03 | Kisah di Antara Dua laut

3 1 0
                                    

Malam setelah acara peluncuran buku Samudra terasa begitu tenang, tetapi tidak bagi Bima. Ia duduk di ruang tamu apartemennya yang luas, menatap buku Cinta yang Hilang di tangannya. Lampu-lampu kota Jakarta yang berkelap-kelip di luar jendela besar seolah tak mampu mengusir kebingungan yang menyelimuti hatinya.

Bima membuka halaman pertama buku itu, di mana Samudra telah menuliskan sebuah pesan pribadi:

"Untuk Bima, terima kasih telah hadir dan memberikan dukunganmu. Semoga kau menemukan cinta yang kau cari."

Bima membaca ulang pesan itu, berulang kali. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang terus menghantui pikirannya. Seolah-olah Samudra mengetahui lebih banyak tentang dirinya daripada yang seharusnya. Cinta? Apa yang ia cari sebenarnya? Kehidupannya selalu dipenuhi dengan urusan pekerjaan dan ambisi keluarga, tetapi di lubuk hatinya, ia tahu bahwa ada kekosongan yang tidak bisa diisi dengan kesuksesan material.

Ponselnya bergetar di atas meja, memecah keheningan malam. Sebuah pesan masuk.

Samudra: "Bima, terima kasih sudah datang ke acara peluncuran bukuku. Aku sangat menghargai kehadiranmu. Apakah kau sudah mulai membaca bukunya?"

Bima tersenyum tipis. Bahkan dalam pesan singkat, Samudra tampak hangat dan tulus. Tanpa ragu, Bima mengetik balasannya.

Bima: "Belum mulai baca, tapi aku pasti akan membacanya. Aku sangat terkesan dengan pidatomu tadi malam. Bukumu tampaknya menyimpan banyak makna."

Hanya butuh beberapa detik sebelum balasan dari Samudra masuk lagi.

Samudra: "Terima kasih, Bima. Itu banyak berarti bagiku. Aku menulis buku ini dengan sepenuh hati, jadi aku berharap kamu bisa merasakan itu."

Bima terdiam sejenak, menatap layar ponselnya. Ada sesuatu tentang Samudra yang membuatnya merasa tenang, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Bima selalu dikelilingi oleh orang-orang yang berbicara tentang bisnis, investasi, dan kekuasaan. Tetapi Samudra berbeda—ia sederhana, jujur, dan apa adanya.

Akhirnya, setelah beberapa detik, Bima menulis pesan lain.

Bima: "Mungkin kita bisa bertemu lagi? Aku ingin mendengar lebih banyak tentang prosesmu menulis buku ini."

Setelah mengirim pesan, Bima merasakan detak jantungnya sedikit lebih cepat. Mengundang Samudra bertemu lagi terasa seperti langkah yang lebih intim, sesuatu yang belum pernah ia lakukan dengan begitu spontan sebelumnya. Biasanya, Bima selalu berhati-hati dalam setiap langkahnya, terutama dalam hubungan dengan orang lain.

Beberapa menit berlalu tanpa ada balasan. Bima mulai merasa cemas, bertanya-tanya apakah ia terlalu terburu-buru. Namun, tiba-tiba ponselnya bergetar lagi.

Samudra: "Tentu. Aku akan senang berbagi lebih banyak. Kapan kau punya waktu?"

Bima tersenyum. "Bagaimana kalau akhir pekan ini? Aku bisa menjemputmu."

Samudra: "Setuju. Sabtu sore? Kita bisa bertemu di tempat biasa—kafe dekat pantai."

Bima mengangguk pelan, meskipun Samudra tak bisa melihatnya. "Sabtu sore, kafe dekat pantai. Sampai jumpa, Samudra."

Setelah percakapan itu berakhir, Bima meletakkan ponselnya di meja. Rasanya ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ia tidak pernah merasa sedekat ini dengan seseorang hanya dalam beberapa kali pertemuan. Ada ketenangan dalam cara Samudra berbicara dan memperlakukan orang lain, sesuatu yang kontras dengan kehidupannya yang penuh tekanan dan ekspektasi.

Bima kemudian menatap bukunya lagi dan membuka halaman pertama. Ia mulai membaca, dan setiap kata yang ditulis oleh Samudra terasa seperti refleksi dari perasaannya sendiri. Cerita dalam buku itu tentang seseorang yang kehilangan cinta tetapi menemukan kembali dirinya di sepanjang jalan kehidupan. Kisah itu menggugah hati Bima, membuatnya merenungkan apa yang sebenarnya ia cari selama ini.

.......

Sabtu sore tiba, dan Bima mempersiapkan dirinya dengan hati-hati. Ia memilih pakaian yang santai namun tetap terlihat rapi, berbeda dari setelan formal yang biasa ia kenakan. Ada semacam antisipasi dalam hatinya, seperti ia akan bertemu dengan seseorang yang memiliki peran penting dalam hidupnya, meskipun ia sendiri belum sepenuhnya memahami perasaan itu.

Kafe di tepi pantai tempat mereka akan bertemu memiliki suasana yang hangat dan tenang. Bima tiba sedikit lebih awal dan duduk di meja yang sama seperti pertemuan mereka sebelumnya. Suara deburan ombak terdengar lembut di kejauhan, menciptakan suasana damai yang langka di tengah kesibukan kota.

Tak lama kemudian, Samudra datang. Ia mengenakan kemeja putih sederhana dan celana jeans, tampil dengan gaya yang sangat kasual tetapi tetap memancarkan pesona alami. Bima berdiri dan menyambutnya dengan senyuman.

"Hai, Bima! Sudah lama menunggu?" tanya Samudra sambil tersenyum.

"Tidak lama. Aku datang lebih awal untuk menikmati suasana," jawab Bima, lalu mereka berdua duduk.

Pelayan datang membawa menu, dan setelah memesan, mereka mulai berbincang.

"Aku sudah mulai membaca bukumu," ujar Bima membuka percakapan. "Dan jujur, aku terkesan. Ada banyak emosi dalam setiap kata yang kau tulis."

Samudra tersenyum, tampak sedikit canggung. "Terima kasih, Bima. Aku menulisnya dari pengalaman pribadi, jadi mungkin itu sebabnya terasa emosional."

"Pengalaman pribadi?" tanya Bima, tertarik.

Samudra mengangguk pelan. "Ya. Buku itu terinspirasi dari perjalanan hidupku, terutama tentang cinta yang hilang dan bagaimana aku harus menemukan diriku sendiri melalui kehilangan itu."

Bima menatap Samudra dengan lebih dalam. "Apakah kau merasa sudah menemukan dirimu sendiri?"

Samudra terdiam sejenak, seolah merenungkan pertanyaan itu. "Sebagian, mungkin. Tapi perjalanan menemukan diri sendiri sepertinya tidak pernah benar-benar selesai. Ada banyak hal yang masih aku pelajari, dan aku rasa setiap orang terus berubah seiring waktu."

Bima mengangguk, merasakan bahwa kata-kata Samudra juga relevan dengan hidupnya sendiri. "Aku paham apa yang kau maksud. Aku juga sedang berada di titik di mana aku mulai mempertanyakan banyak hal tentang hidupku. Mungkin aku belum benar-benar menemukan apa yang aku cari."

"Mungkin kita semua sedang mencari sesuatu," balas Samudra sambil tersenyum. "Dan mungkin, kita bisa menemukannya melalui orang-orang yang kita temui dalam hidup."

Bima merasa ada makna yang lebih dalam dalam kata-kata Samudra, seolah-olah Samudra ingin mengatakan sesuatu yang lebih dari sekadar filosofi kehidupan. Tetapi, Bima memilih untuk tidak terlalu memikirkan hal itu sekarang. Ia hanya ingin menikmati momen bersama Samudra, tanpa terburu-buru mengartikan perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka.

Percakapan mereka mengalir dengan mudah, dan waktu pun berlalu tanpa mereka sadari. Hari mulai beranjak senja, dan langit di atas pantai mulai berubah warna menjadi oranye dan ungu. Pemandangan itu indah, tetapi bagi Bima, yang lebih indah adalah kehadiran Samudra di sisinya.

Saat mereka bersiap untuk pergi, Samudra menatap Bima dengan ekspresi yang lembut. "Aku senang kita bisa bertemu lagi, Bima. Aku merasa nyaman berbicara denganmu."

"Aku juga, Samudra," jawab Bima. "Aku harap kita bisa melakukannya lagi lain waktu."

Samudra tersenyum, dan di saat itu, Bima merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Ada koneksi yang kuat di antara mereka, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Saat mereka berpisah, Bima berjalan pulang dengan hati yang lebih ringan dan penuh harapan. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tetapi satu hal yang pasti—Samudra telah menjadi bagian penting dari perjalanannya, dan mungkin, dari hatinya.

To be continue.....

• Samudra Liu
______________

Kisah di Antara Dua LautTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang