HOPE Part 1 - Tidak jelas

3 1 0
                                    


HOPE Part 1 – Tidak jelas

Skyel baru saja kembali dari studi dan baru melangkah masuk ke rumah ketika suara yang tak asing lagi menyambutnya—keributan antara kedua orangtuanya. Sudah berapa kali ia mendengar itu? Entah. Kali ini pun, dia hanya menghela napas dan berlalu, mencoba mengabaikannya seolah itu hanya suara latar kehidupan sehari-hari. Tanpa banyak pikir, dia langsung menuju kamarnya, melempar tas ke sudut ruangan dan menyalakan konsol game. Musik digital dari game favoritnya menyelimuti kamar, memberikan sedikit distraksi dari kekacauan yang tak pernah henti.

Namun, lama-kelamaan, suara pertengkaran itu semakin menyakitkan telinganya. Ia mengatupkan rahang, jemarinya menekan tombol-tombol dengan lebih kasar, tapi tak bisa menahan diri lagi. "Anjing lah, goblok lu, Jo—!" teriakannya terpotong saat sosok ayahnya tiba-tiba muncul di ambang pintu. Wajah Johan, ayahnya, terlihat dingin dengan tatapan yang sulit diartikan.

Skyel tergagap, mencoba menutupi kemarahan yang baru saja diluapkan. "Eh, Jo.. Jovi, Dad maksudnya. Lagi main sama Jovi," katanya cepat sambil menunjuk layar di sampingnya. Nama Jovi disebutnya dengan santai, sebagai nama temannya yang kebetulan sering ikut bermain game dengannya.

Johan hanya memandang Skyel sebentar, lalu berlalu pergi tanpa sepatah kata. Skyel menghela napas lega, tapi ada perasaan getir yang tak bisa hilang dari dalam hatinya. Satu lagi pertengkaran yang harus dia hadapi, dan seperti biasa, dia hanya menjadi saksi bisu tanpa bisa mengubah apa pun.

Skyel menghela napas panjang setelah ayahnya berlalu begitu saja. Ia melemparkan stik game ke samping dan merebahkan diri di tempat tidur. Suara ribut di lantai bawah masih terdengar jelas, seperti irama yang terus berulang tanpa pernah berubah. Rasanya sudah bertahun-tahun dia mendengar suara yang sama, seperti kaset rusak yang terus diputar.

Ia mencoba fokus ke layar di hadapannya, game favorit yang biasanya bisa mengalihkan pikirannya. Tapi kali ini, entah kenapa, rasanya tidak cukup. Mungkin karena suara itu semakin keras atau mungkin karena dia mulai lelah pura-pura tidak peduli.

"Anjrit, sampai kapan ini mau terus begini..." gumamnya sambil menatap langit-langit kamar.

Tak lama kemudian, teleponnya berbunyi. Nama Jovi muncul di layar. Skyel segera menjawab, berharap obrolan dengan sahabatnya itu bisa sedikit mengalihkan kekesalannya.

"Bro, gimana nih? Lagi main game kan?" suara Jovi terdengar di seberang, ceria seperti biasa.

"Main... tapi males, di sini lagi rame," jawab Skyel setengah malas.

"Rame? Rame apaan? Oh, ribut lagi ya?" Jovi seolah sudah bisa menebak. Bukan hal yang baru kalau Skyel bercerita tentang pertengkaran orangtuanya.

"Iya, nggak kelar-kelar deh," Skyel mengangkat bahu, walaupun Jovi tidak bisa melihat. "Lu tahu nggak sih, kayaknya gue udah kebal sama suara ribut mereka, tapi kadang-kadang, tetep aja bikin kepala gue panas."

Jovi terdiam sejenak, lalu berkata, "Bro, kenapa nggak lu pergi aja keluar? Keluar rumah dulu, ambil udara segar, gue bisa jemput kalau lu mau."

Skyel memikirkan tawaran itu. Pergi keluar mungkin ide bagus. Meninggalkan suara berisik itu dan ketemu temannya bisa membantu. "Oke deh, jemput gue sekarang," jawab Skyel sambil mengambil jaket dan bersiap keluar.

Ia menuruni tangga, melihat sekilas kedua orang tuanya yang masih berdebat sengit. Tanpa berpamitan, Skyel langsung keluar rumah, menutup pintu dengan pelan, seolah berharap dengan begitu ia juga bisa menutup semua kekacauan di dalam.

Ditempat lain..

Lean duduk termenung di kursi taman, tangannya menggenggam ponsel yang layarnya masih menampilkan pesan terakhir dari ayahnya: "Kamu mau ikut papa atau ibu?" Pertanyaan yang sederhana, seharusnya. Namun, bagi Lean, itu seperti memaksanya untuk memilih di antara kedua sisi yang sama-sama ia sayangi. Apa pun pilihannya, rasanya ada bagian dari dirinya yang akan merasa salah.

HOPETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang