Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Nyatanya, tidak cukup sampai di gerobak bakso aci topik pembahasan yang bermuara pada Biruna meminta dikenalkan laki-laki baik oleh Likana. Ada bagian selanjutnya, mengisi sisa hari yang kini sudah beranjak sore. Likana kalau sudah rese, pasti mendadak totalitas mengulik sampai akar. Lebih terlihat, seperti manusia kurang kerjaan. Dan jujur, itu sangat menyebalkan.
Tetapi, paling tak masuk akal lagi, ya, Biruna sendiri. Padahal, dia tahu, bahwa Likana bahkan baru satu minggu pindah ke Jakarta. Jadi, secara logika, Likana pasti belum tentu punya kenalan yang bisa direkomendasikan kepadanya begitu saja. Kendati, sudah kepalang jadi konversasi yang tidak selesai-selesai. Ya, sudah, Biruna ladeni saja sampai akhir. Toh, merasa tak ada yang salah dari permintaannya. Tidak ada unsur memaksa juga.
“Anggap saja, ini itu kado ulang tahun dari kamu.” Begitu kata Biruna, usai memarkirkan ibut di pelataran kost dan turut duduk di teras depan.
Menjelang petang, langit tak kunjung menumpah hujan. Barangkali, masih mengumpulkan segenap energi dan juga rasa simpati pada bumi. Karena, untuk kesekian kali dibiarkan kedinginan ditengah deras guyuran menghantam tanpa rasa ampun. Bumi yang kesepian, dan hujan pemberi harapan dalam kepalsuan.
“Kalau 𝘢𝘬𝘶 yang jadi kadonya, kamu mau tidak?” Untuk kali ini, Likana mengakui, bahwa langit adalah alibi paling alami untuk berskenario biasa-biasa saja. Padahal, dia hampir memaki setiap benda yang dia temui di jalan.
“Kenapa?” Sambil menaik-turunkan kaki, Biruna bertanya seraya tatap wajah si taruna. “Kenapa harus kamu?”
“Supaya gampang. Meminimalisir waktu, tenaga, juga paket kuota. Kamu enggak perlu capek-capek lagi kenalan dari awal, beradaptasi, sama bilang hal-hal remeh tentang diri kamu sama orang lain. Karena, aku tahu banyak hal tentang kamu. Jadi, lebih efisien, kan?” Likana bersungguh-sungguh ketika berkata demikian.
“Lagipula, aku kurang apa? Ganteng? Jangan ditanya. 𝘍𝘢𝘮𝘰𝘶𝘴? Jelas. Bukan pengangguran juga, perhatian, kenal seluk-beluk kamu. Aku juga mampu kok menyediakan hunian yang amat sangat layak, ergonomis, dan bukan tipikal melankolis.” Tetiba menepuk-nepuk dada. Percaya diri. “Aku laki-laki sejati yang baik hati. Sebaliknya, kamu juga banyak tahu tentang aku. Jadi, apa yang kurang?”
Biruna memberengkus bersama mata mengerling. “Kurang waras!”
Mendengar itu, Likana langsung nyengir. “Pas banget ‘kan sama kriteria kamu? Dari semua yang kamu sebutkan tadi, kamu enggak bilang harus waras juga, kan?” Lantas angkat telunjuk, seolah apa yang akan dia sampaikan adalah suatu krusial. “Ahhh ..., Paling penting, aku enggak ngorok, suka sikat gigi, minus malas gantungin handuk basah di hanger saja, sisanya sih, oke. Soalnya sekarang aku bisa tidur dengan lampu padam atau nyala.”