Masih teringat jelas di ingatanku tentang semuanya. Luka kecil tapi seiring berjalannya waktu perlahan membesar sampai rasanya aku tidak tahu bagaimana caranya untuk menyembuhkan. Obat mana yang ampuh sampai aku benar-benar sembuh dan melupakan segalanya, saat ini belum sepenuhnya di temukan.
Awal mulanya kami adalah keluarga yang bahagia dalam ke sederhanaan. Masih merintis di awal, ayah dan bunda mencoba untuk membangun cafe kecil-kecilan yang bahkan untuk tempatnya saja kami masih menyewa milik orang. Kami harmonis, meskipun sibuk setiap harinya tapi ayah dan bunda masih tetap memberikan perhatiannya kepadaku tanpa ada kekurangan.
"Malam minggu nanti kita jalan-jalan yaa?" Itu suara ayah.
"Gimana Sarah saja."
Seperti biasa bunda menjawab dengan santai.Sementara aku tiduran di pangkuan bunda, saat ini posisi kami tengah menonton film bersama.
"Sarah mau kita jalan-jalan?" Ayah bertanya kepadaku. Antara sadar dan tidak sadar karena menahan kantuk, aku hanya bergumam tidak jelas.
Seperti itulah aktifitas kami di malam hari kalau ayah dan bunda sudah lelah bekerja. Keadaan ini masih terbilang normal dan aku masih belum kekurangan kasih sayang karena setiap harinya aku merasa kasih sayang mereka semakin berlimpah.
Sampai pada suatu hari, cafe yang di bangun ayah bunda mengalami perubahan. Bukan ke arah yang negatif tapi ke arah positif.
Rasanya senang, karena pada akhirnya sesuatu telah mengubah hidup kami. Satu persatu keinginan mulai terkabul. Ayah mulai merencanakan untuk membeli rumah di tempat lain yang dekat dengan usaha kami, dan sejak saat itu mereka di sibukan dengan kegiatan masing-masing.
"Ayah malam minggu Sarah mau jalan-jalan, yaa?" Permintaan ku malam itu.
"Nanti saja ya kapan-kapan." Jawaban ayah, dengan mata yang terfokus pada layar laptop.
Dulu ayah yang selalu merencanakan, sementara aku meng-iyakan.
"Bunda, Sarah mau jalan-jalan." Sekarang ungkapan ku pada bunda.
Lama sekali bunda menjawab karena fokusnya pada kertas-kertas di tangan yang ku tahu itu laporan.
"Bunda?"
"Iya nanti ya, sayang."
"Tapi aku mau jalan-jalan!" Entah mungkin dorongan rasa kesal sehingga aku meluapkan nada sedikit tinggi untuk ukuran anak di usia sepuluh tahun.
"Kamu paham nanti gak? Gak lihat ayah bunda sedang kerja!"
Untuk pertama kalinya, aku mendengar nada tinggi dari ayah. Sampai rasanya jantungku berhenti berdetak untuk sesaat. Suasana hening, aku mengepalkan tangan kuat guna menahan tangis.
"Jangan bentak Sarah." Kata bunda, dia membawaku ke pelukannya.
"Maafin ayah ya? Dia tidak sengaja."
Aku mengangguk dengan mata merah. Rasanya begitu perih, ayah itu jarang meluapkan emosinya, tapi sekalinya dia marah, maka semuanya akan tamat.
"Sekarang kamu main dulu sama Nata, nanti bunda jemput yaa?" Pinta bunda.
Pukul tujuh malam itu, aku pergi ke rumah Nata yang ada di samping rumahku. Setiap langkah yang membawaku keluar rumah, masih saja terdengar sayup-sayup perdebatan kecil antara ayah dan bunda.
"Sarah kalau enggak di didik dari sekarang, nanti besarnya jadi kebiasaan manja!"
"Tapikan pelan-pelan, yah. Kamu jangan kayak gitu tadi."
"Kita sibuk, bund. Sarah harus mulai ngerti."
Jangan berhenti Sarah, ayo terus melangkah sampai rumah Nata. Jangan dengarkan perdebatan yang baru pertama kali kamu dengar, nanti juga semuanya akan baik-baik saja. Mungkin ayah dan bunda sedang sama-sama lelah, sementara aku selalu merecoki mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Whitout You (SUDAH TERBIT DI TEORI KATA PUBLISHING)
TienerfictieBagi sebagian orang mungkin memang benar kalau sebaik-baiknya tempat pulang adalah rumah yang berisikan keluarga yang hangat. Sejauh apapun kedua kaki melangkah, pada akhirnya kita akan kembali ke rumah. Rumah yang harusnya menjadi tempat berkeluh k...