LyT

1 1 0
                                    

Dalam senja tubuh yang bergema lirih, 
Tercermin bayang di cermin sepi. 
Tawa mereka bagai pisau tak terlihat, 
Menyayat diamku, menghapus harap yang lekat. 

Lembar-lembar buku terhempas tanpa arti, 
Seragam tersapu angin di ujung bumi. 
Sisa abu dari mimpi yang terbakar, 
Tertinggal di hatiku yang kian memudar. 

Namun otakku terus bersinar terang, 
Meskipun langkahku terasa terbelenggu bayang. 
Sambut tangan mereka yang datang menata, 
Harap perih ini berakhir dengan senyum nyata. 

Sayangnya niat itu hanyalah angan semu, 
Mereka kembali mengoyak tanpa malu. 
Bukan hati, tapi harta yang mereka genggam, 
Dan lagi-lagi luka ini kutelan dalam diam.

***

Aku melangkahkan kakiku dengan berat, diriku mencoba mengabaikan banyak pasang mata yang menatapku hina bak hama yang patut dimusnahkan. Tanganku memegang kenop pintu kelas dengan gemetar, menanti apa yang akan menyambutku di pagi hari ini.

Baru saja pintu terbuka sekitar lima belas sentimeter, tangan seseorang sudah lebih dulu menarik rambutku dengan kasarnya. "Woy, Babi Gendut, gue liat tugas lo, buruan!"

Aku hanya mampu mengangguk takut, dengan buru-buru aku membuka tasku yang sudah tidak layak pakai dan mengambil sebuah buku tulis. Aku tidak perlu susah payah memberikannya, laki-laki di sebelahku langsung merampasnya dari tanganku.

"Sabar, Evelyn, suatu saat pasti mereka menyesal!" Kalimat itu terus aku ucapkan dalam hati, meski aku tahu mereka tidak akan pernah sadar jika mereka itu salah.

Aku duduk di kursi yang sudah hampir patah dan mejaku yang penuh coretan dan sampah. Bau tak sedap yang menyengat dari laci mejaku selalu menemaniku belajar.

Mataku menatap segerombolan anak laki-laki dan perempuan yang tengah berebut buku tugas milikku. Tatapan nanar yang penuh harap dariku tidak pernah mereka lirik.

Aku menahan nafas beberapa detik saat indera pendengaranku menangkap suara sobekan kertas yang cukup nyaring. Detik selanjutnya, aku hanya mampu tersenyum getir. Dengan mudahnya, mereka menyobek bukuku, padahal aku rela tidak tidur hanya untuk menyelesaikannya.

"Ups! Sobek, deh. Lo bikin lagi aja, ya, Babi!" Aku tersenyum manis, tetap tulus seperti biasa, menutupi retakan-retakan di hatiku yang kian menyakitkan.

"Iya, gapapa, Bella. Aku nulis ulang aja," ucapku lembut yang dibalas tatapan remeh oleh mereka.

"Guys, kata Bu Henny hari ini kita olahraga di lapangan outdoor, karena jaraknya jauh, kita mulai ganti baju sekarang aja." Suara keras menginterupsi kami semua yang ada di dalam kelas. Sang ketua kelas yang tidak pandang buluh julukannya, tapi tidak untukku, dia sama saja seperti yang lain.

"Oke, ketua!"

"Siap, Bu Ketua."

"Siap, laksanakan, ketua."

Seperti teman-temanku yang lain, aku mengobrak-abrik tasku dan mengambil seragam olahraga milikku. Semuanya pasti akan pergi ke ruang ganti. Tentunya aku tidak bisa satu ruangan dengan mereka, aku selalu pergi ke kamar mandi untuk berganti seragam.

"Woy, Babi, buruan larinya! Lelet banget, sih, jadi orang!" Bukan. Bukan teman sekelas ku yang memanggilku. Namun guru olahraga yang mengajar kelas kami.

Dengan tubuhku yang kelebihan berat badan ini, tentu saja aku kesulitan untuk berlari. Namun, aku tetap memaksa kakiku untuk berlari. Melihat tatapan kesal mereka semua, nyaliku menciut.

"Pagi, anak-anak!" sapa Bu Henny pada semua teman-teman sekelasku.

"Hari ini materi kita adalah permainan bola basket. Saya minta kelas ini membagi menjadi empat kelompok, ya. Anggotanya bebas," lanjutnya.

Luka yang Terselubung Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang