Halo Rek!

52 12 7
                                    

Di bawah langit biru yang melengkung sempurna, seorang gadis berdiri di pondok kecil di atas sebuah bukit yang menghadap ke hamparan sawah dan gunung di kejauhan. Udara pagi yang dingin menari lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang mengering setelah hujan singkat. Namanya Arya Bhaya. Dia terduduk diam, tampaknya sedang memikirkan sesuatu sebelum akhirnya mengambil napas yang dalam.

"Janc*k, aku lupa deadline numpuk!"

⋆˙⟡ -꒰ᐢ. .ᐢ꒱₊˚⊹ Rek..arek..


"Iya mbak, Arya lagi jalan kesana sabar atuh!" Teriak sang gadis yang sedang berlari secepat mungkin dengan napas tersendat membawa kumpulan kertas - kertas dokumen yang entah isinya apa, kemungkinan besar hutang negara.

Untuk sekarang mari kita kenali namanya sebagai Arya Bhaya, seorang personifikasi Jawa Timur dan sekarang ia sedang bergegas menuju ke pintu ruang rapat, yang kemungkinan akan disambut oleh amukan sang kakak.

Siapa lagi kalau bukan si personifikasi Yogyakarta, Kavitha Ayodhya.

Arya tiba di depan pintu ruang rapat, terengah-engah, mengatur napasnya sebelum dengan hati-hati mengetuk pintu. Dari dalam, suara tegas yang sudah ia kenal dengan baik terdengar.

"Masuk."

Arya menelan ludah, membuka pintu perlahan, dan menemukan Kavitha sudah duduk di ujung meja rapat, wajahnya tenang, tapi matanya mengisyaratkan ketidaksabaran. Di sampingnya, berbagai tumpukan dokumen yang menanti tanda tangan.

"Telat lagi?" ujar Kavitha tanpa melihat Arya. Tangan kakaknya dengan cekatan membolak-balik halaman dokumen di hadapannya, seolah pekerjaan itu tidak ada habisnya.

Arya tersenyum kecut. "Maaf, Mba' Vi... Tadi Arya ada urusan..." Ia meletakkan tumpukan kertas yang dibawanya di meja, berusaha menghindari tatapan tajam yang mungkin akan menyusul.

"Kau i-" Kavitha belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika suara lembut namun penuh wibawa memotong dari pintu yang kini terbuka lebar.

"Ayodhya." suara itu milik ibunda mereka, Anggraeni Pramusita, personifikasi Jawa Tengah. Wujudnya muncul anggun, dengan tinggi semampai dan wajah yang dihiasi senyum elok. Meski senyumnya tampak lembut, Arya dan Kavitha sama-sama tahu bahwa di balik senyum itu tersembunyi banyak makna-sebuah campuran kebijaksanaan dan peringatan halus.

Kavitha langsung merapikan posisi duduknya, wajahnya sedikit berubah. Meski ia terkenal tegas, di hadapan Anggraeni, ada rasa hormat yang tak terbantahkan. "Bunda," ucapnya pelan, menundukkan kepala sejenak sebelum menatap Arya tajam, seolah menunggu adiknya untuk berbicara, tapi Arya tetap diam. Suasana di dalam ruangan terasa semakin berat, seolah setiap detik terjebak dalam keheningan yang menegangkan.

Sementara itu, Arya terdiam kaku, tubuhnya sedikit tegang. Sebuah senyum tipis, jelas terpaksa, melintas di wajahnya saat pikirannya berputar.

'Ya gusti matilah aku..'

꒰ᐢ. .ᐢ꒱₊˚⊹⋆˙⟡ - Rek..arek..

Jawa itu kunci, jawa itu hebat! Ya setidaknya itulah yang orang tau tentang daerah penuh rasa kepahlawanan ini.

Rahasia besar yang disimpan Arya dalam-dalam, terselip di balik wajah menggemaskan dan kesan kuatnya sebagai personifikasi Jawa Timur. Di luar, ia dikenal sebagai gadis yang tangguh, lantang dalam menyuarakan pendapat, dan penuh kebanggaan pada tanah kelahirannya yang heroik. Tapi, di balik semua itu, ada satu hal yang selalu membuatnya terdiam malu.

Arya suka londo.

Bukan sembarang orang berdarah Belanda, tapi sosok-sosok elegan dari masa kolonial yang ia bayangkan, dengan baju rapi, pipa rokok, dan sikap anggun ala kaum bangsawan, seperti Merv Giselle!

Lah...Personifikasi Lagi?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang