Es Krim Matcha (1)

14 2 2
                                    

Kantorku terletak di pusat kota. Padat. Penuh hiruk pikuk. Dinamis. Segala macam pergerakan moda transportasi darat hampir semuanya ada. Tak jarang pesawat dan helikopter pun ikut meramaikan. Dari pagi hingga malam pergerakan itu tidak pernah berhenti. Ya kecuali saat lampu merah. Dua menit mungkin. Dengan catatan jika semuanya tertib. Karena pasti ada saja kan yang belok kiri padahal jelas-jelas tertulis rambu "Belok kiri ikuti lampu".

Jam dinding di belakang kubikelku menunjukkan pukul 16.55. Sudah saatnya pulang. Tapi rasanya aku enggan pulang. Pulangnya nanti sajalah, sekalian nunggu macet. Begitu pikirku.

Kebetulan tidak jauh dari kantor ku ada mini market. Biasanya aku kesana untuk membeli kopi. Atau sekedar bengong sambil makan es krim matcha. Kalian tahu kan es krim matcha dengan corn berbentuk ikan. Sebenarnya ada juga varian lain. Coklat dan vanila jika aku tidak salah. Tapi kesukaanku tetaplah varian matcha ini. Setelah mengambil satu es krim aku langsung berjalan menuju kasir dan membayarnya.

Sore ini ramai. Semua bangku penuh. Menyisakan spot kecil di pojok. Tepat di belakang sekelompok wanita yang sedang asyik mengobrol. Update kehidupan. Aku duduk lalu menikmati es krim dengan tenang. Tanpa melihat handphone. Hanya aku, es krim, dan suara riuh yang terdengar seperti white noice di telingaku.

***

Acara makan malam.

"Hai Rian, kirain lo ga bakal dateng", kata salah seorang perempuan menyambut kami. Lebih tepatnya menyambut Mas Rian.

"Halo, udah pada ngumpul dari tadi ya? Sorry tadi macet banget", jelas Mas Rian.

"Hai Ra, sini duduk sini", kata Mba Icha.

Lega sekali saat aku mendengar suara itu. Ya karena satu-satunya yang aku kenal hanyalah Mba Icha. Istri Dokter Arham yang menikah tiga bulan lalu. Aku tahu beberapa orang yang hadir disini. Tapi hanya sekedar tahu saja.

Mba Icha mengajakku untuk duduk di sebelahnya. Sedangkan Mas Rian duduk di seberang kami berjajar dengan para lelaki. Meja ini cukup panjang. Jika kuhitung ada sepuluh kursi yang tertata. Dan sudah terisi sembilan termasuk kami. Aku dan Mas Rian.

Satu per satu menu disajikan di atas meja. Ada nasi goreng, path thai, dimsum, udang goreng, tumis sayur, dan beberapa hidangan Thailand lainnya. Untuk minumannya aku pesan leci tea dan sebotol air mineral.

Setelah menu lengkap tersaji, kami semua mulai makan. Aku yang dari tadi memang sudah lapar langsung mengambil nasi goreng yang berada tepat di depan ku. Tentu saja aku hanya mengambil sedikit. Aku tidak mau terlihat rakus di depan teman-teman Mas Rian.

Kami makan sambil mengobrol satu sama lain. Sesekali aku ikut menimpali. Hanya jika ada yang bertanya lebih dulu pada ku. Dan pertanyaannya pun tidak jauh dari pekerjaanku atau tentang bagaimana rasanya berpacaran dengan Mas Rian.

Di tengah acara makan. Datang seorang wanita berkacamata. Dia berjalan menghampiri meja kami. Aku asing dengan wanita ini.

Belum sempat aku melakukan observasi, aku dikejutkan dengan wanita itu yang tiba-tiba memeluk Mas Rian. Dan Mas Rian pun membalas pelukannya. Aku terdiam sejenak. Otakku berputar berusaha mengingat apakah sebelumnya kami pernah bertemu? Atau apakah Mas Rian pernah menceritakan tentang wanita yang saat ini duduk di sebelahnya itu padaku?

Nihil. Tidak ada ingatan yang berhasil kuraih.

Seakan menyadari sikapku yang mendadak diam, Mba Icha menawariku dimsum. Katanya ini signature dish di sini. Dan karena menghargai Mba Icha, aku mengambil satu dimsum dan memakannya.

"Enak Mba, ga salah memang kalo ini jadi signature dish", kataku sambil berusaha tetap tersenyum.

Interaksi dua orang di depanku ini benar-benar membuatku muak dan tidak nafsu untuk melanjutkan makan. Keduanya tampak akrab dan tidak ada rasa canggung. Merangkul bahkan menggandeng tangan Mas Rian seperti hal biasa buatnya.

Numbers and NeurosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang