Bab 2: Bayangan Masa Lalu

36 17 1
                                    

Langit sore masih berwarna kelabu ketika Aira dan Nisa duduk di sudut kafe kecil di ujung jalan. Aroma kopi yang baru diseduh memenuhi udara, dan suara hujan yang terus berjatuhan di luar menjadi latar belakang yang konstan. Aira duduk diam, menatap ke luar jendela, menyaksikan tetes-tetes hujan yang menari di permukaan jalan yang basah.

Nisa: "Kamu kelihatan lebih baik sekarang. Aku senang kamu memutuskan untuk keluar."

Aira tersenyum tipis, meski hati kecilnya masih terasa kosong. "Aku butuh udara segar," jawabnya, tanpa mengalihkan pandangan dari jendela.

Nisa mengaduk kopinya, mencari kata-kata yang tepat. Ia tahu bahwa Aira belum sepenuhnya sembuh, bahwa masih ada bagian dari dirinya yang terkunci dalam kenangan akan Zain. "Aku hanya ingin kamu tahu, aku selalu ada untukmu, Aira. Kamu tidak harus melakukannya sendiri."

Aira menoleh sejenak, matanya berusaha menyembunyikan kesedihan yang masih menetes dalam hatinya. "Aku tahu, Nisa. Tapi kadang rasanya... semuanya begitu sunyi. Seolah-olah tidak ada yang benar-benar bisa memahami."

Nisa mengangguk pelan. "Kehilangan itu memang selalu terasa begitu. Tapi kamu nggak harus berjalan sendiri dalam kegelapan itu."

Aira terdiam, membiarkan kata-kata Nisa mengendap dalam pikirannya. Di luar, hujan mulai berkurang, hanya menyisakan rintik-rintik yang ringan. Pikirannya melayang kembali ke malam itu, saat Zain meninggalkan dunia ini dalam kecelakaan tragis. Bayangan wajah Zain yang terakhir kali dilihatnya, disertai teriakan sirene ambulans dan cahaya lampu yang berkedip-kedip, tak henti-hentinya mengganggunya.

Hujan waktu itu sama derasnya dengan hari ini. Mereka baru saja selesai bertengkar, dan Aira tidak pernah menyangka itu akan menjadi kali terakhir dia melihat Zain. Perasaan bersalah menyelimuti setiap kenangan tentang malam itu. Andai saja dia bisa menahan kata-katanya. Andai saja dia bisa memutar waktu.

Nisa: "Apa yang kamu pikirkan?"

Aira: "Aku berpikir tentang malam itu. Tentang betapa cepat semuanya berubah. Hujan turun, sama seperti sekarang. Kami bertengkar... lalu dia pergi. Aku ingin menghentikannya, tapi sudah terlambat."

Nisa terdiam sejenak, memberikan ruang bagi Aira untuk mengungkapkan rasa sakit yang selama ini dipendamnya. "Itu bukan salahmu, Aira. Kamu tahu itu, kan?"

Aira: "Tapi aku merasa seperti... aku seharusnya bisa melakukan sesuatu. Aku seharusnya menahannya."

Nisa menatap Aira dengan penuh simpati. "Kita semua punya penyesalan, Aira. Tapi kamu tidak bisa terus menyalahkan dirimu sendiri. Zain tidak ingin kamu hidup seperti ini."

Aira menundukkan kepala, menatap cangkir kopi di depannya. Kepahitan dalam hati terasa sejalan dengan rasa kopi yang kini dingin. Di luar, hujan akhirnya berhenti, menyisakan genangan air di jalanan yang memantulkan langit mendung.

Aira menarik napas dalam-dalam. Ia tahu Nisa benar, tetapi kata-kata itu tidak mudah diterima. Bagaimana mungkin dia melanjutkan hidup sementara hatinya masih tertinggal di masa lalu? Namun, di satu sisi, mungkin inilah saatnya untuk memulai perjalanan penyembuhan, meskipun langkah-langkah awalnya begitu berat.

Aira: "Aku hanya butuh waktu, Nisa. Mungkin aku belum siap sekarang, tapi... suatu hari nanti."

Nisa tersenyum lembut dan menyentuh tangan Aira. "Aku di sini untukmu, kapan pun kamu siap."

Keduanya duduk dalam keheningan sejenak, membiarkan detik-detik berlalu dengan tenang. Di luar, langit yang kelabu mulai memudar, dan meskipun belum ada cahaya matahari, ada secercah harapan kecil yang perlahan-lahan muncul di hati Aira. Mungkin, dengan sedikit usaha, dia bisa belajar untuk hidup kembali—tanpa sepenuhnya melupakan, tapi juga tanpa terjebak dalam bayangan masa lalu.

ANTARA LANGIT DAN LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang