"Jadi Eyang minta aku nikah sama dia?" Citra menatap eyang kakungnya tak percaya.
Pria tua renta yang terbaring sekarat di atas ranjang rumah sakit itu menganggukkan kepala lemah. Dengan susah payah dia berucap. "Eyang u-udah ndak la-ma la-gi. Eyang ...."
"Citra ...." Eyang Putri tiba-tiba angkat bicara membuat Citra beralih menatapnya. "Selama ini kamu tinggal sama Eyang Putri dan Eyang Kakung saja. Orang tuamu udah ndak ada. Dua kakakmu juga sudah pada menikah. Tinggal kamu yang belum. Sedangkan sekarang kamu liat sendiri kondisi Eyang Kakung. Umurnya udah ndak lama lagi. Jadi kami mau kamu segera menikah, supaya ada yang menghidupimu, Nduk ...."
"Tapi kan Eyang Putri dan Eyang Kakung tahu aku tahun ini mau masuk kedokteran. Aku mau capai cita-citaku dulu. Umurku juga baru sembilan belas tahun, Eyang. Aku nggak mau nikah muda, apalagi sama dia! Aku--" Citra kehabisan kata-kata. Tenggorokannya tiba-tiba terasa tercekat.
Citra benar-benar tidak menyangka, dia yang tadinya sibuk jalan-jalan membeli buku soal tes masuk perguruan tinggi di Mall bersama Tasya, tiba-tiba ditelepon oleh eyang putri, mengabarkan kalau eyang kakung sedang di rumah sakit karena jantungnya kumat lagi. Dan kali ini eyang kakung ingin bicara dengan Citra.
Citra pikir ada apa eyang kakung memanggilnya. Ternyata mereka memintanya menikah dengan calon cucu menantu pilihan mereka yang bernama Atala.
"Citra, jadi dokter itu biayanya ndak murah. Hidup kita selama ini pas-pasan. Mending kamu menikah sama Nak Atala. Menikah dengannya lebih dari menjamin kebutuhan hidupmu dan kami yakin dia bisa menjaga kamu, dia bisa jadi suami yang baik buat kamu. Kita juga sudah kenal bibit, bebet dan bobotnya. Ini juga amanah terakhir dari Eyang Kakung. Apa kamu tega sama Eyang, Citra?" Eyang putri masih berusaha memberinya pengertian.
Mata Citra yang sudah berlinang air mata melirik lelaki yang akan menjadi calon suaminya itu. Lelaki itu kini hanya tertunduk polos, berdiri di samping ayahnya. Citra muak melihatnya. Lelaki itu paling pintar bersandiwara di depan keluarganya. Bersikap seolah laki-laki yang paling baik budi pekertinya, padahal ....
Pantas saja dia juga ada di sini sekarang. Kenapa mereka selalu dipertemukan? Bahkan pada kondisi yang tidak memungkinkan.
"Dia nggak mungkin bisa jadi suami yang baik!" ketus Citra lagi. "Aku benci dia! Aku nggak mungkin bisa nikah sama dia!" Dengan derai air mata, gadis itu keluar dari ruangan, tak peduli dengan eyang putri yang terus memanggilnya.
Johan, Papa Atala yang berdiri di sebelah Atala, menyuruh anaknya untuk mengejar Citra dan memberikan pengertian. Atala terpaksa menuruti keinginan papanya.
***
Usia Citra masih sembilan belas tahun. Citra sama dengan remaja kebanyakan yang ingin sukses di usia muda. Banyak mimpi yang belum dan ingin dia capai. Tak sedikit pun terbetik dihatinya untuk menikah di usia muda.
Namun, kabar yang dia dengar hari ini menyatakan sebaliknya, seolah takdir tidak merestui rencananya. Bahkan keluarganya sendiri tak mendukung cita-citanya. Dan itu membuat Citra sangat kecewa.
Gadis itu duduk di kursi panjang sambil menangis, di temani Tasya yang sejak tadi berusaha menghiburnya. Bahkan temannya itu juga ikut mendengar percakapan Citra dengan keluarganya dalam ruangan tadi.
Citra ingat eyang putri memang tak pernah mendukung keinginannya untuk kuliah seperti Dimas, pacarnya.
Percakapannya dengan eyang putri waktu lalu pun terngiang.
"Kamu yakin mau lanjut kuliah?" tanya eyang waktu itu dengan bahasa jawa yang kental ketika Citra mengemasi dagangan usus gorengnya dalam kemasan plastik.
"Yakinlah, Eyang. Nih, liat yang order usus goreng aku banyak. Aku jadi makin semangat menabung kalau kayak gini tiap hari. Eyang Putri dan Eyang Kakung do'akan aku ya biar aku bisa kuliah dan menyelesaikannya tepat waktu." Sesungguhnya Citra tahu, jauh dalam lubuk hati eyang kakung dan eyang putri tak pernah mengizinkan dia kuliah, lebih tepatnya pesimis akan biaya kuliah yang tidak murah itu.
"Mending uangnya kumpulkan buat biaya nikah. Nikah itu harus, Cit, sedangkan pendidikan tinggi endak. Nikah itu wajib dalam islam. Sedangkan pendidikan endak."
Citra tertawa saja. "Ah, Eyang nikah muluk yang dibahas. Kalau udah waktunya nanti aku pasti nikah, kok."
Bukan pertama kali eyang putri berkata demikian. Secara tidak langsung mereka sering mengatakan sebaiknya Citra tak perlu kuliah. Cari pekerjaan saja, atau jualan saja. Sampai menunggu usianya genap untuk menikah kelak. Tapi Citra menepis hal itu dan berusaha menunjukkan pada keluarganya kalau dia bisa kuliah dengan beasiswa dan dibantu dengan hasil jualannya.
Pola pikir eyang kakung dan eyang putri Citra sebagai orang terdahulu memang masih tertinggal. Mereka tidak begitu mementingkan pendidikan. Bagi mereka lebih baik menikah muda daripada pacaran lama-lama.
Dan Citra tak sepaham dengan mereka. Dia sering berandai-andai, seandainya orang tuanya masih hidup, dia yakin orang tuanya akan mendukung mimpinya dan membantu membiayai pendidikannya.
Ya, Citra tahu sejak dulu mereka menginginkannya menikah muda, tapi Citra pikir mereka tidak serius. Dan sekarang ketika eyang kakung sudah sekarat, orang tua itu malah serius memintanya menikah bahkan menyiapkan jodoh untuknya.
Menikah dengan Atala.
Itu adalah musibah terburuk yang menimpa hidupnya. Musibah yang tak pernah dia bayangkan dalam hidupnya.
Citra tak ingin menikah muda, apalagi dengan manusia songong yang amat dia benci bernama Atala. Tapi dia juga tidak tega menolak permintaan eyang kakung yang mungkin akan menjadi permintaan terakhir. Dia jadi serba salah. Dia harus bagaimana?
"Kenapa sih nasib gue begini banget. Cita-cita gue belum tercapai. Dan sekarang gue malah disuruh nikah sama laki-laki yang sama sekali nggak gue cintai." Citra bicara seorang diri. "Eyang bilang dia orang baik itu karena Eyang nggak tahu sifat cowok berengsek itu yang sebenarnya. Gue benci dia! Gue benci!" Citra teriak-teriak sambil menangis.
"Sabar, Citra ...," hibur Tasya. "Jangan marah-marah gitu. Menurut gue coba lo pikirin permintaan mereka dengan kepala dingin, nggak ada salahnya, kok. Lagian gue heran kenapa lo nggak mau nikah sama Atala? Kan dia tajir, dia anak semata wayang tauk. Dia nanti yang akan menjadi pewaris tahta di keluarganya. Lo beruntung bisa jadi istri dia. Gue yakin hidup lo bakal bahagia sama dia. Eyang lo bener. Lagian gue lihat kalian itu cocok, kok. Kalian--"
"Kalau lo mau nikah sama dia, lo aja sana!" Citra membentak Tasya.
Tasya menatap Citra agak terkejut dan kecewa. "Ih, Citra kok gitu sih. Kok jadi gue yang disuruh nikah. Yang mau nikah sama Atala kan elo. Elo juga yang cocok buat dia--"
"Lo sama mereka tuh sama aja. Nggak ada yang bisa ngertiin gue. Kenapa sih lo suka jodoh-jodohin gue sama dia? Lo kan tahu dari orok gue emang benci sama tuh cowok!"
"Dari orok kalian belum kenalan kali, Cit."
"Gue serius, Sya. Gue--"
"Citra."
Panggilan itu menginterupsi bicara Citra dan Tasya. Kedua gadis itu menoleh ke sumber suara.
Citra langsung mengusap air matanya. Menatap tajam sosok yang barusan memanggilnya itu. "Ngapain lo ke sini?!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Remaja: Dijodohkan Dengan Pewaris Tahta (Selengkapnya di GoodNovel)
RomancePengantin Remaja