00

4 1 0
                                    


Hidup


Mata indah dengan bulu mata lentik itu menatap pergelangan tangannya yang banyak bekas luka, luka luka itu sekarang kembali mernganga akibat goresan baru dari silet yang tergeletak di samping gadis berpenampilan berantakan.

"Mama...."

"Boleh gak Azura nyerah..."

"Tuhan, aku tau aku memang harusnya tidak ada di dunia ini. Karena nyatanya, aku hanya... terlanjur hidup"


°°°


  Kakinya melangkah tegas melalui koridor. Mengangkat kepalanya angkuh. Azura Abraham, gadis itu berjalan menuju tangga rooftop.

Menendang pintu besi rooftop hingga terbuka.

"Anjing! Kaget gue"

"Tai lah.."

"Azura? Ngapain?"

Azura melangkah menuju laki-laki yang di pangkuannya ada seorang gadis.

Tangannya menarik gadis itu untuk menjauhi pacarnya. "Pergi." Ucapnya penuh penekanan pada gadis itu.

"Lo apa apaan sih?!"

Azura menatap pacaranya yang seakan ingin meledak saat itu juga.

"Pergi!" Azura mendorong gadis yang ia tau bernama Rina keluar dari rooftop.

"Lo nanya apa apaan? Ckckck... Jingga Rediasa! Lo udah punya cewek! Kenapa malah mesra mesraan sama cewek lain?!" Azura menatap tajam mata Jingga.

"Terus kenapa kalau punya cewek? Gue gak bisa bebas gitu? Ortu gue aja gak ngurusin gue, ngapain lo repot repot ngurusin hudup gue?" Jingga menatap mengejek pada pacar satu tahunnya.

Azura kehabisan kata.

Matanya memindai teman teman Jingga yang berjumlah tiga orang. "Kalian juga! Bukannya larang Jingga"

Kevin, lelaki blasteran Indonesia-Inggris itu menatap pada Azura. "Kita gak punya hak"

Rian mengangguk menyetujui, "kita juga gak peduli"

Mereka melangkah pergi.

Laut berhenti di samping Azura, "selesain masalah kalian."

Azura kembali menatap Jingga yang memilih duduk santai sambil menghisap rokok nya.

"Jinggaaa!"

Jingga menoleh sekilas pada Azura.

"Diem."

Azura mematung mendengan nada bicara Jingga yang berubah dingin.

"Sikap lo yang kayak tadi itu bikin cewek tadi tau kalau lo itu pacar gue. Sedangkan gue kan udah bilang, jangan sampe ada yang tau kita pacaran."

Azura menunduk takut saat melihat Jingga berjalan ke arahnya.

°°°


"Loh, Ra? Dahi lo berdarah anjirr..." Azura menatap Rena, teman sebangkunya.

Azura mengusap keningnya, benar dia terluka.

Sekilas Azura melihat teman-teman Jingga yang menatap padanya.

"Ra.. lo gak papa?" Azura menatap Rena sambil menggelengkan kepalanya.

Kemudian kelas kembali fokus belajara karena guru mata pelajaran bahasa Indonesia datang ke dalam kelas.



°°°


Kakinya menendang-nendang kerikil-kerikil yang ia temui. Azura kembali menghadap ke bawah setelah menatap langit yang menurunkan butiran air.

Berjingkrak kaget karena merasakan ada yang menarik tangannya.

"Ini gue." Menatap malas pada Jingga.

"Ngapain?"

"Jemput lo lah." Jingga menyelampirkan jaket nya pada bahu Azura.

"Gue gak mau. Nanti ada yang liat, ini belum jauh dari kawasan sekolah." Azura menundukkan kepalanya.

"Makanya cepetan biar gak ada yang liat." Jingga menarik pelan tangan Azura menuju motornya yang terparkir di pinggir jalan.

Perjalanan pulang pada sore hari dengan ditemani rintik hujan kali ini tidak mengembalikan suasana hati Azura.

"Jingga."

"Cewek tadi.. lo tau namanya?"

Jingga menatap spion yang ternyata Azura juga sedang menatapnya.

"Yang gue pangku?"

Azura berdecak kesal sebelum mengiyakan, "iya cewek yang gue suruh pergi dari pacar gue." Tekannya.

Jingga terkekeh kecil.

"Enggak. Ngapain, gak penting."

Azura memutar bola matanya malas. Kadang ia juga heran dengan sikap Jingga.

"Udah pangku pangkuan tapi belum tau nama."

Azura mencebikkan bibirnya kesal.

"Emangnya kenapa? Cuman pangku doang, lagian dia yang minta."

Azura melototkan matanya, "terus lo terima?!".

"Dasar gila! Bajingan!" Umpat Azura sambil memukul bahu Jingga.

"Kenapa? Lo pengen gue pangku?"

"Jijik gue dengernya." Azura membuat gestur muntah.

Motor Jingga berhenti saat di depan minimarket.

"Ngapain?"

"Beli minum." Jingga menjawab seadanya.

Azura duduk di kursi luar minimarkat tersebut, sambil menunggu Jingga dia membuka ponselnya.

Ayah

Kenapa belum pulang? Ini sudah lewat jam pulang. Tunggu saja hukuman kamu.

Pesan dari ayahnya tentu membuat Azura sedikit risau, dan hal itu tak luput dari mata tajam Jingga.

"Kenapa?" Tanya Jingga sambil membukakan tutup botol lalu menyodorkan minuman itu pada Azura.

"Ayah.."

"Tenang aja, gue yang ngomong."

Tangan berurat milik Jingga menempelkan plaster luka pada dahi Azura. Azura mematung akibat aksi tiba-tiba yang dilakukan Jingga.

"Dahi lo, kenapa?"

"Tadi kejedot."

"Sangaja kan?" Azura meminum minumannya guna menghindari pertanyaan Jingga.

"Jawab." Menghela nafas saat mendengar perintah Jingga.

"Kan gue bilang ke-jedot, bukan di-jedot."

Jingga berdecak pelan, dia tahu Azura berbohong. Azura itu pandai merangkai kata, jadi percuma dia akan terus berbelit-belit..

Azura menutup botol minumanya.

"Gue butuh pelukan." Menarap Jingga yang tak lama memeluknya.

"Makasih Jingga, makasih udah jadi partner gue."

Jingga mengelus surai hitam Azura dengan wajah datar.

"Udah tugas gue."





Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 14, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Terlanjur Hidup Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang