abstrak yang penuh warna. "Sangat hidup, kan?"
"Ya, cukup menarik," jawab Samudra, meskipun pikirannya masih melayang-layang di tempat lain.
Rina menggenggam tangan Samudra. "Ayo kita lihat lebih dalam. Siapa tahu kita bisa bertemu seseorang yang menarik."
Saat mereka menjelajahi galeri, Samudra merasakan kehadiran seseorang di dekatnya. Ia menoleh dan melihat seorang pria tinggi, tampan, dengan wajah yang tampak serius namun menarik. Pria itu berdiri di samping lukisan yang menggambarkan ombak yang bergejolak, seolah-olah melambangkan semua ketidakpastian dalam hidup.
Samudra terpesona oleh lukisan itu dan tanpa sadar mendekati pria tersebut.
"Lukisan ini menarik, bukan?" Samudra berkata, berusaha memulai percakapan.
Pria itu menoleh, memperlihatkan senyuman hangat. "Sangat. Saya rasa lukisan ini menggambarkan pertempuran di dalam diri kita sendiri."
Samudra terkejut dengan kedalaman pemikiran pria tersebut. "Saya setuju. Sepertinya ada banyak cerita di baliknya."
"Nama saya Bima," kata pria itu, memperkenalkan diri dengan nada yang ramah. "Dan kamu?"
"Samudra," jawabnya, sedikit gugup. "Saya seorang penulis."
"Penulis? Keren! Apa kamu sudah menerbitkan buku?" tanya Bima, terlihat tertarik.
Samudra merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. "Baru-baru ini. Buku pertama saya baru saja diluncurkan."
"Wow, itu luar biasa! Apa judulnya?" Bima bertanya dengan antusias.
"Cinta yang Hilang," jawab Samudra. "Ini tentang seseorang yang berjuang menemukan cinta setelah kehilangan."
Bima mengangguk, matanya berbinar. "Kedengarannya menarik. Mungkin saya harus membacanya."
Percakapan mereka berlanjut, penuh dengan pertukaran pikiran dan pemikiran yang dalam. Samudra merasakan kehangatan dalam diri Bima, dan dengan setiap kata yang mereka ucapkan, dinding ketakutan dalam hatinya mulai runtuh.
Di tengah keramaian galeri, di bawah langit yang cerah, Samudra merasakan benih harapan tumbuh perlahan. Mungkin, baru malam ini, hidupnya akan mulai berubah.
---
To be continue
•Samudra Liu
_______________
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah di Antara Dua Laut
Random[BL Genre] Samudra, seorang penulis muda berbakat berusia 25 tahun, adalah sosok yang pendiam dan tertutup. Ia baru saja merilis novel perdananya yang sukses besar, menceritakan tentang cinta yang terpendam dan kehilangan. Meskipun namanya mulai dik...