15 | Isabella

8 0 0
                                    

Aku sudah mencium Kai.

Kai yang membosankan, yang selalu rapi. Kai yang selalu mendengarkan aku mengatakan hal-hal paling tidak pantas. Kai, anggota Valhalla Club. Dan aku menyukainya.

Dunia benar-benar sudah terbalik.

Aku mengelap meja, gerakanku lambat dan terbagi karena kenangan dari Sabtu malam itu berputar dalam diriku seperti benang sutra tak tampak. Kai dan aku meninggalkan klub setelah mengambil jas dan kanvas kami, lalu pulang dengan taksi terpisah tanpa sepatah kata pun. Empat hari telah berlalu sejak itu, tapi pikiranku tak berhenti memutar ulang ciuman kami.

Itu bukan hanya soal tindakan fisik itu sendiri. Ini tentang bagaimana aku merasa, seperti berada dalam pelukan Kai adalah tempat paling aman yang bisa aku tuju. Aku sudah pernah mencium banyak pria sebelumnya, tapi hanya ciuman kami yang benar-benar terasa pas.

Entah itu, atau aku benar-benar sangat, sangat mabuk.

Aku menghela napas dan menatap sekeliling ruangan yang kosong. Hari ini adalah sehari sebelum Hari Bersyukur, yang berarti klub ini sepi. Biasanya, aku menyukai giliran ini karena aku dibayar meski hampir tidak bekerja, tapi kesunyian ini membuatku gila.

Tinggal tiga puluh menit lagi. Setelah itu, aku bisa membawa laptopku ke kafe favorit dan menulis. Aku belum lupa dengan tenggat waktu Februari, tapi aku sudah terlalu terganggu sehingga belum sempat memikirkannya.

Aku menangkap kilasan abu-abu dari sudut mataku. Aku menoleh, dan udara seolah mati di paru-paruku.

Kai. Dia masuk dengan berjalan seolah dia yang memiliki tempat ini, yang mana, sebagai anggota komite pengelola, memang dia bisa dibilang begitu.

Tanpa jas, tanpa dasi, hanya mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung dan suspenders yang menurunkan garis tegas menuju celana abu-abu gelap yang pas. Dia kembali ke dirinya yang biasa, terlihat terawat, meski dengan kerutan kecil di dahinya.

Aku memaksa udara melewati simpul di dadaku.

Kami belum berbicara atau bertemu sejak ciuman itu, dan aku meremehkan seberapa besar pengaruh kehadirannya padaku. Jika aku tidak berhenti bergerak begitu dia masuk, aku pasti tanpa sengaja menjatuhkan salah satu gelas Baccarat seharga tiga ratus dolar ke lantai.

Mata kami bertemu. Keheningan yang berbeda, lebih berat, menyelimuti kami, yang seolah teranyam dari kenangan terlarang dan kata-kata yang tak terucapkan.

Kai tiba di bar dan duduk di kursi seberangku; aku menuangkan segelas scotch dan mendorongnya ke arahnya tanpa sepatah kata pun.

Dia membawa gelas itu ke bibirnya, tenggorokannya bekerja dengan gerakan menelan yang menggoda.

Aku tidak punya pelanggan lain yang bisa mengalihkan perhatianku, jadi aku hanya menontonnya, keinginan yang malas melilit perutku meskipun kesunyian di antara kami semakin memanjang.

Dia meletakkan gelas itu, dan kami saling mengamati dengan hati-hati seolah sedang menilai ekspresi satu sama lain untuk mencari kata yang tepat.

"Kenapa kamu tidak di London?" akhirnya aku bertanya setelah apa yang terasa berjam-jam, padahal mungkin hanya beberapa menit. "Untuk Hari Bersyukur."

Sisi mulutnya terangkat, sedikit mengendurkan ketegangan. "Orang Inggris tidak merayakan Hari Bersyukur."

Benar.

"Selain itu..." Kerutan kembali muncul sejenak di antara alisnya. "Aku punya krisis pekerjaan yang harus diselesaikan."

"Di akhir pekan liburan?"

"Krisis tidak mengenal waktu. Mereka tidak peduli dengan jadwal manusia." Tanggapan Kai disertai dengan nada hiburan.

"Jadi kamu akan bekerja sepanjang akhir pekan? Itu sangat menyedihkan." Sebuah rasa kecewa menyelip di dadaku ketika membayangkan Kai begadang di depan komputernya sementara orang lain merayakan bersama keluarga mereka.

King of Pride (Kings of Sin #2) Bahasa IndonesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang