Part 1

102 8 6
                                    

Hallooo, cerita ini gue buat bareng rafiahsss, dia yang punya ide ceritanya, gue sebagai tukang ngayal cuma ngerecokin aja wkwkwk. Jangan heran kalo baca ini ada dua rasa dan semoga kalian suka. Happy reading :)


-Abbie Pov-

Do'a tidak melukai tapi harapan yang melakukannya.

*

Roma dengan segala keindahannya, hanya saja tidak ada suara Adzan yang menggema, sambil bersautan. Bibirku tidak henti-hentinya bertasbih, menganggumi indahnya bangunan tua di Roma, yang dirancang oleh tangan manusia. Betapa Tuhan, Maha Kaya menitipkan kepintaran di otak hambanya.

Pagi ini stasium Roma Termini lumayan ramai, maklum saja hari kerja, mereka semua sibuk, dengan urusan masing-masing.

Setelah membeli tiket, aku menaiki metropolitane line A, tujuanku hari ini adalah mengunjungi Piazza di Spagna yang merupakan alun-alun kota roma. Lagi, aku mengagumi kebersihannya, kebersihan merupakan sebagian dari iman, begitu agamaku mengajarkan. Setelah, hampir dua tahun mendekam di Roma, aku jadi banyak belajar soal islam di sini. Bagaimana, perbedaan itu bisa selaras berjalan. Tanpa berusaha, mengatakan siapa yang benar. Dan siapa yang salah. Abah juga mengajarkanku hal serupa.

"Neng" itu sapaan sayang beliau padaku. Perbedaan itu bukan untuk di debatkan. Justru sebaliknya. Tanpa ada perbedaan, semua hambar. Seperti masakanmu. Dan abah akan tertawa lepas.

Metropolitane mulai bergerak, aku mengambil Al-Qur'an kecil di dalam tas sakuku, untuk mengisi waktu selama perjalanan.

Kubuka surat Al-Kahfi lalu membacanya pelan, meskipun mereka terlihat tidak peduli dengan apa yang aku lakukan, tetap saja aku tidak ingin mengganggu mereka, meskipun orang muslim selalu bilang suara lantunan ayat Al-Qur'an itu menenangkan.

*

"Agamamu berisik!" ucap seorang Pria yang entah sejak kapan duduk disampingku. Aku menghentikan tilawahku, menoleh sejenak pada pria yang mungkin saja terganggu dengan aktifitasku. Subhanallah, pujian apa lagi yang harus aku lontarkan pada ciptaan tuhan yang nyaris sempurna ini. Sedetik kemudian aku mengerjap, sadar Abbie, jaga pandangan.

"Apa perlu membaca hal semacam itu di metropolitane dengan bersuara? Itu sangat menganggu!" oh Tuhan. Mulut pria ini, sungguh keterlaluan. Aku jadi ingat, tetehku di Bandung pernah mengatakan hal ini, sebelum aku berangkat menuju Roma, dua tahun lalu.

"Neng, andai nanti di sana ada yang mempertanyakan soal kamu yang suka baca Qur'an. Kamu mau jawab apa?" waktu itu, aku hanya menjawab dengan cengiran. Dan sekarang, aku tak mungkin melakukannya bukan?

"Agamaku?" Aku menjawab dengan suara nyaris bergetar,

"Aku rasa semua agama juga berisik, bukankah orang kristen berdoa dengan cari bernyanyi di dalam gereja?"

Kutarik nafasku dalam-dalam untuk menahan amarah.

"Yang kau sebut semacam itu punya nama, Al-Qur'an namanya".

Hening tercipta, mungkin pria itu kehabisan kata-kata.

"Itu memang sesuatu, lagipula aku tidak percaya Tuhan, berdoa atau apapun hal semacamnya hanya akan membuat harapan palsu," Semburnya tanpa diduga.

Kedua alisku mengerut, jika memang dia tidak percaya Tuhan, kenapa harus mencela agamaku? Sembarangan sekali bicaranya. Bagiku, Al-Qur'an petunjuk hidup. Apa sebuah peta pernah memberimu harapan palsu? Kau boleh anggap kitabku dan peta hal yang sama, akan tetapi hanya sama pada fungsi sebagai petunjuk. Jika kau mengikutinya dengan benar, maka kau akan sampai pada tujuan yang benar,"

Amor animi arbitrio sumitur, non ponitur.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang