❝〔 𝗇𝗂𝗇𝖾 〕❞

202 34 67
                                    

𝘖𝘬𝘵𝘰𝘣𝘦𝘳, 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘫𝘶 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘩𝘶𝘫𝘶𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘩𝘶𝘯 𝘥𝘶𝘢 𝘳𝘪𝘣𝘶 𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘴

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

𝘖𝘬𝘵𝘰𝘣𝘦𝘳, 𝘮𝘦𝘯𝘶𝘫𝘶 𝘱𝘦𝘯𝘨𝘩𝘶𝘫𝘶𝘯𝘨 𝘵𝘢𝘩𝘶𝘯 𝘥𝘶𝘢 𝘳𝘪𝘣𝘶 𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘴. Perayaan hari jadi Likana yang ke lima belas. Benar, bocah itu lima bulan lebih muda dari Biruna. Maka, tak mengherankan apabila hirarkis tertinggi dalam pertemanan mereka Biruna adalah pemegangnya. Dia lebih tua, dan merasa sepatutnya berkuasa. Likana yang pasrahan, menurut saja. Sebab berdebat bukan opsi terbaik dan dia menyadari hal itu sepenuhnya, apalagi bersama wanita yang sejak zaman nirleka lekat dengan semat selalu benar.

“Ikan, selamat ulang tahun, 𝘺𝘦𝘢𝘺 ....!”

Bertepatan orang tua Likana hari itu sedang ada pekerjaan di luar kota. Sempat berpikir, bahwa mereka sepenuhnya melupakan hari kelahiran sang sulung. Ternyata tidak, sebab rupa-rupanya Tyo dan Meratih sudah menyiapkan sebuah cafetaria khusus untuk acara pergantian usia Likana sebagai kado.

Berhubungan, Likana enggan mengundang siapa-siapa sekalipun sudah disediakan untuk sepuluh orang, Likana lebih memilih ajak Biruna dengan menjual cerita sedih bahwa kedua orang tuanya tak bisa hadir sebab sama-sama sibuk. Itu menjadi kesempatan bagi Likana supaya bisa menghabiskan waktu bersama Biruna selama seharian penuh. Tidak apa-apa, sekali-kali menggunakan kesempatan dalam kesempitan, bukan?

Pula, Likana gunakan sebagai momentum paling tepat guna menyatakan perasaan. Jangan salah paham, selama berbulan-bulan Likana sudah mempertimbangkan keputusan ini dengan sebaik-baiknya. Dan merasa, sudah saatnya untuk dia ungkap. Tak tahan, terus-terusan terlibat dalam hubungan 𝘧𝘳𝘪𝘦𝘯𝘥𝘻𝘰𝘯𝘦.

Usai menyanyi penuh gembira, meniup lilin dan membuat permohonan, Biruna menyodorkan sebuah benda misterius terbungkus kain. Dan ketika penutupnya ditarik, menampilkan kotak akuarium ukuran sedang berisi ikan hias lengkap dengan ornamen 𝘢𝘲𝘶𝘢𝘴𝘤𝘢𝘱𝘦 yang disusun sedemikian rupa. Likana sebagai seorang pecinta ikan, tentu terpana. Tak bisa mengalihkan pandang. Matanya berkaca-kaca, terharu. Tentu saja. Itu adalah hadiah yang tak ternilai harganya.

“Ngomong-ngomong, aku yang desain sendiri. Aku harap kamu suka.” Labium itu ukir segaris senyum, amat manis. Nyaris, buat Likana terbuai sepenuhnya dalam fantasi fana. Aduh, isi pikirannya mulai berimajinasi yang tidak-tidak, gawat!

Gigit bibir bawah, gugup sekali nampaknya. Berkali-kali, Likana menarik napas panjang, guna yakinkan diri. “Terima kasih, Akan. Aku suka, malah sangat suka.” Likana menunduk sejenak, menahan napas seraya mengingat serangkaian kalimat yang sudah dia hapal semalaman suntuk, “Juga, ada hal serius yang ingin aku bicarakan sama kamu.”

Kini, Biruna fokus menatap tanpa kedip. Makin ribut debar jantung bertalu-talu. Sampai, keringat dingin tahu-tahu meluncur dari pelipis. “Akan, aku ngerasa kayak gini sebenarnya sudah lama. Tapi, ternyata butuh lebih banyak waktu untuk memastikan. Jadi, sekarang aku mau bilang kalau—”

“Ini pesannya, selamat menikmati.”

Pelayan sialan!

Atmosfer keduanya terpecah hanya karena berpiring-piring sajian tiba di momen tak seharusnya. Lantas, Likana menatap Biruna yang rupanya nampak lebih tertarik dengan makanan di hadapan, maka Likana tak bisa memaksakan. Tidak apa, hitung-hitung kembali mengumpulkan nyali yang sempat aur-auran.

retorika, tanpa kata (pre-order) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang