Chapter 6

41 37 25
                                    

Langit terlihat cerah dengan sinar matahari yang terlihat dari balik jendela kelas. Melisa terdiam melamun menyilangkan kedua tangan dengan kepala menggarah ke atas langit-langit kelas sesekali menghela nafas panjang.

Bosan. Satu kata yang mewakili perasaannya saat ini, sekolah masih terlihat sepi begitu juga dengan kelas ini hal yang wajar karena sekolah baru mulai pada pukul delapan tepat sedangkan saat ini jam baru menunjukkan jarum pendek diangka enam dengan jarum panjang diangka lima.

Melisa mendesah pelan, jika saja Karin tidak menyuruhnya berangkat pagi-pagi, mungkin saat ini dia sedang bermanja ria dengan kasur yang empuk. Bukan hanya terdiam melamun kembali memikirkan takdirnya.

"Ternyata yang baik Monata doang" gumam Melisa seraya  mengunyah kacang tanah yang didapat dari Pak Anto,  penjaga gerbang.

Suara decitan kursi mengalihkan perhatian Melisa, di sampingnya ada seorang laki-laki berkacamata dengan jaket parasut yang menempel di punggungnya. Melisa jadi berpikir, apa gaya anak ambis dari dulu sampai sekarang memang selalu begitu?.

Laki-laki itu menatap kearahnya seperti menyadari ada sesuatu yang berbeda, membuat Melisa berpikir dia pasti teman baik Melisa asli.

Melisa mengangkat tangannya tersenyum, baiklah dia akan memerankan sosok Melisa asli dengan baik dimulai dari menyapa orang-orang disekitarnya. "Ha-"

"Lo anak baru?" selidiki laki-laki itu, memotong ucapannya.

"Hah?"

Tercengang, kening Melisa berkerut. Masa iya cewek secantik dia nggak di kenali, "Enak aja! gue udah dari awal MPLS  ada disini ya!" sentaknya melototi laki-laki itu garang.

Laki-laki itu terlihat acuh tak acuh, dia meninggalkan kelas dan berbalik menatap Melisa saat di ambang pintu, "Nama gue Milan, salam kenal anak baru" tangannya melambai disertai senyuman.

Tapi ketahuilah dimata Melisa itu lebih terlihat seperti ejekan daripada berbasa-basi mengajak berkenalan, "Cih, gue kira cupu" sinis Melisa kembali melanjutkan aktivitasnya memakan kacang tanah.

*******

"Lin, tau nggak?" Melisa memulai pergibahan di tengah-tengah keramaian kantin sembari memakan pisang cokelatnya. Aroma makanan dari tempat ini sungguh membuatnya lapar.

"Apaan" sahut Alin seadanya, dia sedang sibuk membuat poster kegiatan untuk dipamerkan di mading.

Melisa menghela nafas pendek, "Masa iya cowok di kelas kita yang namanya Milan nggak kenal gue-" curhatnya langsung membuat fokus Alin teralihkan.

Melisa menyeruput kopi, dia memincingkan matanya mengingat sesuatu "Ah ralat kayaknya semua murid di kelas selain lo emang nggak pada kenal gue."

Alin terbatuk-batuk pelan, "Ya wajar lah, elo kan emang murid baru."

"Masa?" Melisa menatap Alin tak percaya, berarti selama ini Melisa asli nggak sekolah?, batin Melisa bertanya-tanya.

"Ikut gue ke studio musik yuk, Mel" Alin berdiri langsung menarik Melisa dari kursinya tanpa memberinya kesempatan berbicara.


"Gue sebenarnya kenapa sih Lin?," tanya Melisa penasaran, dia mengayunkan kakinya menendang batu-batu kecil yang menghalangi jalan.

Alin melihat sekitar memastikan tidak ada orang selain mereka. Dia ingin membicarakan hal penting, dan Studio musik adalah pilihan yang tepat karena biasanya di jam istirahat jarang ada siswa berkunjung ke tempat itu.

Sebuah ruangan dengan cat berwarna putih yang terletak di paling ujung bangunan sekolah dimasuki oleh mereka berdua.

Alin melangkah masuk ke dalam studio musik, menutup pintu dengan hati-hati di belakangnya. Suasana di dalam ruangan itu tenang, hanya terdengar suara lembut dari alat musik yang tergantung di dinding. Dia mengambil napas dalam-dalam, merasakan aroma kayu.

"Di sini aja Mel"  kata Alin menepuk-nepuk kursi kayu yang berukuran panjang membuat Melisa mengikuti perintahnya. Melisa menatap Alin dengan rasa ingin tahu.

"Dengerin gue baik-baik Mel" ucapnya tanpa melihat kearah Melisa.

"Delapan tahun yang lalu lo masih jadi Melisa yang gue kenal. Melisa yang ceria, suka senyum, suka jahilin gue. Dulu kita selalu ngelakuin apapun bareng-bareng, sampai di tahun 2017 semuanya tiba-tiba aja-" ucapannya terpotong, Alin memegangi dadanya merasa sesak, dia memang selalu seperti ini.

Melisa memegang pundak Alin khawatir, tapi cewek itu memberi kode bahwa dia baik-baik saja.

"Semuanya berubah semenjak lo jatuh sakit, tubuh jadi lemah, lo nggak nafsu makan. Bahkan nggak jarang lo tiba-tiba batuk yang keluar darah, gue yang jadi saksi Mel, gimana detik-detik terakhir lo di ruang ICU" Alin menutup mulutnya terisak pelan.

Melisa terdiam, mencerna ucapan Alin. Dia baru pindah ke tubuh ini rupanya masih banyak yang belum Melisa ketahui tentang kehidupan Melisa asli.

"Trus gimana lanjutannya?" jika Alin tak mau melanjutkan bercerita maka Melisa harus memaksanya.

"Lo meninggal di tahun 2017, seharusnya sekarang lo udah tenang di alam sana!. Tapi tante Karin, dia sayang banget sama lo, Tante ngelakuin apa aja supaya tubuh lo nggak di makamkan."

Alin menarik napas dalam-dalam, meskipun air matanya terus berjatuhan. "Dia mengorbankan segalanya, Mel. Dia rela melakukan apa pun demi lo. Tante Karin selalu nyari cara supaya lo bisa hidup lagi, meskipun itu berarti harus melibatkan kekuatan gelap."

"Kekuatan gelap? Maksudnya semacam terikat sama iblis?" mata Melisa membelak, mulutnya sedikit terbuka.

"Ya," jawab Alin, suaranya bergetar. "Tante Karin berhasil, raga lo masih ada dunia ini, tapi dengan jiwa yang berbeda."

Melisa merasakan dingin merayap di sekujur tubuhnya. "Jadi ada yang nempatin tubuh ini sebelum gue, kalau iya siapa?" gumamnya pelan walaupun nyatanya Alin masih bisa mendengar.

Alin menelan salivanya, dia menatap Melisa takut. "Iblis, iblis yang nempatin tubuh lo" ucapnya penuh penekanan.

"Gue ngeliat dengan mata kepala sendiri Mel, setelah lo di nyatakan meninggal dan tante Karin ngelakuin segala cara sampai dia berhasil. Lo hidup tapi dengan perilaku yang berbeda dari manusia pada umumnya"

Melisa merasakan kepanikan dari cara Alin berbicara, "Berbeda maksudnya?"

"Delapan tahun yang lalu lo bunuh Molly kucing kesayangan Om Monata itu- pertama kalinya gue takut sama lo. Molly dicekik, matanya di congkel, telinganya di gunting sampai putus dan yang terakhir lo ngejilat darah Molly yang ada di jari-jari tangan lo" tubuh Alin bergetar hebat, dia harus menceritakan semuanya yang dia tahu.

"Om Monata juga ngeliat, dia marah besar langsung narik lo ke gudang tapi gue ngga tau apa yang dia lakuin."
"Semakin dewasa gue jadi ngerti apa yang terjadi sama lo."

Melisa merenung, dia ngeri sekaligus kagum dengan sikap Alin yang masih mau berteman dengan dirinya. Jika di posisi Alin mungkin Melisa sudah menyerah dan lebih memilih menjauh.

"Papa gimana?" Melisa bertanya kembali dirasa Alin sudah mulai tenang.

"Sejak saat itu Om sering berantem sama Tante karena dia nggak setuju, ya logikanya aja gimana bisa orang mati dihidupin lagi. Akhirnya mereka memutuskan buat pisah rumah."

Melisa ingin membantah ucapan Alin, "Tapi- kemarin Papa sama Mama ada dirumah, trus Mama ngajak gue makan, kita makan malam ber 3-"

"L-lo juga bilang gue murid baru yang artinya gue nggak sekolah selama delapan tahun?  t-tapi kenapa di kamar Melisa ada banyak buku-buku pelajaran yang isinya tugas?" Melisa sendiri tidak tahu kenapa dia tiba-tiba menjadi gugup saat Alin mengeluarkan sebuah pisau lipat dari saku roknya.

"Lo bukan Melisa asli kan?"





Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 7 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Stuck In The Middle Of TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang