Di Antara Keramaian, Aku Sendiri

1 0 0
                                    

Hari itu di kelas, suasana terasa lebih santai dari biasanya. Beberapa dosen tidak hadir, dan teman-teman Key mulai membuka obrolan ringan untuk mengisi waktu luang. Seperti biasa, percakapan mereka mulai dari hal-hal sepele—drama kuliah online, tugas-tugas yang menumpuk—hingga akhirnya topik percintaan yang tak terelakan.

"Eh, ngomong-ngomong soal cinta-cintaan, di sini ada yang udah punya pacar belum?" tanya Siska, salah satu teman sekelas Key, dengan senyum iseng.

Beberapa teman mulai bersorak, membuat suasana kelas semakin ramai. Ada yang saling mengejek, ada juga yang mengangkat tangan sambil tertawa. Key hanya tersenyum tipis duduk di kursinya tanpa terlalu banyak berkomentar.

"Gak nyangka ya, sekarang udah banyak yang pacaran aja," sahut Adit sambil terkekeh. "Kayaknya kuliah malah bikin lebih gampang dapet gebetan, ya?"

Obrolan semakin seru, ketika beberapa teman mulai cerita tentang hubungan mereka. Beberapa teman perempuan bercerita tentang PDKT mereka yang berhasil, sementara yang lain mengeluh tentang hubungan mereka yang tak mulus. Key mendengarkan dengan seksama, meski pikirannya melayang ke kenangan lama yang masih segar di benaknya.

"Key, lo kok diem aja sih? Ada yang mau di ceritain gak?" celetuk Zakia tiba-tiba, menarik perhatian semua orang ke arah Key.

Key sedikit terkejut, namun dengan cepat menyembunyikam keterkejutannya dengan senyum lemah. "Gapapa, Kia. Gue masih nyaman sendiri."

"Ah, masa sih? Jangan-jangan lo masih mikirin yang lama, ya?" Zakia menggoda, tapi ada nada penasaran dalam suaranya.

Key tertawa kecil, namun dalam hatinya terasa sedikit berat. "Gak kok. Udah lama banget itu. Gue udah move on."

Tapi di hati, Key tahu bahwa perkataannya belum sepenuhnya benar. Pikirannya kembali ke masa-masa di SMA, saat momen-momen kecil bersama Gavin terasa begitu membekas. Wajah Gavin, senyumnya yang dulu terlihat cuek tapi hangat, tiba-tiba muncul dalam benaknya. Kenangan itu masih menghantui, terutama saat ia ingat betapa gengsinya dulu untuk mengungkapkan perasaannya.

Percakapan di kelas semakin ramai, tetapi Key justru makin tenggelam dalam pikirannya sendiri. Bayangan masa-masa SMA dengan Gavin perlahan muncul kembali, seolah ia tengah memutar ulang kenangan lama yang tak pernah benar-benar hilang.

Ia teringat bagaimana mereka saling senyum malu-malu saat berpapasan di koridor sekolah. Saat itu, meksi tak ada kata-kata yang terucap, senyuman itu seolah jadi rahasia kecil mereka berdua—sebuah hubungan tak terucap yang hanya mereka tahu. Gavin dengan sikap cueknya dan Key yang selalu berusaha menjaga gengsi, seolah-olah mereka terperangkap dalam permainan perasaan yang tak pernah berani diungkapkan.

Key yang juga ingat mereka terlibat dalam organisasi OSIS dan SANS. Gavin yang sering terlambat, namun tetap saja jadi pusat perhatian. Ada sesuatu dari caranya memasuki ruangan dengan langkah santai namun penuh percaya diri yang membuat semua mata tertuju padanya. Key sering berpura-pura tak peduli, tapi dalam hati, ia tak bisa memungkiri bahwa kehadiran Gavin selalu memengaruhi suasana hatinya.

Dan kemudian, ada momen-momen dimana mereka berada di tempat yang sama, namun dengan tujuan yang berbeda. Gavin yang sibuk dengan latihan basket, dan Key yang sibuk dengan latihan tari. Mereka sering mengikuti lomba bersama, meskipun cabang yang mereka ikuti berbeda. Di setiap pertandingan atau lomba, Key selalu berharap ada momen singkat dimana pandangan mereka bertemu, meski hanya sekejap.

Salah satu kenangan yang paling berkesan bagi Key adalah ketika kelas mereka mengadakan belajar bersama. Guru-guru sering menggoda mereka dengan candaan kecil. "Key, mau cari Gavin ya? Gavin lagi ke mushalla, bentar lagi juga balik tungguin aja gak lama kok," ujar salah satu guru sambil tertawa. Atau ketika guru lain menyindir dengan nada bercanda, "Ada apa nih dengan kalian berdua? Tapi kalo di liat-liat kalian cocok juga."

Meski candaan itu terasa ringan, bagi Key, semua itu adalah momen yang membuat hatinya berdebar. Meskipun ia dan Gavin tidak pernah benar-benar mengungkapkan perasaan, semua interaksi kecil itu seperti menegaskan bahwa ada sesuatu di antara mereka—sesuatu yang tidak pernah terwujud, tetapi selalu ada.

Kini, saat berada di kelasnya, dikelilingi oleh teman-teman barunya, Key merasakan rindu yang sulit dijelaskan. Gavin bukanlah pacarnya, bukan juga seseorang yang pernah benar-benar ia miliki. Namun, entah mengapa, kenangan itu terasa begitu nyata dan kuat, seolah-olah Gavin masih menjadi bagian hidupnya.

Key tersadar dari lamunannya saat teman-teman di kelas masih ramai membahas topik percintaan. Sebagian dari mereka sedang asik dengan hubungan yang manis, sementara yang lain mungkin masih mencari atau menunggu. Namun bagi Key, cinta bukan lagi sekedar soal perasaan saat ini, melainkan sesuatu yang lebih rumit—tentang penyesalan, kenangan yak tak terungkap, dan keengganan untuk bergerak maju.

"Lo beneran gak ada yang lo suka sekarang, Key?" tanya seseorang teman dengan nada menggoda, mengangkat alis sambil tersenyum.

Key, yang sejak tadi tenggelam dalam pikirannya, seketika tertawa kecil dan menanggapi dengan nada bercanda, "Ada kok ada, gue sayang banget sama Jungkook, udah deh. Gue tuh lagi LDR-an sama dia, sabar banget nungguin dia kelar tour dunia," jawabnya sambil melempar senyum jahil membuat teman-temannya tertawa.

"Ah, alesan doang!" balas salah satu temannya sambil menepuk bahu Key. "Lo pasti ada yang disimpen, kan? Ngaku aja, deh!"

Tapi Key hanya menggeleng sambil terkekeh. "Gak ada, serius!" ucapnya dengan senyum, meskipun dalam hati, Gavin dan semua kenangan tentangnya perlahan terlintas lagi. Namun, Key tak ingin memperpanjang topik ini, apalagi mengingat apa yang ia rasakan di masa lalu.

"Ya udah, kalo beneran gak ada, semoga cepet ketemu yang beneran, ya!" tambah teman-temannya dengan nada menggodanya lagi.

Key hanya tersenyum sambil berpikir dalam hati, Mungkin, suatu saat nanti, gue bisa bener-bener move on.

Setelah percakapan ringan di kelas tentang cita-cintaan dan canda tawa bersama teman-temannya, bel sekolah akhirnya berbunyi, menandakan waktu pulang. Suasana di kelas mulai ramai dengan suara tas yang dirapikan dan buku-buku yang dimasukkan dalam totebag.

"Yuk, pulang," ajak salah satu temannya, sambil merapikan barang-barangnya."

Key mengangguk sambil berdiri, ikut merapikan barang-barangnya. "Iya, yuk." Ia tersenyum, meskipun hatinya masih terasa sedikit berat memikirkan percakapan tadi. Mereka berjalan keluar kelas bersama, suasana yang tadinya ramai mulai mereda seiring murid-murid yang beranjak pulang.

"Ini langsung pulang atau mau nongkrong dulu?" tanya Zakia sambil melirik ke arah Key dan Siska.

Key menggeleng pelan. "Kayaknya gue langsung pulang aja deh, capek," jawabnya sambil tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan perasaan yang bercampur aduk di dalamnya.

Zakia menepuk bahu Key dengan lembut. "Oke, besok kita nongkrong, ya."

Key mengangguk dan mereka bertiga berpisah di parkiran. Saat berjalan menuju motornya, Key merasa angin sore yang sejuk sedikit membawa ketenangan. Namun, bayangan masa lalu tentang Gavin dan semua perasaan yang pernah ada tetap berputar di pikirannya. Meski begitu, Key tahu bahwa ini adalah bagian dari prosesnya untuk belajar menerima, melepaskan, dan melangkah ke depan. Sambil memasang helmnya, Key menarik napas dalam-dalam dan berbisik pelan pada dirinya sendiri, "Gue akan baik-baik aja."


Hati Ini Milikmu, GavinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang