Di dalam mobil, lebih tepatnya di kursi penumpang. Rara melipat tangan di dada, wajahnya dongkol dengan bibirnya yang terus mengecut. Menatap kesal sosok Ayahnya dari kaca spion. Alasannya adalah beberapa menit yang lalu. Ketika Ayah dan Ibunya memaksanya untuk ikut pergi ke rumah nenek di saat dia tidak ingin pergi.
Dia hanya ingin di rumah, menikmati waktu sendirinya, menonton televisi hingga malam, bermain ponsel, mendengarkan musik sekeras mungkin bahkan juga menghabiskan cemilan tanpa ada yang melarang. Itu surga dunia bagi dirinya. Tapi lihat saja, Ayah dan Ibunya memaksanya ikut dengan alasan tidak ada siapapun di rumah.
Hah? Memangnya dia ini anak kecil? Dia ini sudah tujuh belas tahun. Dia sudah dewasa.
"Ibu mendapatkan kabar, Nenek di sana sudah tidak sabar untuk bertemu. Akhirnya setelah lima tahun tidak melihatnya. Kita akhirnya bisa mendatanginya," ucap Darmini gembira. Melihat kedua anaknya itu. "Ayah, Ibu, Laras dan Rara. Kita tidak pernah pergi bersama seperti ini selama lima tahun, kan?"
Rara memutar bola matanya malas. Itu kalimat klise untuk mencairkan suasana cangung. Ibunya selalu melakukan hal itu dan itu tidak pernah berhasil. Sementara itu, Laras, Kakak perempuan di sebelahnya hanya diam menatap ke luar jendela tanpa kata.
"Iya, seseorang egois hampir saja merusaknya hanya karena ingin berpesta di rumah."
Itu sindiran pedas dari Sartani. Darmini memukul lengan suaminya yang menggenggam stir mobil sebagai teguran. Kesal karena semakin memperburuk suasana.
Rara diam tidak berkomentar. Lagi pula rasanya dia tidak berhak berdebat. Darmini tertawa cangung, berusaha membujuk anaknya. "Liburan sekolah akan berakhir dua minggu lagi. Masih ada begitu banyak waktu. Kita akan pulang lebih cepat jika Rara ingin sekali di rumah,"
"Tidak perlu. Kita akan tetap pada jadwal. Kita akan pulang ke rumah tiga hari sebelum liburan sekolah berakhir." Serobot Sartani. Mobil berhenti karena lampu lalu lintas berubah merah. Seperti keadaan di luar mobil yang kalut, persitegangan di dalam mobil juga semakin kacau.
Darmini hanya bisa menghela napas untuk sikap suaminya itu. Seperti sudah lelah dengan pertengkaran yang terjadi. Memilih duduk memijit pelipisnya.
"Lagi pula kenapa kamu benar-benar sulit sekali pergi. Apa kamu akan terus menjadi anak yang selalu di dalam rumah? Terlebih ini adalah rumah nenek. Sudah lima tahun kita tidak pernah pergi lagi menemuinya? Dan kamu menolak hanya karena ingin sendirian di rumah?"
Laras di tempatnya membalas. "Dia itu introvert, Ayah. Jadi itu wajar,"
"Intopet? Apa itu?"
"Seseorang yang sering menghabiskan waktu sendirian atau lebih senang berteman dengan satu atau dua orang yang dirasa lebih dekat," jelas Laras. Dia melihat pada Rara. Memastikan jika hal itu benar. "Apa aku salah?"
"Tidak! Kakak benar! Dan ada seseorang yang lebih egois tidak paham dengan hal itu," kata Rara sinis. Membalas sarkasme sebelumnya. Karena pada dasarnya dia tidak mau kalah jika berdebat dengan Ayahnya yang menyebalkan. "Trus saja menyalahkanku,"
"Introvet, intopet. Ayah tidak perduli. Ini tentang perjalanan kita semua. Bertemu dengan nenek bukan sebuah hal buruk. Kita sudah tidak bertemu dengan nenek selama lima tahun. Dia di sana sendirian penuh dengan rindu. Itu masalahnya," omelnya. "Kalian tidak kasihan padanya? Atau pada Ibu? Bagaimana jika kalian yang berada di posisi Ibu?"
Semuanya diam tidak membalas. Sartani sebenarnya bisa tapi lampu merah kembali berubah dan klakson berbunyi seperti kucing yang bertengkar. Melanjutkan perjalanan mereka.
"Kini aku juga di sangkut pautkan?" sewot Laras. Agak tidak senang karena kenyataannya sejak tadi dia tidak berkomentar tentang apapun. "Sepertinya diam tidak selalu jadi benar,"
Rara bersuara tidak senang. "Aku tidak bilang tidak ingin bertemu dengan Nenek,"
Darmini melirik pada Sartani ketika Rara akhirnya angkat bicara, begitu juga sebaliknya. "Lalu kenapa? Ada sesuatu yang membuatmu tidak nyaman pergi ke tempat nenek? Ada yang mengangumu di sana?""Tidak!" sela Rara buru-buru. "Hanya saja perjalanan ini begitu membosankan. Dan juga melelahkan,"
Laras diam-diam menganguk sembari menahan dagunya. Setuju tentang hal itu. Karena memang jarak yang mereka tempuh sekitar lima jam perjalanan. Dan itu memang cukup membosankan. "Itu tidak salah," ucap Laras.
"Kamu juga begitu, Laras?" Tanya Darmini.
"Ya, duduk di mobil lima jam itu bukan hal mudah. Itu membosankan. Sepanjang jalan kita hanya melihat jalanan dan mobil lalu lalang."
Sartani menyela dengan tawa getirnya. "Itu karena kalian berdua tidak menikmati perjalanan ini,"
Rara tertawa geli. Membalas dengan nada dongkolnya. "Oh, ya! Bagaimana cara menikmati perjalanan bosan ini? Dengan tidur?"
"Tidak juga. Kalian tahu, setiap perjalanan itu adalah edukasi terbaik."
Laras dan Rara saling melirik. Kebingungan dengan kalimat pernyataan itu. Darmini tersenyum mendengarnya, merasa jika suaminya itu akan berhasil membujuk kedua anaknya.
"Edukasi terbaik? Bagaimana bisa?" Tanya Laras.
Rara mengeleng tidak tertarik, menilai bahwa Ayahnya hanya bicara omong kosong. "Jangan di anggap serius. Ayah hanya asal bicara."
"Siapa bilang?" Sartani memutar stir, berbelok tajam pada salah satu kelokan. "Perjalanan itu bukan tentang pulang dan pergi, bukan tentang perjalanan bosan dan waktu untuk kalian tidur di saat Ayah membawa kalian,"
"Perjalanan itu tentang menghasilkan penemuan baru, mengeksplorasi tempat baru, merasakan hal baru, mandiri, menghubungkan, memahami, belajar bahasa baru, berkomunikasi, menantang, bahkan pembelajaran. Beberapa kali mungkin kalian akan merasa bosan, tidak semangat bahkan mungkin tidak berminat. Perjalanan itu pengalaman dunia nyata."
"Perjalanan akan membawa kita pada tempat-tempat yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Ada hikmah berbeda di setiap tempat yang telah singgahi. Bahkan jika itu adalah rumah nenek. Satu perjalanan adalah satu pelajaran baru. Satu perjalanan adalah satu pengalaman baru. Dan satu perjalanan adalah kenangan berharga."
"Semua itu tergantung bagaimana kalian. Jika kalian bersyukur atas semua hal yang terjadi. Ayah yakin, perjalanan apapun yang kalian jalani. Pasti akan jadi lebih menyenangkan."
Darmini semakin tersenyum setelah mendengar hal itu. Karena kenyataannya itu adalah benar. Rara dan Laras di belakang saling menatap lalu keduanya sama-sama berpaling muka menatap jendela. Melihat pemandangan hijau di luar sana. Pikiran mereka jadi kalut tentang kalimat yang Ayahnya lontarkan.
Laras adalah gadis yang terlalu sibuk dengan segala aktivitas utamanya. Sekolah, les dan ujian. Jadi, dia pikir semua perjalanan adalah hal membosankan. Sementara Rara, dia gadis yang hanya perduli pada kesenangan batinnya. Kesendirian adalah kesukaannya. Entah beberapa kali dia menolak perjalanan bersama teman sekolahnya, karena baginya perjalanan itu tidak pernah menyenangkan baginya.
"Iya, Ayah benar." Sahut Laras.
"Aku pikir Ayah hanya bicara omong kosong. Aku benar-benar terkejut," ucap Rara remeh. Tapi menganguk penuh dengan kekaguman. "Itu ceramah yang sangat bagus,"
Sartani tertawa geli. "Tentu saja. Untuk apa Ayah bicara omong kosong,"
Darmini melirik pada suaminya itu. Ada senyuman bangga yang muncul di sudut bibirnya. Sejak dulu dia selalu berhasil membujuk kedua anaknya itu dengan nasihat yang sangat bagus. Itu adalah salah satu alasan mengapa mereka bisa berada di tempat ini.
"Jadi, apa kita bisa mulai perjalanan yang menyenangkan?" Tanya Sartani dengan tawanya.
Rara dan Laras yang telah kalah akhirnya serentak menjawab. "Baiklah,"
Setelah itu mereka saling tertawa geli. Dan perjalanan kemudian berubah menjadi lebih menyenangkan.
Jakarta, 15, July 2022
Salam manis
Renata H
KAMU SEDANG MEMBACA
HUJAN... MENGAPA LARI? ( TAMAT )
NouvellesKisah hidup, perjalanan, asmara, pelajaran juga duniaku.