Kantor Bima Argantara terasa hening di sore hari itu. Ia baru saja menyelesaikan rapat panjang dengan para investor ketika sebuah undangan masuk ke email pribadinya. Judulnya sederhana, tetapi langsung menarik perhatian Bima.
"Peluncuran Buku Samudra: ‘Cinta yang Hilang’"
Bima terdiam sejenak, menatap layar komputernya. Nama Samudra membuatnya kembali mengingat pertemuan mereka di galeri seni beberapa minggu lalu. Percakapan hangat mereka, tatapan mata Samudra yang tenang namun penuh arti, dan kejujuran yang terpancar dari sosok penulis muda itu—semua kembali berputar di pikirannya.
“Samudra…” Bima bergumam pelan, membaca ulang nama di undangan itu.
Bukan kebetulan jika nama itu sama. Samudra yang ia temui adalah seorang penulis, dan sekarang, undangan ini mengonfirmasi segalanya. Buku debut Samudra yang berjudul Cinta yang Hilang sedang diluncurkan, dan entah bagaimana, undangan itu sampai ke tangannya. Penasaran mulai tumbuh di hatinya. Ia menatap layar komputer sejenak sebelum akhirnya memutuskan.
“Dian,” panggil Bima melalui interkom.
Tak lama kemudian, Dian masuk ke ruangannya. “Ya, Pak Bima? Ada yang bisa saya bantu?”
“Aku butuh kamu untuk mengatur jadwal besok malam. Ada acara yang ingin aku hadiri.” Bima menyerahkan layar laptopnya, menunjukkan undangan itu kepada Dian.
Dian membaca cepat dan menatap Bima dengan tatapan penuh tanya. “Peluncuran buku? Jarang sekali Bapak menghadiri acara seperti ini. Siapa Samudra ini, kalau boleh tahu?”
Bima hanya tersenyum kecil. “Seorang kenalan. Aku bertemu dengannya beberapa waktu lalu. Dia cukup menarik… dan, bukunya kelihatannya bagus.”
Dian menaikkan alis, tetapi tidak bertanya lebih jauh. “Baik, Pak. Saya akan mengatur ulang jadwal besok malam.”
Bima mengangguk dan kembali terfokus pada pekerjaan. Namun, pikirannya terus melayang kepada Samudra dan acara peluncuran buku itu. Ada sesuatu yang membuatnya ingin hadir—mungkin karena penasaran, atau mungkin karena ia merasa ada koneksi yang lebih dalam dengan pemuda itu.
---
Malam yang dinanti pun tiba. Bima mengenakan setelan kasual elegan, sesuatu yang berbeda dari rutinitas bisnisnya. Ia merasa sedikit gugup, perasaan yang jarang ia alami, terutama ketika menghadiri acara sosial. Namun, ada sesuatu tentang Samudra yang membuatnya merasa harus datang.
Acara peluncuran buku berlangsung di sebuah kafe yang dihiasi dengan nuansa artistik, dengan poster besar buku Cinta yang Hilang terpampang di bagian depan. Saat Bima memasuki ruangan, ia bisa merasakan suasana yang intim dan santai. Ada puluhan tamu yang sudah duduk, beberapa berbincang santai sambil menikmati kopi dan camilan.
Di tengah ruangan, Samudra tampak sedang berbicara dengan sekelompok orang. Wajahnya bercahaya, meski tampak sedikit canggung di tengah keramaian. Saat pandangan mereka bertemu, Samudra terlihat sedikit terkejut, namun dengan cepat menyambut Bima dengan senyuman hangat.
“Bima! Aku tidak menyangka kamu akan datang,” kata Samudra sambil mendekat.
“Aku juga tidak menyangka akan diundang,” jawab Bima sambil tertawa kecil. “Tapi aku senang bisa hadir. Ini hari yang besar untukmu, kan?”
Samudra mengangguk, ekspresi wajahnya campuran antara bangga dan gugup. “Ya, ini hari yang luar biasa. Tapi aku juga sedikit gugup dengan tanggapan para pembaca. Ini adalah karya pertamaku, dan aku tidak tahu bagaimana orang-orang akan menerimanya.”
“Dari apa yang kudengar, banyak orang sudah berbicara tentang bukumu dengan sangat baik,” Bima berusaha menenangkan. “Aku yakin buku ini akan sukses besar.”
Samudra tersenyum, tampak sedikit lebih tenang. “Terima kasih, Bima. Itu sangat berarti bagiku.”
Mereka berbincang sejenak tentang proses penulisan buku tersebut dan tantangan yang Samudra hadapi. Bima mendengarkan dengan seksama, terkesan oleh ketekunan dan semangat Samudra untuk menulis. Saat percakapan mereka semakin akrab, salah satu panitia acara mendekati Samudra.
“Maaf, Samudra, waktunya untuk berbicara dengan tamu-tamu lain. Setelah itu, kamu akan diminta berbicara di depan semua orang,” ucapnya dengan sopan.
Samudra mengangguk, lalu menatap Bima. “Aku harus pergi sebentar. Tapi, nikmati acaranya, ya. Setelah ini kita bisa bicara lebih banyak.”
Bima tersenyum dan mengangguk. “Tentu, Sam. Lakukan yang terbaik. Aku akan menunggu.”
Setelah Samudra beranjak untuk berbicara dengan tamu-tamu lain, Bima berjalan ke meja yang lebih tenang di sudut ruangan, mengambil segelas minuman dan duduk sambil memperhatikan suasana. Beberapa orang di sekitar tampak berdiskusi tentang buku Samudra, mengomentari sampulnya dan sinopsis di belakang buku.
Setelah beberapa menit, acara inti pun dimulai. Samudra naik ke atas panggung kecil di depan ruangan, dengan mikrofon di tangannya. Ia tampak gugup pada awalnya, tetapi dengan cepat menemukan ritmenya saat mulai berbicara tentang buku dan inspirasi di baliknya.
“Selamat malam, semuanya. Terima kasih sudah datang ke acara peluncuran buku saya, Cinta yang Hilang. Ini adalah perjalanan panjang, dari ide sederhana di kepala saya hingga akhirnya menjadi sebuah buku yang bisa kalian baca. Buku ini berbicara tentang cinta yang hilang dan bagaimana kita berjuang untuk menemukan diri kita sendiri melalui kehilangan itu.”
Bima menatap Samudra dengan penuh perhatian. Kata-kata Samudra menggema dalam pikirannya, terutama ketika Samudra berbicara tentang kehilangan dan pencarian makna hidup. Ada sesuatu dalam cerita Samudra yang tampaknya begitu dekat dengan perasaannya sendiri.
“Saya harap, melalui buku ini, kalian bisa merasakan bahwa meskipun kita mungkin kehilangan cinta atau seseorang yang kita cintai, ada harapan baru yang bisa muncul dari kesedihan itu. Dan mungkin, cinta yang sebenarnya selalu menunggu kita di suatu tempat, tanpa kita sadari.”
Tepuk tangan riuh mengisi ruangan setelah Samudra menyelesaikan pidatonya. Wajahnya terlihat lega, dan senyum bahagia terpancar dari bibirnya. Bima merasakan hatinya bergetar, seolah-olah kata-kata Samudra tidak hanya tentang buku itu, tetapi juga menyentuh kehidupannya secara pribadi.
---
Setelah acara selesai, Bima menghampiri Samudra yang sedang berbincang dengan beberapa tamu lain. Ketika Samudra melihatnya mendekat, ia segera menghentikan percakapannya dan berpaling kepada Bima.
“Bagaimana menurutmu? Apa pidatoku cukup baik?” tanya Samudra dengan nada bercanda, meskipun terlihat benar-benar ingin tahu pendapat Bima.
Bima tertawa kecil. “Kau berbicara dengan sangat baik. Aku bisa merasakan semua emosi yang kau tuangkan ke dalam buku itu.”
Samudra tersenyum, tampak senang. “Terima kasih, Bima. Aku senang kau menyukainya. Aku sangat menghargai kehadiranmu di sini.”
“Aku juga senang bisa datang. Dan setelah mendengar pidatomu, aku semakin tertarik untuk membaca bukumu,” jawab Bima sambil mengeluarkan buku Cinta yang Hilang yang baru saja dibelinya dari salah satu meja di dekat pintu masuk.
Samudra tersenyum lebar. “Kalau begitu, aku akan memberikan tanda tanganku.”
Bima menyerahkan buku itu, dan Samudra menulis pesan singkat di halaman pertama. “Untuk Bima, terima kasih telah hadir dan memberikan dukunganmu. Semoga kau menemukan cinta yang kau cari.”
Bima membaca pesan itu dan merasakan hatinya berdebar. Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang lebih dalam dari sekadar basa-basi. Mungkin, Samudra pun merasakan hal yang sama.
Malam itu, Bima pulang dengan buku baru di tangannya dan perasaan yang aneh menggelayut di hatinya. Mungkin ini bukan sekadar peluncuran buku biasa. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang ia tak pernah duga sebelumnya.
To be continue....
•Samudra Liu
_______________
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah di Antara Dua Laut
Random[BL Genre] Samudra, seorang penulis muda berbakat berusia 25 tahun, adalah sosok yang pendiam dan tertutup. Ia baru saja merilis novel perdananya yang sukses besar, menceritakan tentang cinta yang terpendam dan kehilangan. Meskipun namanya mulai dik...