00

13 4 0
                                    








°°°

"Profesor, jangan gila!"

"Tidak apa pak, aku bersedia." Jawabku mantap menatap lelaki paruh baya dengan kaca mata juga jas putihnya.

"Tidak, Binara. Ini keterlaluan."

"Anakku sendiri yang bersedia, Antio."

"Kalau kita ketahuan bisa dipenjara! Saya tidak mau tahu pak Kafi, kita sebagai profesor sudah berjanji tidak menggunakan manusia sebagai kelinci percobaan!"

Aku melihat, pak Antio dilingkupi gemuruh kesal, marah, dan kecewa.

Yang tadi kalian dengar tidaklah salah. Ayahku menjadikan ku kelinci percobaannya dalam proyek kali ini.

Sebenarnya proyek ini sudah dilakukan dari ayahku sebelum bertemu ibu, tapi karena banyak kendala dan juga proses yang memang cukup lama membuat proyek ini jadi pada umurku genap Sembilan belas tahun.

Menolak permintaan ayah? Tidak mungkin! Lagi pula mendiang ibuku menjadikan 'menuruti permintaan ayah' sebagai wasiat.

Oh ya! Penemuan ayahku kali ini tidak diberi nama, karena memang sifatnya rahasia jadi ayahku benar benar mengerjakan semuanya sendiri dengan sesekali dibantu tim nya.

"Pak Kafi, pak Antio, saya bersedia menjadi kelinci percobaan di proyek kali ini."

Kulihat pak Antio melototkan matanya, sedangkan ayahku? Mengulurkan tangan untuk berjabatan.

Ayahku tersenyum bangga padaku, hatiku menghangat. Jujur, sembilan belas tahun aku menjadi anak seorang Kafiandra Welston, aku belum pernah melihat wajah bangga ayahku. Karena semua pencapaian dan prestasi yang aku raih, ayahku pasti pernah meraihnya bahkan lebih-lebih hebat dan membanggakan.

Oke back to topic. Sekarang aku sudah memegang sebuah kompas, mataku melirik jam tangan yang menunjukkan pukul tiga pagi.

Kata ayahku, kemungkinan besar waktu di sini dan di dunia paralel akan berbeda. Siang jadi malam, malam jadi siang. Jadi, aku dan ayah pagi buta sudah di sini, di depan labirin buatan yang jika tanpa alat alat rumit akan menjadi labirin biasa.

Jika kalian bertanya pak Antio kemana, beliau pergi setelah mengoceh pada ayahku yang tentunya tidak dihiraukan.

Baiklah baiklah, abaikan ayahku yang terlalu kaku itu. Aku mendekat pada lelaki yang menjadi cinta pertamaku—walau cintaku sepertinya bertepuk sebelah tangan—dengan ragu kuraih lengannya yang terbentang memelukku, dia, lelaki pertama yang aku kenal juga lelaki pertama yang aku cintai.

Walau samar, tapi aku yakin bahkan sangat yakin kalau aku melihat gurat sedihnya.

"Baik-baik di sana, Binara. Kita gak tau apa yang ada di sana, kita juga belum tau kamu sampai kapan." Aku mendengarnya! Mendengar suara serak ayah akibat menahan tangisnya.

"Kalau Binara gak bisa pulang, giamana yah?" Tanyaku yang masih memeluknya.

"Ayah yang bakal susul Binara."

Kalimat dari ayahku yang menghempas rasa raguku. Kulihat wajahnya sekali lagi sebelum melepas dekapan hangatnya.

"Ayah, makasih sudah mengurus Binara selama ini, pasti sulit apalagi setelah bunda pergi. Maafkan Binara yang sering buat ayah marah. Walaupun hubungan kita tidak sehangat dulu sewaktu bunda ada di sini, rasa sayang Binara untuk ayah tidak akan pernah pudar. Tolong berbahagialah, ayah. Setelah Binara pergi, cari kebahagiaan ayah. Binara gak melarang ayah menikah lagi, jadi kalau ayah punya seseorang yang ingin ayah nikahi, nikahilah."


Aku tersenym menatap ayahku yang sudah meloloskan bulir air mata dari mata yang biasanya tidak menandakan adanya emosi apapun.

Sebenarnya banyak kata yang ingin ku sampaikan, tapi entah kenapa rasanya tenggorokan ku tercekat.

"Maaf....maafkan ayah, Binara."

Aku menggeleng, menatap dengan tersenyum pada Kafiandra Welston, ayahku sendiri.

"Jangan begitu, ayah mau kan, proyek ayah berhasil?" Aku kembali tersenyum padanya yang tak menunjukkan respon dari pertanyaaku.

"Sudah malam, sebaiknya kita cepat-cepat. Ayah juga harus tidur yang cukup, Binara tau kalau ayah punya gangguan tidur, lebih baik ayah konsultasi pada dokter."

"Binara, maaf ayah belum bisa mendukung impianmu menjadi pelukis. Ayah terlalu malu untuk sekedar berbincang, ayah terlalu berdosa padamu."

Bukan, bukan ini ucapan yang aku harapkan. Perkataan ayahku itu membuatku terenyuh. Hancur benteng pertahanku, aku menangis sejadi-jadinya.

Ayahku mengetahui impianku! Dia peduli padaku, dia tersenyum padaku setelah sekian lama senyumnya hilang bak ditelan bumi.

"Ayah akan buatkan studio untuk lukisanmu, agar tidak memenuhi kamarmu ya?"

Aku tahu ini hal yang sangat amat sederhana sebenarnya, melihat ayahku tersenyum benar-benar membuatku menangis.

"Ayah bangga padamu, kamu yakin dengan keputusanmu sendiri. Itu yang tidak bisa ayah lakukan tanpa bundamu atau kamu, Binara."

Pacah sudah! Aku tentu memilih tidak  menutupi tangisku dari pak Kafiandra.

"Benar katamu, ini sudah malam."

Aku kembali menatap ayahku sejenak kemudian memeluknya.

"Selamat tinggal, ayah."

"Selamat jalan, putriku."

Aku berjalan menuju labirin itu, menoleh kebelakang sebentar sebelum melangkah masuk kedalam labirin lebih jauh.







What the hell?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang