Bab 3: Di Antara Dua Dunia

25 15 6
                                    

Langit senja yang mendung masih menyelimuti kota, seperti menyimpan semua perasaan yang tersembunyi dalam hati Aira. Setelah pertemuan dengan Nisa di kafe, Aira pulang dengan perasaan yang bercampur aduk. Di satu sisi, ia tahu Nisa benar, bahwa hidup harus terus berjalan. Namun di sisi lain, setiap langkah yang ia ambil terasa seperti meninggalkan Zain semakin jauh, dan itu membuatnya semakin terpuruk dalam rasa bersalah.

Sesampainya di rumah, Aira melepas jaket basahnya dan meletakkannya di gantungan. Ia berdiri di ambang pintu, menatap ruangan yang sepi. Keheningan ini selalu menjadi temannya sejak kepergian Zain. Tanpa sadar, Aira berjalan menuju kamar tidur, tempat di mana kenangan bersama Zain terasa paling kuat.

Di meja rias, sebuah kotak kayu kecil tergeletak. Kotak itu berisi surat-surat, foto, dan barang-barang kenangan yang pernah mereka bagi. Aira membuka kotak itu perlahan, tangannya gemetar. Sebuah foto jatuh dari dalam kotak, memperlihatkan dirinya dan Zain sedang tersenyum di sebuah taman pada suatu sore yang cerah.

Aira duduk di lantai, memegang foto itu dengan erat. Ia menatap wajah Zain dalam foto, merasakan gelombang emosi yang tak tertahankan.

Aira: "Aku ingin kamu kembali. Aku tidak tahu bagaimana caranya menjalani hidup tanpamu."

Tetesan air mata jatuh, mengaburkan gambaran wajah Zain di foto. Di tengah kesedihannya, ia mendengar dering ponsel. Tanpa menoleh, Aira meraih ponselnya, berharap itu bukan panggilan yang membutuhkan jawaban. Nama ibunya muncul di layar. Aira tahu ia harus menjawab.

Aira: "Halo, Bu."

Ibu: "Aira, sayang. Ibu cuma ingin memastikan kamu baik-baik saja. Rasanya sudah lama Ibu tidak mendengar kabar darimu."

Aira menahan napas sejenak. "Aku baik-baik saja, Bu. Hanya... sibuk."

Ibu: "Aira, kamu tidak harus menyembunyikan perasaanmu. Kamu tidak sendiri, nak. Ibu tahu kehilangan itu berat, tapi kamu tidak bisa menutup diri dari dunia."

Aira: "Aku tahu, Bu... tapi semuanya terasa begitu sulit."

Suara ibunya di seberang telepon terdengar penuh kehangatan dan kekhawatiran. "Kamu harus memberi dirimu kesempatan untuk sembuh, Aira. Jangan biarkan kenangan buruk membayangi hari-harimu."

Setelah percakapan itu selesai, Aira duduk dalam kesunyian. Kata-kata ibunya menggema dalam pikirannya. Kenangan buruk. Mungkinkah itu yang selama ini ia lakukan? Menutup diri dalam penyesalan, terus-menerus mengingat momen terakhir bersama Zain tanpa memberi dirinya kesempatan untuk sembuh.

Aira mengusap matanya, mencoba mengusir sisa air mata yang membasahi pipinya. Ia meraih foto Zain dan kembali meletakkannya di dalam kotak kayu. Namun kali ini, ia menutup kotak itu dengan lebih pelan, seolah-olah siap untuk menyimpannya, bukan sebagai pengingat dari rasa sakit, tetapi sebagai bagian dari masa lalu yang berharga.

Hujan yang sejak tadi terus turun mulai mereda. Aira berjalan menuju jendela dan membuka tirainya. Langit yang tadinya penuh dengan awan gelap kini mulai memudar, menyisakan semburat warna jingga di cakrawala. Meski jauh di lubuk hatinya, Zain masih ada, namun untuk pertama kalinya, Aira merasa mungkin dia bisa melanjutkan hidup tanpa terus tenggelam dalam bayang-bayang kenangan.

Langit di luar, yang mulai cerah, seakan menjadi tanda bahwa setiap badai pasti berlalu. Mungkin hidup Aira juga bisa begitu, meskipun butuh waktu, meskipun butuh usaha untuk mengikhlaskan.

Aira menghela napas panjang, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, ia membiarkan dirinya merasa sedikit lega, meski hanya untuk sesaat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 22 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ANTARA LANGIT DAN LUKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang