Bab 1: Tinta dan Kesunyian

4 0 0
                                    

"Diam adalah ranjang di mana mimpi-mimpi yang tertahan beristirahat. Namun ada saatnya ketika mimpi itu harus terbangun, menembus batas yang mengekang."

Kota kecil itu selalu sunyi di malam hari. Tidak ada keramaian di jalan, hanya suara angin yang berdesir pelan di antara bangunan-bangunan tua. Di kamar Annelise, keheningan terasa lebih dalam. Kamar itu adalah ruang yang ia kenal sejak kecil, tetapi sekarang terasa asing. Seolah-olah dinding-dindingnya semakin menyempit setiap hari, semakin menghimpit dirinya dalam kesunyian yang tak ia pilih.

Sudah berbulan-bulan sejak Annelise lulus dari universitas, namun kehidupan yang ia bayangkan seolah tidak kunjung tiba. Kota ini terlalu kecil untuk menampung ambisi-ambisi yang selama ini ia sembunyikan. Di universitas, ia telah merasakan kebebasan—kebebasan berpikir, berdiskusi, dan berbicara. Namun di kota kecil ini, kebebasan itu seakan hilang. Seperti burung yang dipaksa kembali ke sangkar setelah merasakan udara luas.

Di kota ini, perempuan tidak diharapkan berbicara banyak. Mereka dilahirkan untuk menjalani peran-peran yang telah ditentukan: menjadi pendamping, menjadi pengurus rumah tangga, menjalani hidup dalam aturan yang tak pernah mereka buat sendiri. Dan meski ia terdidik, meski ia tahu ada dunia yang lebih besar di luar sana, Annelise merasa seolah-olah dinding-dinding kota ini memenjarakan semua mimpi-mimpinya.

Malam adalah pelariannya.

Di tengah malam, ketika kota sudah tertidur, Annelise duduk di meja kecil di kamarnya. Kertas-kertas berserakan di sekelilingnya—kertas-kertas yang penuh dengan tulisan tangan yang tajam dan jujur. Di sinilah, melalui pena dan tinta, ia bisa berbicara. Kata-kata yang selama ini terpendam dalam pikirannya mengalir di atas kertas. Mereka tidak pernah ia tunjukkan pada siapa pun. Menulis adalah satu-satunya jalan untuk merasa bebas, meski hanya di dalam kamar ini.

Malam itu, pikirannya tak bisa tenang. Annelise menatap kertas kosong di depannya, tetapi jemarinya ragu untuk mulai menulis. Ada banyak hal yang ingin ia katakan, tetapi selalu ada ketakutan yang menghantui—takut bicara terlalu keras di dunia yang tak memberi ruang bagi perempuan untuk bersuara.

Beberapa hari yang lalu, dia membaca pengumuman di surat kabar lokal: sebuah perlombaan menulis puisi. Awalnya, dia hanya sekilas melihatnya tanpa minat. Tetapi kemudian, pengumuman itu terus terngiang di kepalanya. Sebuah lomba puisi, di mana peserta bisa tetap anonim. Tidak ada yang perlu tahu siapa penulisnya, tetapi karyanya bisa didengar oleh banyak orang.

Anonim. Itu kata yang terus terlintas dalam pikirannya. Anonymitas bisa menjadi jalan baginya untuk berbicara tanpa takut akan penghakiman, tanpa takut dianggap tidak pantas. Mungkin, untuk pertama kalinya, dia bisa berbicara tanpa dibungkam.

Namun, ada sesuatu yang menahannya. Selama ini, menulis adalah pelariannya—sesuatu yang hanya untuk dirinya sendiri. Tapi sekarang, ada kesempatan untuk berbagi perasaannya dengan dunia luar. Tapi apakah ia siap?

Malam itu, Annelise bangkit dari kursinya dan berjalan menuju jendela. Angin malam yang sejuk menyentuh kulitnya saat ia membuka jendela, membiarkan udara malam masuk ke dalam kamarnya. Matanya menatap langit gelap yang penuh bintang, seperti mimpi-mimpi yang tak pernah sampai. Dia merasa kecil di dunia ini, seolah suaranya akan tenggelam di antara bintang-bintang itu. Tapi dalam hatinya, ada sesuatu yang berkata bahwa suara kecil sekalipun bisa didengar, jika disampaikan dengan benar.

Annelise duduk kembali di mejanya. Dengan napas yang sedikit berat, dia mengambil pena. Jemarinya bergerak perlahan, tetapi pasti. Kata-kata yang selama ini hanya ia simpan di hatinya, kini mengalir keluar.


"Di bawah langit kelam yang membisu,

Aku berjalan dengan kaki yang tak pernah bebas,

Terkurung oleh harapan yang bukan milikku,

Namun tak pernah aku diberi pilihan untuk berbicara."


Annelise berhenti sejenak, menatap kata-kata itu. Dalam diam, puisi ini berbicara lebih banyak daripada yang pernah ia ungkapkan. Kata-kata itu mencerminkan bagaimana ia hidup—terkurung dalam dunia yang tak memberi pilihan. Namun, meski dunia mengikatnya, keinginannya untuk bebas tetap menyala.


"Mereka berkata aku lahir untuk diam,

Untuk patuh pada dunia yang tak pernah kutulis,

Namun dalam setiap langkahku,

Aku merasakan nyala api kecil yang menuntunku pada kebebasan."


Annelise meletakkan pena dan menghela napas panjang. Ada rasa lega yang datang setelah menulis. Kata-kata itu bukan lagi beban di pikirannya, tapi telah menjadi sesuatu yang nyata. Sesuatu yang bisa didengar, meskipun dia tak tahu siapa yang akan mendengarnya.

Annelise melipat kertas itu dengan hati-hati dan memasukkannya ke dalam amplop. Di bagian belakang amplop, dia menuliskan kata "Anonim". Dia tahu, identitasnya tidak penting. Hanya pesannya yang penting.

Keesokan harinya, Annelise melangkah keluar rumah dengan amplop itu di dalam tasnya. Langkah kakinya terasa berat, bukan karena amplop yang ia bawa, tetapi karena beban keputusan yang ia buat. Apakah ini langkah yang benar? Apakah ia terlalu berani, atau mungkin terlalu takut untuk tidak melakukannya?

Sesampainya di kantor pos, Annelise berhenti sejenak di depan pintu. Kantor pos itu kecil dan sederhana, tapi di dalamnya ada jalan untuk suara-suara yang ingin didengar. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk.

Petugas pos, seorang pria paruh baya dengan wajah lelah, tersenyum tipis ketika Annelise menyerahkan amplopnya. Tanpa banyak bicara, petugas itu mengambil amplop tersebut dan menaruhnya di tumpukan surat lainnya. Begitu cepat, begitu sederhana. Amplop itu sekarang sudah keluar dari tangannya, menuju tempat di mana kata-katanya bisa dibaca oleh banyak orang.

Annelise merasa jantungnya berdetak cepat, tetapi juga ada rasa lega yang datang bersamaan. Dia sudah melakukannya. Kata-katanya akan didengar, meski tanpa nama.

Seminggu berlalu, dan hidup Annelise kembali berjalan seperti biasa. Hari-harinya terisi dengan rutinitas yang tak pernah berubah, tetapi ada sesuatu yang baru di dalam dirinya—sebuah harapan kecil bahwa kata-katanya mungkin akan dibaca. Namun, ia tidak terlalu berharap. Jika puisinya tak memenangkan lomba, itu pun tak masalah. Setidaknya, ia sudah berbicara.

Tapi pagi itu, saat Annelise berjalan di jalan utama kota, sesuatu di jendela toko buku menarik perhatiannya. Sebuah surat kabar yang dipajang di sana menampilkan pengumuman besar: Pemenang Perlombaan Puisi Diumumkan. Jantung Annelise berdetak kencang saat ia mendekat untuk membaca.

Matanya menyusuri daftar pemenang, dan di sana, di bagian paling atas, tertulis satu kata yang membuatnya terdiam: "Anonim".

Dia menang.

Perasaan campur aduk memenuhi hatinya. Di satu sisi, dia merasa bangga. Puisinya telah diakui. Kata-katanya telah didengar. Namun di sisi lain, ada ketakutan yang mulai merayapi dirinya. Apa yang akan terjadi sekarang?

Namun, di bawah pengumuman itu, tertulis catatan kecil yang menenangkannya. Pemenang diharapkan menghubungi surat kabar melalui kotak surat khusus yang disediakan, dan mereka bisa tetap anonim jika diinginkan.

Annelise tersenyum kecil. Anonim. Itu adalah perlindungannya, dan dia akan terus menulis dengan nama itu. Dunia tidak perlu tahu siapa dia. Yang penting, mereka mendengar apa yang ia katakan.

AnneliseWhere stories live. Discover now