Kenangan terakhir yang Fifi ingat tentang Wahyu adalah ketika mereka berdua berdiri di depan halte tempat mereka menunggu bus. Kala itu waktu sudah beranjak lebih malam dan hujab masih mengguyur kota Jakarta.
Masih berbalut seragam sekolah putih biru, berdiri dengan senyuman paling manis dan saling pandang penuh arti. Mereka sengaja membolos demi menghabiskan waktu kencan seharian. Cinta mereka mungkin saja cinta monyet, tapi entah kenapa rasanya begitu indah.
"Fi!" Panggil Wahyu.
Suara runtuk hujan agak menutupinya, terutama suara dari bunyi atap halte. Tapi Fifi hanya menjawab dengan gumaman kecil.
"Aku janji, nggak bakalan ninggalin kamu."
Senyuman Fifi lagi-lagi muncul. Kalimat itu seperti sebuket bunga baginya, janji manis itu sangatlah berarti untuknya. Dan Fifi menjawab itu dengan hati berbunga-bunga.
"Ya, aku juga nggak bakalan ninggalin kamu. Apapun alasannya, jika suatu saat aku pergi ataupun kamu pergi, aku pasti bakalan nungguin kamu sampai kapanpun itu. Karena aku--aku suka banget sama kamu."
Bukannya mereda hujan semakin deras. Langit sudah mengatakan itu sebagai pertanda buruk, tapi mereka tidak menyadari hal itu. Dan bus yang mereka tunggu sejak tadi akhirnya datang.
Kembali senyuman mereka muncul begitu indah. Juga gengaman tangan mereka yang begitu kuat, seperti tidak ingin dilepas. Kalau mau Fifi ingin selamanya menikmati hodup bersama Wahyu. Ingin hidup dengan bahagia seperti ini.
***
Tiga tahun telah berlalu, Fifi masih mengingat semua kejadian itu di kepalanya. Rasanya begitu segar, seperti semua itu baru terjadi kemarin. Kini hatinya begitu sakit ketika mengingat semua kenangan menyedihkan itu juga janji manis yang harusnya tidak dia percayai
Di ujung trotoar tepat di depan halte yang sudah usang dan karatan. Fifi berdiri seorang diri di pinggir jalan ramai. Dengan seragam sekolah putih abu-abunya, dia terlihat mengenaskan. Kenangan indah itu mendorong air matanya keluar begitu deras. Kerinduan yang menjadi alasannya.
Tangisannya pecah.
"Wahyu, kamu kemana?" Ucapnya.
Tidak lama hujan turun cukip deras. Seragam yang dia kenakan dan tas yang dia bawa mulai basah. Fifi masih tidak beranjak, tangisannya justru semakin keras. Air matanya sudah tidak terlihat, karena jatuh yang disertai dengan air hujan.
Namun, dari arah beakang ada sebuah tangan terulur sembari memegang payung. Fifi menyadari benda itu karena dia tidak merasakan air hujan jatuh di atas kepalanya, tangisannya terhenti. Di antara derasnya air mata, dia menoleh, mendapati satu laki-laki sebaya dengannya. Wajah yang tidak asing, tapi Fifi mampu untuk mengenalinya dengan seragam sekolah yang sama.
Sementara laki-laki itu ini berdiri di hadapannya, setengah basah. Tidak peduli dia yang ikut basah kehujanan di sana.
"Aku nggak perlu payung." ucap Fifi ketus.
Tidak berniat menatapnya lebih lama. Lebih tertarik pada jalanan.
Tidak banyak yang dia tahu tentangnya, dia hanya tahu namanya. Dewa Pratama, laki-laki dengan paras tampan yang membuatnya cukup terkenal di sekolah. Dia juga punya catatan buruk tentang perilakunya yang agal melenceng dari pelajar seharusnya. Atau bisa di bilang Dewa murid yang nakal. Sudah banyak orang yang menjadi korbannya.
Termasuk Fifi sendiri.
"Bisa kamu pergi? Aku lagi ingin sendiri." katanya lagi.
Dia pikir sikap ketusnya mampu untuk membuatnya pergi tapi yang terjadi payung itu tiba-tiba di tutup lalu di lempar ke tengah jalan.
"Kenapa? Kamu nggak punya orang lain yang bisa kamu gangu?" sindir Fifi.
"Payungnya nggak berguna, jadi aku buang." jawab Dewa.
Gadis itu menghela napas. Perasaan sedihnya berubah menjadi kesal.
"Bisa nggak, sih? Hari ini kamu nggak gangu aku. Kamu nggak liat aku lagi..."
"Hujan-hujanan ternyata enak, ya. Jadi inget masa kecil." potongnya.
"Dewa!" pekik Fifi akhirnya.
Dia menangis lagi, walau tangis itu bercampur dengan air hujan. Tapi Dewa tahu gadis itu benar-benar menangis. Hujan semakin deras begitu juga tangisannya.
"Aku mohon, aku lagi pengen sendiri!".
"Trus apa? Nangis di sini kaya biasanya dan tangisin si Wahyu bajingan itu yang bahkan nggak tahu dia bakalan balik atau nggak?" ucap Dewa tajam.
Fifi terdiam, dia menoleh terkejut. "Apa?!"
"Aku nggak tahu apa yang kamu tunggu dari laki-laki nggak bertanggung jawab dengan janjinya itu. Dia ngasih harapan ke kamu lalu pergi, dia iti nggak lebih dari cowok brengsek!"
"Dewa. Lebih baik kamu diam."
"Cinta masa SMP? Aku rasa kamu suka sama cowok labil yang bahkan nggak tahu apa arti cinta! Bahkan kamu juga nggak ngerti apa itu cinta!"
"Dewa, stop!"
"Harusnya kamu tinggalin dia! Lupain dia!".
"DEWA!"
"APA!"
Hardikan Dewa membuat Fifi bungkam. Kedua pundaknya gemetar, juga tubuhnya yang mulai kedinginan. Dia menghela napas, membuang muka dari laki-laki itu. Memunggunginya untuk menyeka air mata juga air hujan di wajahnya. Kata-katanya barusan tentu saja memukulnya. Bahkan jika dia tidak mengatakannya, dia sudah tahu harusnya itu yang dia lakukan.
Tapi dia tidak bisa.
"Harusnya kamu lupain dia! Dia itu masa lalu! Dia juga nggak bakalan kembali. Bahkan aku rasa dia udah nggak inget sama kamu!" kata Dewa yakin. "Buat apa terus berharap sama orang kaya dia. Apa yang udah kamu dapat dari dia selain keadaan kamu yang menyedihkan sekarang? Apa dia ada di saat kamu kaya sekarang?"
"Kenapa, sih?" protes gadis itu. Fifi kembali menghadap pada Dewa, sudah siap untuk berdebat. "Kenapa kamu begini? Kamu bukan siapa-siapa. Kenapa..."
"Karena aku suka sama kamu!" potong Dewa dengan tegas.
Suara petir tiba-tiba mengelegar. Fifi yang telah mendengar pernyataan yang mengejutkan itu tentu saja membeku seperti es. Dia menggeleng karena dia pikir dia salah dengar.
"Nggak! Kamu nggak mungkin..."
"Kenapa? Kamu nggak bisa terima kenyataan kalau aku suka sama kamu?" desaknya. Dewa menyinggung getir. "Perlu kamu tahu aku juga nggak bisa menolak perasaan ini. Dan aku nggak suka liat kamu tersakiti karena cowok bakingan itu. Lupain dia! Biarin aku masuk. Aku nggak mau janji kaya cowok yang kamu tunggu itu. Aku cuman pengen kamu bahagia. Laki-laki yang membuat perempuan nangis itu nggak lebih dari sekedar laki-laki sampah dan bajingan."
Fifi menunduk, dia kehabisan kata-kata. Tidak punya cukup air mata lagi untuk tangisnya sekarang. Dia sudah cukup lelah. Lelah dengan semua kesedihan yang dia pendam dan dia tunggu selama lebih dari tiga tahun. Jadi dia memilih pergi dari sana.
Dengan perasaan yang benar-benar begitu campur aduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
HUJAN... MENGAPA LARI? ( TAMAT )
Short StoryKisah hidup, perjalanan, asmara, pelajaran juga duniaku.