Bab 2: Kata-Kata yang Membakar

2 0 0
                                    

"Di balik setiap kata, ada bara yang tertahan. Tak semua api berkobar dalam sekejap—ada yang menunggu waktu untuk membakar."

Setelah kemenangannya diumumkan, hari-hari Annelise berubah. Bukan karena orang-orang di kota mulai menatapnya berbeda—karena, tentu saja, mereka tak tahu siapa dirinya—tetapi karena di dalam dirinya, ada sesuatu yang berubah. Ia telah didengar. Kata-katanya, yang selama ini hanya terpendam di dalam buku harian, kini hidup dan beredar di antara halaman-halaman surat kabar, dibaca oleh orang-orang yang tak pernah ia temui.

Setiap pagi, Annelise berjalan melewati toko buku kecil di jalan utama. Ia tak pernah membeli surat kabar, tetapi ia selalu melirik kolom puisi di halaman depan, berharap melihat lebih banyak dari apa yang sebelumnya ia kirimkan. Nama "Anonim" telah menjadi bahan perbincangan di kalangan tertentu, terutama di antara para pembaca yang lebih cerdas dan berpikiran bebas. Meskipun tidak semua orang memahami kedalaman kata-katanya, ada bisikan-bisikan yang mulai menyebar tentang penulis misterius ini.

Sementara itu, di kedalaman hati Annelise, ada sesuatu yang terus membesar—rasa percaya diri yang perlahan muncul. Bukan karena pujian, tetapi karena ia tahu, sekarang ia tak lagi terperangkap dalam diam. Ada kekuatan dalam setiap kata yang ia tulis, dan kekuatan itu memberinya keberanian untuk melangkah lebih jauh.

Minggu pagi itu, Annelise memutuskan untuk pergi ke perpustakaan umum. Bangunan besar dengan pilar-pilar tinggi itu selalu memberinya kenyamanan. Di sana, ia bisa bersembunyi di antara rak-rak buku yang menjulang tinggi, dikelilingi oleh pikiran-pikiran besar dari orang-orang yang sudah lama tiada. Hari ini tidak berbeda—Annelise ingin merasakan keheningan perpustakaan, meskipun di dalam hatinya, ada gejolak yang sulit diredam.

Sesampainya di sana, ia berjalan ke bagian belakang, ke salah satu sudut favoritnya. Rak buku puisi—tempat di mana ia bisa tenggelam dalam kata-kata tanpa perlu menjelaskan siapa dirinya. Namun saat ia mencapai rak itu, langkahnya terhenti.

"Annelise?" Sebuah suara yang dikenal menyapanya. Suara yang sudah lama tak ia dengar, namun masih akrab di telinganya.

Annelise berbalik dan mendapati Julian berdiri di sana, memegang sebuah buku di tangannya. Wajahnya masih sama—tenang dan penuh rasa ingin tahu, tetapi dengan sedikit kematangan yang tidak ia miliki saat mereka masih di universitas. Julian tersenyum, menatap Annelise dengan kehangatan yang tak terduga.

"Julian?" Annelise hampir tidak percaya. "Kapan kau kembali ke kota ini?"

"Belum lama," jawab Julian, masih dengan senyuman yang sama. "Aku ada urusan keluarga yang harus diurus, jadi kupikir, mengapa tidak tinggal lebih lama?" Dia melirik rak-rak di sekitar mereka. "Tapi aku tak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Kau masih suka datang ke perpustakaan, ya?"

Annelise mengangguk, sedikit terkejut dengan pertemuan ini. Julian adalah salah satu teman seangkatannya di universitas, seseorang yang selalu ia hormati, meskipun mereka sering terlibat dalam perdebatan sengit di kelas. Julian selalu punya pemikiran yang tajam, namun ia tak pernah meremehkan Annelise, meskipun mereka sering tidak sependapat. Annelise ingat betul betapa intensnya diskusi mereka dulu—tentang sastra, filsafat, dan isu-isu sosial yang saat itu dianggap terlalu berani untuk dibicarakan oleh seorang perempuan.

"Kau masih sering membaca puisi?" Julian melanjutkan, tatapannya lembut.

"Ya, aku tak pernah berhenti." Annelise menjawab dengan senyum tipis.

Julian tertawa kecil. "Aku tak terkejut. Sebenarnya, aku sedang membaca puisi-puisi di surat kabar beberapa hari yang lalu. Pernahkah kau mendengar tentang penulis anonim yang baru-baru ini menang perlombaan puisi?"

Hati Annelise tiba-tiba berdegup kencang. Ia mencoba mempertahankan ketenangannya, meski di dalam pikirannya ada ketakutan yang muncul. "Anonim?" ulangnya, mencoba bersikap tenang.

"Iya, puisi-puisinya cukup... berani, menurutku. Meskipun hanya ditandatangani 'Anonim', banyak orang membicarakannya. Aku sendiri sangat menyukai salah satu puisinya—yang tentang bagaimana seorang perempuan berjalan dalam dunia yang tidak memberinya suara."

Annelise merasa tubuhnya sedikit gemetar. Itu puisinya. Kata-katanya. Dan sekarang, Julian, teman lamanya, sedang membicarakannya dengan kekaguman yang tak ia duga. Namun, ia tak boleh terbawa emosi. Ia harus tetap anonim.

"Ya, aku mendengarnya," jawab Annelise, mencoba menenangkan diri. "Apa menurutmu puisi itu benar-benar berani?"

"Tentu saja," jawab Julian tanpa ragu. "Kata-kata seperti itu tidak biasa didengar di sini. Itu bukan sekadar puisi biasa—itu adalah kritik sosial yang sangat kuat. Meskipun penulisnya anonim, aku merasa orang itu punya pemahaman yang mendalam tentang dunia ini... terutama bagi seorang perempuan."

Annelise hanya bisa tersenyum kecil, merasa terjebak di antara perasaannya. Di satu sisi, ada rasa bangga karena Julian, yang selalu ia hormati, mengagumi karyanya. Tapi di sisi lain, ada keharusan untuk tetap diam, untuk tidak mengungkapkan identitasnya. Karena jika ia melakukannya, segalanya bisa berubah.

Julian melanjutkan, "Kupikir, penulisnya pasti seseorang yang punya keberanian besar. Menulis seperti itu di kota ini, di tempat di mana suara perempuan masih sering diabaikan, bukan hal yang mudah."

Annelise mengangguk pelan, merasa seolah-olah ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri melalui Julian. "Mungkin," katanya akhirnya. "Mungkin penulis itu hanya ingin didengar."

Julian menatap Annelise dengan intensitas yang tak ia duga. "Kau benar," katanya. "Dan aku harap, siapa pun penulis itu, dia tidak berhenti menulis. Dunia ini butuh lebih banyak suara seperti itu."

Kata-kata Julian menembus hati Annelise. Ia tahu bahwa apa yang dikatakan Julian benar—dunia ini membutuhkan suara-suara seperti yang ia tulis. Tapi apakah ia bisa terus menulis? Bisakah ia menghadapi risiko yang semakin besar jika identitasnya terbongkar?

Annelise menghela napas pelan, mencoba mengendalikan emosinya. "Kita lihat saja," katanya, lalu menambahkan, "Mungkin penulis itu akan terus menulis. Mungkin juga tidak."

Julian tersenyum. "Aku harap dia terus menulis."

Setelah percakapan singkat itu, Annelise berpisah dengan Julian dan melanjutkan harinya di perpustakaan. Namun, kata-kata Julian terus terngiang di pikirannya sepanjang hari. Apakah ia benar-benar memiliki keberanian untuk terus menulis? Seiring dengan semakin banyaknya perhatian yang diterima puisi-puisinya, ia tahu bahwa anonimnya bisa terancam. Tapi di sisi lain, ada dorongan yang lebih kuat—dorongan untuk berbicara, untuk menyuarakan apa yang selama ini terpendam.

Malam itu, ketika kembali ke kamarnya, Annelise duduk di meja tulisnya. Kertas kosong di depannya menunggu, dan kali ini, ia tahu apa yang harus ia tulis.

Ia mengambil pena dan mulai menulis.

"Ada suara yang tak pernah terdengar,
Tersembunyi di balik keramaian,
Namun dalam diamnya, suara itu tumbuh,
Menunggu waktu untuk membakar dunia yang menutup telinganya."

"Mereka tak akan pernah tahu darimana asalnya,
Mereka hanya merasakan panasnya,
Dan ketika akhirnya api itu membakar,
Mereka baru menyadari,
Bahwa diam tak selamanya berarti tunduk."

4 Maret 1892
Anonim

Ketika Annelise selesai menulis, ia merasakan beban di hatinya sedikit terangkat. Ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia tahu, kata-katanya memiliki kekuatan. Dan mungkin, kali ini, ia akan terus menulis. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk semua perempuan yang suaranya selama ini diabaikan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 16 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

AnneliseWhere stories live. Discover now