Arya dan Masalahnya

27 10 1
                                    

Di bawah langit mendung Moskow, Katherine berdiri di balkon istananya, menatap kosong ke arah salju yang turun perlahan, menutupi semua yang ada di bawahnya dengan kesunyian yang dingin. Ia mengenang pertemuannya dengan 'teman baik' nya di pertemuan negara beberapa hari yang lalu. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, membuatnya merasa marah, namun ia tak sepenuhnya mengerti mengapa.

Arya.

Nama itu terus terngiang di benaknya. Personifikasi Jawa Timur itu selalu saja membuatnya merasa campur aduk—antara kagum, frustrasi, dan mungkin... tertarik? Tidak, Katherine menepis pikirannya. Tidak mungkin. Ia tidak tertarik pada gadis yang suka seenaknya sendiri, yang bahkan dengan santainya membatalkan janji jalan-jalan bersamanya tanpa penjelasan yang jelas.

“Arya Bhaya…” gumam Katherine pelan, suaranya hampir tertelan oleh suara salju yang berjatuhan. Dia masih bisa mengingat dengan jelas wajah Arya saat mereka berdebat di ruang rapat, bagaimana gadis itu tampak seolah-olah tidak peduli dengan amarahnya. Dan kemudian muncul Jeoseung, si sok keren dari Korea Utara, yang seenaknya saja menariknya keluar dari situasi itu, seakan-akan Katherine tidak punya hak untuk marah.

Katherine mengepalkan tangannya, seolah ingin menghantam sesuatu. Perasaan kesal kembali merayap di dadanya. "Dia pikir siapa dia..." ucapnya geram, memikirkan Arya yang selalu tampak santai, seolah semua masalah bisa diselesaikan dengan senyum atau lelucon.

"Sialan..." desis Katherine sambil melempar pandangan kosong ke luar balkon.

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat dari dalam, memecah kesunyian yang menyelimuti Katherine. Ia menoleh dan menemukan seorang pelayan wanita berdiri di ambang pintu balkon, menundukkan kepala dengan hormat.

"Nona Katherine," katanya dengan suara lembut, "Tuan Mikhail memintamu untuk hadir di ruang makan. Makan malam sudah disiapkan."

Katherine menghela napas panjang. Ia merasa enggan untuk pergi, namun ia tahu bahwa ia tidak bisa mengabaikan panggilan ayahnya. "Baiklah," jawabnya singkat, sebelum berbalik meninggalkan balkon. Namun, sebelum ia masuk, pandangannya sekali lagi jatuh pada hamparan salju yang tak berujung.

"Aku akan membuatnya membayar untuk sikap tidak sopannya itu."

⋆˙⟡ —꒰ᐢ. .ᐢ꒱₊˚⊹ Rek..arek..

Ingatan Katherine kembali melayang jauh, bertahun-tahun sebelumnya, ke masa di mana ia masih kecil—seorang gadis manja yang terbiasa mendapatkan apa pun yang ia inginkan. Kala itu, ia mengikuti pertemuan negara-negara Eropa bersama ayahnya, Mikhail. Di sanalah untuk pertama kalinya ia bertemu dengan Arya Bhaya.

Arya saat itu tidak sendiri, melainkan datang menemani Giselle, seorang wanita yang saat itu sudah dikenal di kalangan para pemimpin dunia. Katherine, yang selalu dikelilingi oleh kekuasaan dan kemewahan, tertarik pada selendang indah yang dipakai Arya. Selendang itu, tenunan halus dari budaya Jawa, berwarna coklat dengan benang emas, memancarkan keanggunan yang luar biasa. Bagi seorang gadis kecil seperti Katherine, selendang itu tampak seperti sesuatu yang harus ia miliki.

Dengan keyakinan seorang anak yang terbiasa dimanja, Katherine tanpa ragu mencoba merebut selendang itu dari pundak Arya. Namun, tidak seperti orang dewasa lain yang biasanya menuruti kehendaknya, Arya menatap Katherine dengan dingin dan tegas. Gadis itu segera memarahi Katherine dengan nada yang membuatnya terkejut.

"Kau tidak bisa sembarangan mengambil barang milik orang lain, apalagi dengan sikap seperti itu!" suara Arya terdengar tajam, penuh otoritas yang tak terbantahkan.

Katherine tertegun. Tak ada yang pernah menolak atau memarahinya seperti itu sebelumnya. Seluruh dunianya yang sempurna dan terkontrol seolah runtuh dalam sekejap. Dengan perasaan terhina dan kecewa, air mata pun jatuh dari matanya. Katherine menangis, terisak dalam diam, tidak mampu memahami bagaimana seseorang yang lebih 'rendah' darinya bisa berani menentangnya seperti itu.

Lah...Personifikasi Lagi?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang