Disclaimer: 100% fiksi. Tidak bermaksud menyinggung kelompok tertentu.
Keesokan harinya, Tim Shadow memulai meeting mereka agak pagi hari ini, karena operasi Om Dedi akan mulai di jam 9 pagi.
"Yok. Cepet langsung." ucap Renner tanpa basa-basi.
"Kemarin Nick ketangkep Ren. Perkara lain, sih. Tapi gue ikut interogasi." jelas Paul. Ia cukup bersemangat karena semalam, ia menemukan leads yang ia pikir cukup kuat.
"Nick bilang dia nggak ada sangkut-pautnya sama kasus Kejakgung. Karena dokumen A1 itu nggak bernilai buat dia, kecuali dijual ke intel militernya Timor Leste. Tapi..."
"Tapi berhubung udah kejadian, jadi harganya nggak setinggi itu?" tanya Danil.
Paul mengangguk. Nick menjelaskan, kemungkinan besar pencurinya buron internasional, yang punya koneksi ke negara-negara barat. Sebab imej Indonesia yang buruk tak terlalu berarti untuk Timor Leste. Tapi jelas berpengaruh untuk investor asing yang mau menanam modal di negara ini.
"Kemarin, Pak Bobby yang bantu. Dia nego ngeringanin hukumannya Nick kalo dia bantu kasus ini." jelas Paul.
"Hah? Pak Bobby? Nego sama Nick? Wah, bokap gua udah desperate banget." sambung Clara.
Paul hanya mengangguk. "Cuma kita mesti waspada ya. Omongan Nick kan suka ngaco."
Pihak polisi menjelaskan temuan lapangan mereka di lapangan, yang tak banyak. Tak ada jejak apapun. Satu-satunya clue hanya posisi pot besar yang bergeser di lorong depan ruangan Pak Binsar.
"CCTV bersih kan...nah Nick bilang, kesalahan amatir pencuri bau kencur itu, mereka nggak perhatiin kamera lain." jelas Paul lagi.
"Kamera lain? Emang ada?" tanya Syarla.
Paul mengangguk dan terdiam, membiarkan timnya untuk menebak kamera mana yang dimaksud.
"Anjing...! Webcam komputernya Pak Binsar??" tanya Iqbal sekarang.
"Bingo." balas Paul.
"Tapi kan komputernya mati?" Clara masih tak mengikuti.
"Iya, emang mati, Clar. Tapi apa tuh...kata-kata favorit Iqbal?" sambung Danil sekarang.
"Big Brother is always watching." ucap Paul dan Iqbal bersamaan.
"Emang lo bisa, buka?" tanya Renner kali ini, tak mudah mengambil footage dari komputer yang mati. Mereka harus mengontak manufacturer komputernya, negosiasi, lalu si manufacturer juga harus mengakui bahwa webcam yang seharusnya mati nyatanya tak selalu mati, baru kemudian mendapatkan foorage-nya.
Iqbal mengangkat bahu, "Ya, harus usaha dulu. Tapi kalo request-nya tembusan Pak Binsar sama Pak Dewa sih, mereka pasti gercep." liriknya ke Clara.
"Pak Bobby udah naro requestnya semalem, Bal. Ke Apple. Belum digubris." jelas Paul lagi.
"Server mereka sih di Singapur yang paling deket." balas Iqbal, masih melirik Clara.
Clara kini mengernyitkan dahinya, "Lo mau gue ngapain, sih?"
"Lo ada temen, kan, di DOJ-nya Singapur?" tanya Iqbal. Clara membelalakkan matanya. "Buset. Lo pikir pemerintah Singapur mau bantuin ginian?"
Iqbal menaikkan alisnya, "Bayangin, perusahaan Amerika, ngelanggar hukum di negara lain. Apa nggak jadi berita?" sahutnya sambil tersenyum.
"Licik emang, otak lu. Yaudah bentar gue telfon temen gue dulu." sahut Clara, mengeluarkan ponselnya, beranjak keluar.
Sebelum ia menutup pintu, Clara melongok ke ka dalam ruangan, "Oh iya Bal, perkara semalem udah gue urus sama Danil ya. Udah kita jelasin juga ke Renner."
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadows of Two Hearts [END]
ActionSekuel dari "Two Worlds Colliding": Ketika dua dunia yang berbeda pada akhirnya bersatu, rintangan apa yang akan ada di depan mereka? Dan apakah mereka bisa melewatinya? 🍣