“Atas nama kak Arani, ya?” Suara serak bapak-bapak di pertengahan umur 40 an mengejutkanku, sebab entah darimana ojol yang kupesan sudah berada tepat dihadapan diriku. Tanpa berlama, aku mengangguk dan segera memasang helm yang diberikan pak Harto padaku.
Aku tidak tahu namanya sih, cuman di aplikasinya tertera begitu. Harto Suprapto, bintang lima dengan kelebihan keamanan mengemudi, sekiranya itu informasi yang ditawarkan aplikasi ojol padaku.
Kami berangkat menuju SMA Adan Kencana yang hanya berjarak 5 km jauhnya, namun tak dipungkiri bahwa daerah perempatan disekitarnya terkenal akan kemacetan, setidaknya untuk jam-jam tertentu.
Semilir angin pagi meniup helaian rambutku, pemandangan pagi di daerah ini tak pernah berubah sejak dulu. “Sego babat e siji buk! Aku wes ngantri sue!” Suara pembeli dari warung mbok Indah terdengar begitu nyaring saat dilewati, meski daerah ini dipenuhi asap knalpot yang mungkin saja masuk ke dalam nasi bungkusan itu, entah mengapa warung ini tak pernah sekalipun sepi pembeli.
“Aya!” Suara panggilan nama terdengar samar, mengingat bahwa kami sedang di jalan. “Kenapa ga bareng aku aja tadi?” Kini motor kami sejajar, pak Harto sempat menoleh, namun mengalihkan pandangan ketika mengetahui kami memiliki seragam yang sama.
“Biasanya kan kamu berangkat telat, Bagas!” Sahutku dengan suara yang cukup keras. Bagas hanya tertawa kecil sembari mengendarai motornya, jelas karena ucapanku seratus persen benar.
Pecahan uang sepuluh ribu langsung kuterima begitu pak Harto memberikannya sebagai kembalian atas ongkos jasanya, Aku memberikan senyuman terakhirku sebelum akhirnya melangkah hingga ke dekat gerbang. Berniat menunggu Bagas selesai memarkirkan motornya.
“Inget, cuman temen..” Aku menghela nafas, memasang senyum yang sekiranya akan dipandang Bagas sebagai senyuman manis.
“Nunggu apa?” Tanya Bagas sembari sedikit menundukkan pandangannya, membuat sinar matahari yang seharusnya membakar kulitku itu kini terhalau oleh punggungnya. “Ayo masuk,” ia menyambung.
Aku hampir melompat kegirangan mengetahui bahwa Bagas satu kelas denganku, kini hubungan kami akan segera melangkah ke tahap selanjutnya kan? Tidak sekalipun ku berhenti berharap bahwa hubungan kami seperti pipa Rucika, mengalir sampai jauh.
“Tipe cowo kamu yang gimana, Aya?” Salah satu pertanyaan dari teman baruku terlontar begitu saja. Ini memang sesi perkenalan setiap murid baru SMA Adan Kencana, tapi tak kusangka pertanyaan menyangkut privasi ini juga akan lolos begitu saja.
Mataku sedikit mendelik, bingung mencari jawaban pasti. Kalau langsung menyebut Bagas, yang ada dia akan risih, yakan? Dengan menggunakan sisa akalku, pandanganku jatuh pada laki-laki berkacamata yang duduk di pojok sebelah kiri. Dia kesempatanku, kesempatan emas untung menjawab pertanyaan bodoh bin aneh ini.
“Aku suka cowo yang kacamataan!” Ujung telunjukku menyentuh pojok mataku, dengan kekeh yang pastinya terdengar kikuk, aku berhasil keluar dari situasi bahaya itu.
***
“Oh, kalian satu SMP?” Sorot mata Anjani jatuh diantara kami berdua, Aku dan Bagas. “Iyaa, kita satu kelas juga.” Bagas melirik ku sekilas, sebelum kemudian tersenyum tipis kepada Anjani.
“Berarti, kalian deket dong? atau mungkin.. Pacaran?”
Aku meneguk ludah sendiri saat mendengar pertanyaan Anjani, tidak menyangka pertanyaan itu akan terpilih dari banyaknya hal yang bisa dia sebutkan. Aku sudah tahu bagaimana dia akan menjawab, bagaimana Bagas akan menjawab.
“Hubungan kita ngga ke arah yang kaya gitu kok,” dia menjawab. “Bener kan, Aya?” Tanyanya, kini mengarah kepadaku. Mau tak mau aku mengangguk setuju, mengetahui bahwa aku hanya bisa mengepalkan tangan diatas pangkuanku.
Kami berbincang singkat mengenai kehidupan sehari-hari kami, basa basi yang sudah jelas kelewat basi. Hari berikutnya menjadi hari yang kutunggu, yaitu hari dimana bangku duduk kami selama tiga tahun akan ditentukan. Hari itu juga merupakan hari dimana aku mengetahui bahwa takdir sedang tidak berpihak padaku.
“Nomor absen 17 kan?” Aku bertanya— lebih tepatnya, memastikan. ‘Kenapa malah ngeliatin aja?’ gerutuku dalam hati, mencoba untuk memahami mengapa laki-laki yang bahkan terlihat tidak bisa lepas dari earphonenya ini memilih untuk menatap alih-alih menjawab pertanyaanku.
Satu kata, dia aneh. Baru hari pertama duduk bersama, tapi rasanya aku sudah ingin mengajukan pindah bangku. Masa bodoh, hal yang lebih aneh adalah bahwa di hari awal sekolah, aku sudah disambut dengan matematika.
“Itu apaan..” Gumamku lirih, menyipitkan mata untuk menatap papan, tidak satupun dari hal yang dicontohkan dapat kumengerti. Garis demi garis terbentang luas di lembar jawabanku, hanya ada corat coret tanda tak puas yang menggerogoti jiwaku.
Aku melirik ke samping, mulutku hampir menganga lebar melihat bagaimana jawaban rapi dan terlihat benar itu tertulis di buku laki-laki itu. ‘Siapa ya namanya? Tujuh belas? Eh bukan deh, aduh siapa ya..’
Kepalaku menggeleng menyadari ini bukan waktunya menyontek, sel otakku harus bekerja— setidaknya untuk sebulan ini. Jariku terlipat untuk menghitung, bibirku menggumam hal yang tidak perlu, apapun untuk memecahkan soal tak tahu diri itu.
"Mereka bukan dikalikan, X nya ditaruh sini, terus Y nya disamping sini– Nah habis itu.." Sebuah pulpen menggantikan jarinya untuk menunjuk kesana kemari.
Wah gila, laki-laki ini bukan sekedar orang yang otak kosong. Dia sedikit mirip dengan… Yukimiya Kenyu, tidakkah begitu?
KAMU SEDANG MEMBACA
NOODLES!
Teen FictionCan we make our relationship straight like a noodles? Jika musim memiliki bulan nya sendiri untuk bersinar, maka kita memiliki masa nya sendiri tuk bersama. Masa ketika saling bertatap mata saja sudah membuat jantung hampir meledak. Masa ketika, du...