Bab 1 : Hujan Pertama

43 21 2
                                    

Hujan turun dengan derasnya, menciptakan suara lembut yang mengalun di jendela. Aira duduk di sofa, menatap foto Zain yang tersimpan di meja kecil di sampingnya. Seolah bisa merasakan kehadirannya, ia mengusap bingkai foto itu dengan lembut, seakan berharap bisa merasakannya lagi.

Aira: "Kenapa kamu harus pergi saat hujan turun, Zain?"

Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Hujan selalu menjadi pengingat akan kenangan mereka bersama. Momen-momen indah ketika mereka berlarian di bawah guyuran air, tertawa tanpa henti, dan merasakan kebahagiaan yang sederhana. Namun, hujan juga menyisakan luka yang dalam di hati Aira.

Di luar, awan gelap menggantung, menciptakan suasana mendung yang sejalan dengan perasaannya. Aira teringat malam itu, ketika Zain pergi selamanya. Semua terasa begitu cepat, seolah hidup ini hanya lelucon yang kejam. Kenangan itu terus menghantuinya.

Aira: "Aku masih ingin bercerita padamu."

Saat pikirannya melayang, ia teringat senyuman Zain—senyuman yang selalu bisa membuatnya merasa tenang di tengah badai. Zain memiliki cara unik untuk mengubah hari-hari kelabu menjadi penuh warna. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, duduk di kafe kecil di sudut jalan, membicarakan mimpi dan harapan sambil menikmati segelas kopi panas.

Aira tersenyum samar, namun senyum itu segera memudar saat ia teringat kembali pada malam yang kelam itu. Hujan yang deras, suara sirene, dan semua yang terjadi begitu cepat. Rasanya, dunia seakan runtuh di hadapannya.

Aira: "Kenapa semua ini harus terjadi?"

Tiba-tiba, dering ponselnya memecah keheningan. Aira meraih ponselnya dan melihat nama teman dekatnya, Nisa, muncul di layar. Dengan sedikit ragu, ia menjawab panggilan itu.

Nisa: "Aira! Aku khawatir padamu. Kenapa kamu tidak keluar? Hujan ini tidak seburuk itu."

Aira: "Aku hanya... butuh waktu sendiri, Nisa. Aku tidak ingin bertemu siapa pun."

Nisa: "Aku mengerti, tapi kamu tidak bisa terus-menerus bersembunyi. Ayo, aku akan datang menjemputmu. Kita bisa minum kopi."

Aira terdiam sejenak, berjuang melawan gelombang emosi yang menyelimuti hatinya. Ia tahu Nisa hanya ingin membantunya, tetapi hati Aira masih terasa berat, seolah ada beban yang tak tertahankan.

Aira: "Aku... aku tidak tahu, Nisa. Mungkin lain kali."

Nisa: "Tapi kamu tidak bisa terus seperti ini. Hidupmu harus berjalan, Aira. Zain pasti ingin kamu bahagia."

Kata-kata Nisa menyentuh hatinya, tetapi Aira merasa terjebak antara rasa kehilangan dan keinginan untuk melanjutkan hidup. Ia menghela napas, berusaha menenangkan diri.

Aira: "Baiklah, aku akan siap dalam lima menit."

Setelah menutup telepon, Aira berdiri dan menatap hujan yang terus mengguyur. Setiap tetesnya seolah mengingatkan pada rasa sakit yang tak kunjung padam. Ia merasakan seakan setiap hujan adalah sebuah perpisahan, sebuah pengingat bahwa Zain tidak akan pernah kembali.

Dalam hatinya, ia berjanji untuk mencoba melangkah maju, meskipun bayang-bayang Zain masih menghantui setiap langkahnya. Mungkin keluar dan bertemu Nisa bisa menjadi langkah kecil untuk membukakan jendela yang tertutup di hidupnya.

Ketika Aira bersiap, ia melihat bayangannya di cermin. Mata bengkak, wajah pucat, dan senyuman yang hampir hilang. Ia berusaha mengingat kembali semua yang pernah diajarkan Zain—untuk selalu berani dan tak pernah menyerah.

Dengan pelan, Aira melangkah ke pintu dan membuka, merasakan hembusan angin dingin yang membawa aroma tanah basah. Ia tahu ini bukan hanya tentang bertemu teman; ini tentang mencoba memulai kembali.

ANTARA LANGIT DAN LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang