Harapan dalam sepi

3 1 0
                                    

Kea Dinifa, atau lebih akrab dipanggil Key, adalah sosok yang penuh semangat dan selalu punya mimpi besar. Ia baru saja diterima di jurusan Teknik Informatika, sebuah pencapaian yang sangat ia impikan. Selama masa SMA, ia dan Gavin Adinata, cowok yang diam-diam jadi gebetannya, sering menghabiskan waktu bersama di ruang bimbingan konseling (BK) untuk berdiskusi tentang pendaftaran SNPTN.

Mereka rajin mengunjungi ruang BK untuk membahas strategi dan rencana agar bisa masuk ke perguruan tinggi yang mereka impikan. Key selalu berharap agar mereka bisa bersama saat kuliah nanti, membayangkan masa depan cerah di samping Gavin. Namun, kadang-kadang, pikiran lain mengganggu benaknya—ia khawatir bagaimana jika Gavin memiliki pacar, tapi bukan dirinya. Hatinya terasa sakit membayangkan itu, namun ia berusaha mengabaikannya. Yang terpenting selama Gavin ada di dekatnya, ia merasa bahagia.

Namun, ketika saatnya tiba, Key harus menghadapi keyataan pahit: Gavin tidak ada di sampingnya. Keterpisahan mereka dimulai saat pandemi COVID-19 melanda. Bahkan hari perpisahan sekolah yang sudah dinantikan pun tidak pernah terjadi. Semua rencana mereka terpaksa dibatalkan.

Gavin, yang sebelumnya mengatakan ingin melanjutkan pendidikan di jurusan yang sama dengan Key, tiba-tiba menghilang dari peredaran. Tidak ada kabar, tidak ada penjelasan. Key merasa kebingungan dan hampa, seolah-olah ada bagian dari dirinya yang ikut hilang bersama kepergian Gavin. Semua impian yang mereka bangun bersama seakan menguap begitu saja.

Hari pertama kuliah online tiba, dan Key duduk di depan laptopnya dengan perasaan campur aduk. Ruangan kecilnya terasa sunyi, hanya diisi oleh bunyi kipas laptop dan suara burung di luar jendela. Tanpa keramaian kampus, tanpa bertemu langsung dengan teman-teman baru, semuanya terasa aneh dan jauh dari apa yang ia bayangkan. Key merasa canggung, bahkan ketika menatap layar zoom yang dipenuhi wajah-wajah asing.

Setiap mahasiswa tampil dalam kotak-kotak kecil di layar, sebagian tampak antusias, sebagian lagi tampak kebingungan seperti Key. Pengalaman kuliah yang dulu ia bayangkan penuh interaksi dan dinamika kini berubah menjadi sebuah pertemuan virtual yang terasa datar. Tidak ada Gavin di antara wajah-wajah itu, hanya keheningan yang makin mempertegas kesepiannya.

Saat dosen mulai menjelaskan materi, Key berusaha fokus, tetapi pikirannya sering melayang. Ia teringat saat masa-masa SMA, ketika ia dan Gavin sering mengunjungi ruangan Bk hanya untuk membicarakan bagaimana jika masuk di jurusan Teknik Informatika yang akan menantang dan seru. Ia bahkan sempat membayangkan bisa duduk bersama, berdiskusi tentang proyek coding, dan menyemangati satu sama lain. Namun, sekarang Key menjalani semuanya sendiri.

Teknologi yang dulu membuat Key dan Gavin antusias justru terasa dingin dan jauh. Setiap kali ia melihat nama-nama peserta di zoom, Key berharap bisa melihat nama Gavin muncul, tapi nama itu tak pernah ada. Pertemuan kuliah online berjalan begitu cepat, tanpa ada kesempatan untuk berkenalan lebih jauh dengan teman-temannya. Usai kuliah, ruangan menjadi sunyi kembali. Key hanya bisa menutup laptopnya, merasakan kehampaan yang kembali menyelimuti hatinya.

Di tengah kekosongan itu, Key mencoba menghibur diri dengan memikirkan Gavin. Apa kabar Gavin sekarang? Pertanyaan itu terus menghantui pikirannya, tanpa ada jawaban yang jelas. Setiap kali pikirannya buntu dan hatinya terasa semakin hampa, Key tak bisa menahan diri untuk sekedar berjalan keluar, berharap menemukan sedikit kelegaan.

Suatu sore, dalam keheningan yang mengusik, Key memutuskan untuk keluar rumah, tanpa tujuan yang jelas. Ia mengarahkan motornya melewati rumah Gavin, tempat yang selalu ia lewati dengan hati berdebar. Namun, akhir-akhir ini rumah Gavin tampak sering kosong. Pintu tertutup rapat, Key berhenti sejenak memandangi rumah itu dengan perasaan campur aduk.

Dulu, saat melihat rumah Gavin, ada harapan kecil dalam hatinya—bahwa suatu saat mereka akan bertemu lagi, berbicara seperti dulu, atau setidaknya saling menyapa dari kejauhan. Tapi ini, rumah itu hanya menyisakan kekosongan. Seakan sama seperti dirinya, rumah Gavin juga kehilangan semangat dan keriangan yang dulu pernah ada.

Hati Ini Milikmu, GavinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang