Episode 1: Shadows in the hallway

10 2 0
                                    

Hari itu sudah hampir malam. Di ruang klub kesenian yang sunyi, Sora duduk di depan kanvas putih dengan kuas di tangannya, namun matanya tampak lelah. Dia sudah bekerja tanpa henti sepanjang hari untuk menyelesaikan lukisan untuk festival seni yang akan datang. Sekolah pun sudah kosong, meninggalkan kesunyian yang menenangkan namun sekaligus membuat merinding.

Sora mengusap matanya yang berat, mencoba tetap fokus. Tugas ini begitu penting baginya, namun tubuhnya mulai memprotes. Akhirnya, kelelahan mengalahkan semangatnya. Dia meletakkan kuas di samping, memutuskan untuk beristirahat sejenak.

"Sebentar saja," gumamnya, sambil membenamkan kepalanya di atas meja.

Tanpa sadar, Sora tertidur di sana, di tengah kesunyian ruang seni. Sekolah yang sudah sepi berubah semakin sunyi saat malam tiba.

---

Saat Sora terbangun, ruangan itu terasa berbeda. Udara dingin menelusup, dan bayangan di sekitarnya lebih pekat dari sebelumnya. Dia melihat jam di ponselnya.

"Jam 8 malam?" gumamnya, terkejut. "Bagaimana bisa aku tidur selama ini?"

Sora cepat-cepat membereskan barang-barangnya dan mengenakan tas punggungnya. Suara langkah kakinya bergema di ruang yang sunyi saat dia melangkah keluar dari ruang klub kesenian. Dia berjalan menyusuri lorong sekolah yang panjang, hanya diterangi cahaya lampu yang remang-remang.

Namun, di tengah jalan, langkahnya terhenti.

Ada seseorang di ujung lorong.

Sora terdiam. Jantungnya berdebar lebih cepat. Orang itu berdiri di kegelapan, tubuhnya tampak samar, dan wajahnya tidak terlihat jelas karena bayangan menutupi segalanya.

"Siapa itu?" suara Sora bergetar sedikit, tetapi tidak ada jawaban. Orang itu hanya berdiri diam, tanpa bergerak.

Dia merasa aneh, seperti udara di sekitar mereka mendadak berat. Sesuatu tentang situasi ini membuat perutnya bergejolak dengan kegelisahan.

Sora menelan ludah, mencoba mengabaikan perasaan takut yang mulai merayapi pikirannya.

"Mungkin cuma satpam," pikirnya untuk menenangkan diri. Namun, bayangan itu tidak bersuara, tidak melakukan apa-apa selain berdiri diam.

Dengan napas yang mulai sesak, Sora melangkah mundur, berusaha tidak menunjukkan bahwa dia merasa terancam. Namun, semakin dia menjauh, semakin bayangan itu terasa mendekat tanpa perlu bergerak.

 Namun, semakin dia menjauh, semakin bayangan itu terasa mendekat tanpa perlu bergerak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Harus keluar dari sini sekarang," bisiknya pada diri sendiri, menguatkan tekadnya.

Dia berlari. Suara langkah kakinya mengisi lorong-lorong sekolah yang sunyi. Dalam kegelisahannya, dia hampir menabrak pintu keluar. Ketika berhasil membuka pintu depan sekolah, angin malam yang dingin menyambutnya, membuatnya menggigil.

Dia berhenti sejenak di luar gerbang, napasnya tersengal-sengal, mencoba menenangkan dirinya. Sekolah di belakangnya tampak lebih gelap daripada sebelumnya.

Sora melirik ke belakang sekali lagi, memastikan bahwa tidak ada yang mengikutinya. Bayangan itu sudah hilang.

Dengan langkah cepat, dia berjalan menuju rumahnya, masih merasakan kegelisahan yang belum hilang.

"Apa tadi itu nyata?" gumamnya saat dia menyusuri jalan sepi menuju rumah.

Namun, tak peduli seberapa jauh dia melangkah, perasaan bahwa ada yang mengawasinya tak pernah hilang.

Sora sampai di depan rumahnya, sebuah rumah tua yang tampak sunyi dan menyesakkan. Lampu luar rumah berkedip lemah, mencerminkan suasana hati yang semakin berat. Malam itu terasa dingin, tapi apa yang menantinya di dalam lebih mengerikan daripada rasa dingin di luar.

Dengan perlahan, Sora memutar gagang pintu, memastikan tidak ada bunyi yang bisa membangunkan ibunya. Dia sudah cukup lelah untuk menghadapi masalah baru malam ini. Pintu berderit pelan saat terbuka, dan Sora melangkah masuk dengan hati-hati. Namun, saat pintu itu sepenuhnya terbuka, dia terhenti.

Di sana, berdiri di depan pintu, ibunya. Wajahnya pucat, matanya tampak kosong, dengan pandangan yang tajam namun tidak benar-benar melihat Sora. Tubuhnya diselimuti pakaian compang-camping yang kumal, seperti seseorang yang sudah lama kehilangan keinginannya untuk merawat diri.

"Ibu..." Sora berkata pelan, suaranya hampir tidak terdengar, setengah berharap ibunya tidak akan menyadari kehadirannya. Tapi itu sia-sia.

Tanpa peringatan, ibunya mengangkat tangan dan menampar pipi Sora dengan keras.

Plak!

Suara tamparan itu menggema di ruangan sunyi. Sora terhuyung mundur, memegang pipinya yang terasa panas akibat pukulan itu. Rasa sakitnya lebih dari sekedar fisik. Matanya membesar, terkejut, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya.

Ibunya, tanpa menunjukkan sedikit pun rasa peduli, hanya menatap Sora dengan pandangan penuh kebencian yang mendalam. Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya mendesah lelah, lalu berbalik dan berjalan pelan menuju kamarnya. Punggungnya membungkuk, langkahnya tidak stabil, seolah membawa beban yang tidak terlihat di pundaknya. Tanpa menoleh, dia masuk ke dalam kamar, pintu kamar berderit pelan saat dia menguncinya dari dalam.

Klik.

Sora berdiri di lorong, masih terkejut, merasakan denyut sakit di pipinya dan di hatinya. Air mata hampir mengalir dari matanya, tetapi dia menahannya. Dia tahu ini bukan pertama kali ibunya bertingkah seperti itu. Ibunya telah berubah sejak lama, menjadi sosok yang dingin dan tidak peduli. Namun, malam ini, tatapan kosong ibunya terasa jauh lebih menyeramkan.

"Kenapa... selalu seperti ini?" bisik Sora kepada dirinya sendiri, suara itu teredam oleh keheningan rumah.

Dia berjalan pelan ke kamarnya, berusaha agar langkahnya tidak membuat suara yang bisa memancing kemarahan lebih lanjut. Ketika dia sampai di kamarnya, Sora menutup pintu dengan lembut dan langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Langit-langit kamarnya tampak begitu asing malam ini, seperti menutup di atasnya.

Dengan mata terbuka, Sora merasakan ketegangan yang tidak bisa dihilangkan. Pikirannya kembali melayang ke sekolah, ke sosok misterius yang berdiri di lorong gelap, dan sekarang, wajah dingin ibunya masih menghantui.

"Apa yang sedang terjadi?" pikir Sora, mencoba merangkai semua perasaan aneh yang berkecamuk di dalam dirinya.

Dalam kegelapan malam, Sora terbaring diam, terjaga oleh bayang-bayang yang semakin mendalam, baik di rumahnya maupun di sekolah.

PulseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang