Debu berterbangan bagai laron saat tangan kecil milikku membuka halaman terakhir. Menempel tanpa izin di permukaan kulit kuning langsat yang jelas menjadi identitasku. Bercak kuning yang merata di setiap halamannya menjadi saksi bisu betapa lamanya sang buku telah menetap di kamarku.
Angin sepoi mendinginkan diriku, pasal tirai yang seharusnya menjadi jarak privasi itu terbuka seiring kencangnya angin berlalu. Menyisakan suara samar yang sedikit mengganggu. Sekelebat kutangkap bagaimana awan lusuh datang menggantikan yang lain. Guntur menjadi pertanda bahwa malam ini aku akan ditemani hujan yang sendu.
Suara kaitan besi yang beradu terdengar nyaring di telingaku begitu jemari menarik tirai satu sisi itu ke kiri. Pemandangan garasi terbuka serta rumah bercat putih tulang milik tetanggaku tak kalah cepat memikat mataku. Geraian rambut sebahu ikut tersapu tatkala suara daun yang bergoyang seolah bersenandung.
Tidak butuh waktu lama sampai aku terbangun dari lamunanku, silau cahaya putih motor menembus mata saat aku berlari kecil membuka pintu.
"Di Surabaya hujan ngga, Ma?" Tanyaku sambil memakai sandal swallow yang tidak pernah luput menjadi pelindung kakiku. Dua buntelan kresek besar itu lantas berada di tanganku begitu aku menghampiri wanita dengan hijab yang terlilit ke belakang itu.
Bibirku membentuk garis tipis, menatap punggung wanita yang kupanggil mama itu kembali ke rumah tanpa menoleh ke arahku. Seolah aku hanya asisten pembantu yang memang diharuskan membawa semua keperluan nya dari luar.
Sejenak aku mengintip isi kresek itu, pertanyaanku terjawab tanpa suara saat daun sereh mencuat dari salah satu kresek yang kubawa. Memperjelas bahwa kedua hal yang sedang kubawa ini tidak jauh dari kata bahan makanan.
"Tadi Aku liat di berita katanya ada kecelakaan dekat lampu merah. Mama ga kena macet, kan?" Kepalaku miring ke sisi lain, mencoba melihat ekspresi mama yang dingin. "Ma?" Panggilku lagi.
"Duh! Mama ini capek, tanya-tanya mulu kamu!" Bentak Mama tanpa repot berbalik badan untuk melihatku.
Suara flat shoes yang menyentuh lantai kini tak terdengar saat mama masuk ke dalam kamarnya yang hanya berjarak 2 meter dari kamarku. Rumah berukuran 40x75 meter² kami ini cukup untuk diisi oleh dua tempat tidur dengan kamar mandi sebagai pemisah agar tak bersatu.
Dua kresek berat itu berakhir di counter dapur sebelum aku mulai mengeluarkan isinya satu persatu. Keheningan terdengar begitu normal dalam telingaku. "Udah kemas buat besok?" Dengan segumpal baju kotor di dekapannya, mama melewati tubuhku sembari bertanya.
"Sudah." Jawabku, suara mesin cuci yang tertutup terdengar tepat saat jawabku usai. "Mama besok mau nganterin, kan?"
Wadah transparan dengan kertas kecil bertulis gula itu kini hampir penuh, butiran halus pengundang ratu itu tertuang secara rapi selagi telingaku terbuka tuk menunggu. Menunggu jawaban Mama yang tak kunjung ku dengar meski waktu berlalu.
"Uang saku kamu Mama taruh deket kipas angin kayak biasa." Sahut mama sebelum suara keran yang mengalir menjadi pemutus obrolan di antara kami.
Entah hal itu bisa dikatakan sebagai obrolan atau tidak, cause there's no words that prove my mom answer any of my questions.
Aku menggulung kedua kresek tanpa isi itu menjadi segitiga kecil, menaruhnya di atas rak yang memang telah diisi untuk menaruh plastik belanja dari kasir. Berbagai kantong kresek bahkan hampir pudar tinta birunya tergulung disini.
***
Nama Arani Sayandra kutulis untuk ketiga kalinya dalam kotak kecil bertulis nama pada sampul buku. Rasa lelah menghantuiku karena kini setiap buku kelas sepuluh harus ditulis namanya satu persatu. Kini tiba waktunya buku tulis matematika yang harus kuberi identitas pemiliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NOODLES!
Genç KurguCan we make our relationship straight like a noodles? Jika musim memiliki bulan nya sendiri untuk bersinar, maka kita memiliki masa nya sendiri tuk bersama. Masa ketika saling bertatap mata saja sudah membuat jantung hampir meledak. Masa ketika, du...