Part Satu

1.9K 46 4
                                    

Heri memeluk gulingnya semakin rapat, hawa di kampung sangatlah dingin ketika masih pagi hari. Dirinya sudah seminggu pulang kampung, karena terkena imbas PHK beberapa minggu yang lalu. Deflasi yang terjadi terus-menerus membuat perusahaan tempatnya bekerja mengalami kebangkrutan, dan imbasnya, Heri adalah salah satu keryawan yang di-cut oleh kantornya. Inginnya Heri stay di ibukota sampai dirinya mendapatkan pekerjaan kembali, namun biaya hidup ibukota yang mahal membuat Heri akhirnya memilih untuk pulang kampung. Ingin menghemat uang pesangon juga, jangan sampai habis.

"Her! Bangun! Tangi wes esuk! Ndang mandi, bantu Bapak ke ladang sekalian angon bebek!" Heri mengulet ke kiri, lalu mendongakan kepalanya. "Wes ayo tangi! Sarapan!"

"Iya Pak!" Heri dengan malas bangkit dari kasur. Heri membasuh wajahnya, kemudian sarapan. Sarapan pagi ini ada ubi ungu dengan telur rebus, sudah disiapkan oleh ibu Heri sejak jam lima pagi. Setelah beres sarapan, dia pun mengikuti bapaknya pergi ke ladang. Ya mau bagaimana, dirinya sekarang pengangguran. Mau tidak mau ya bantu-bantu orang tua daripada di rumah hanya diam saja. Nanti dikatai, sudah numpang tidak tahu diri, ya kan?

"Udah lamar-lamar lagi, Le?" tanya bapaknya sambil memetik beberapa sayuran yang masih segar, sementara matanya masih awas mengawasi bebek-bebeknya yang masih sibuk cari makan sendiri di depan. Lumayan sayuran ini bisa dimasak istrinya buat besok. Bisa dibilang, orang tua Heri penganut slow living tanpa mereka sadari. Makan dari hasil tanaman ladang sendiri. Jika mau telur, bisa mengambil dari telur ayam yang ayamnya mereka pelihara. Atau telur bebek. Bisa milih. Beras pun ada dari hasil sawah. Sebenarnya, jika Heri mau, ya dirinya bisa ikut melanjutkan kehidupan orang tuanya. Namun yang namanya anak muda, Heri ingin memiliki banyak pengalaman. "Kalau memang nggak ada ya udah, di sini aja bantu bapak sama ibu ngurus ladang!"

"Sudah Pak, Heri sudah mencoba lamar. Kebetulan kemarin ada panggilan interview di SMP kelurahan sebelah," jawab Heri. Dia mengikuti bapaknya yang kini tengah mengambil telur bebek yang baru saja keluar dari sumbernya langsung. Bebek memang tidak mengerami telurnya sendiri, mana suka sembarangan saat bertelur. Tidak semua bebek, karena jenis mallard biasanya masih mau mengerami telurnya. Ini bebek jawa, atau itik jawa. Tidak bisa terbang, dan termasuk bebek petelur. Pejantannya biasanya hanya ada satu atau dua dalam satu kawanan, sementara betinanya sangat banyak.

"Kapan interview-nya, Her?"

"Besok siang Pak! Makanya ini nanti siang Heri mau fotocopy lagi sertifikat satpam Heri. Lumayan kalau diterima, Heri bisa pulang pergi. Jadi nggak perlu ngekos!"

"Baguslah kalau nggak jauh-jauh. Ibu sama bapak udah tua, kamu anak satu-satunya. Jangan kerja jauh-jauh!"

"Iya Pak!" sebenarnya kedua orang tuanya belum tua-tua amat. Masih termasuk usia produktif. Akan tetapi sering sekali menggunakan faktor usia agar anak semata wayangnya itu mau mengikuti apa kemauan mereka.

Setelah puas memetik beberapa sayuran dan cabai-cabaian, bapak dan anak itu lalu menggiring bebek mereka untuk kembali ke rumah. Mereka juga secara hati-hati memantau jika ada beberapa betina yang bertelur. Selain sayuran, mereka mendapatkan enam butir telur pagi ini. Biasanya mereka akan mengambil beberapa untuk dimasak dan sisanya akan dimasukan ke mesin tetas. Agar bebek-bebek mereka semakin banyak. Jika dirasa ada bebek yang sudah tua atau sudah tidak produktif, biasanya akan disembelih untuk dimasak.

Sesampainya di rumah, ibu Heri sudah menyiapkan hidangan makan siang. Ada sop ceker ayam, telur dadar, tempe goreng, ditambah sambal terasi. Nasi masih mengebul panas. Heri tersenyum senang. Kadang dirinya kangen suasana ibukota yang gemerlap keindahan akan tetapi penuh jebakan. Di desa lebih mempesona.

Siangnya, Heri mengendarai motornya untuk ke kota. Dirinya mengeprint lagi surat lamaran kerja, ijazah, SKCK, lalu sertifikat satpam. Dirinya dulu pernah ikut pelatihan Gada Pratama, dan sertifikat ini adalah hasilnya. Heri sebenarnya sudah mengirim surat lamarannya via email, akan tetapi untuk berjaga-jaga, ia juga mencetak kembali semua dokumen yang dibutuhkan. Karena masih belum sore, Heri memutuskan untuk makan bakso terlebih dahulu. Sambil berharap jika interview-nya besok akan lancar.

[***]

"Heri?" Pak Romli, Kepala Sekolah tempat Heri melamar kerja, menyalami tangan Heri. Dilihatnya pemuda bertubuh tegap dengan wajah manis ganteng khas orang Jawa itu dengan ramah. Heri berperawakan ideal, dibalik kemeja pas badan yang dipakainya, Pak Romli bisa melihat otot dada Heri yang terbentuk. Terlihat pulen. Kulitnya sawo matang dan tampak eksotis. Alisnya rapi dan lebat, menaungi matanya yang berwarna coklat gelap. Hidungnya cukup, tidak bisa disebut mancung akan tetapi tidak bisa dibilang pesek. Sementara bibirnya manis dan penuh.

"Pagi Pak!" sahut Heri, menyambut jabat tangan Pak Romli dengan erat.

"Duduk Her," tawar Pak Romli. "Jadi begini," ungkap Pak Romli sembari membaca kembali berkas surat lamaran Heri. "Kamu itu sebenarnya terlalu over-qualify untuk posisi satpam di sekolah ini. Terlalu tinggi spec kamu itu. Nggak mau mencoba di tempat yang lebih bagus, Her?"

Heri menggeleng. "Enggak Pak. Kebetulan sekolah ini dekat dengan rumah orang tua. Jadi saya nggak perlu jauh-jauh dari orang tua. Maklum, saya anak satu-satunya. Takut terjadi apa-apa sama orang tua. Sudah lumayan senja juga usia mereka, Pak."

"Oh begitu," sekali lagi Pak Romli menatap Heri dari atas lalu bawah. Memperhatikan betapa celana bahan itu memeluk paha besar dan kekar milik Heri dengan erat bagai kain kedua. Pak Romli menelan ludah. "Saya sih mau saja langsung menerima kamu, Her. Tapi . . ." Pak Romli menaruh lembar-lembar foto di atas meja. "Memang saya bukan Kepala Sekolah SMP di kota besar. Namun saya selalu ingin yang terbaik untuk anak didik saya," tentu saja ini pembualan. "Apalagi nanti posisi kamu adalah satpam, orang yang akan menjaga keamanan sekolah ini. Jadi saya selalu pastikan siapa saja yang akan bekerja di sekolah ini adalah orang-orang pilihan." Pak Romli berdeham beberapa kali, "saya benar-benar ingin kamu bisa kerja di sini, Her. Namun kemarin ketika saya browsing history kamu di social media. Untuk memastikan sekali lagi bahwa saya ini nggak salah hire. Ya siapa tahu kamu ada terlibat kriminal kan ya? Saya malah nemu ini."

Heri melihat tidak percaya foto-foto yang Pak Romli taruh di atas meja. Ia juga mulai berkeringat dingin. Heri tahu betul siapa orang yang ada difoto tersebut. Iya. Itu fotonya. Foto dirinya dalam kondisi bugil. Dengan berbagai pose. Untuk onlyfans seorang fotografer. Heri dulu saat pertama merantau ke ibukota, tergiur dengan teman-temannya yang memiliki smartphone mahal, ngekos di tempat elite, bisa makan di restoran mahal dan membeli baju-baju bagus. Dengan gaji UMR, Heri tidak mungkin bisa mengejar gaya hidup teman-temannya tersebut. Sampai akhirnya dirinya ditawari untuk berpose telanjang, yang katanya, pasarnya adalah untuk luar negeri. Bukan untuk konsumsi lokal. Dengan dalih bahwa onlyfans di-banned di Indonesia. Bodohnya, Heri percaya begitu saja dengan omongan manis fotografer tersebut.

"Itu benar foto-foto kamu, Her?"

Heri dengan lemah mengangguk. Toh dirinya tidak bisa menyangkal. Memang yang ada di dalam foto itu adalah dirinya sendiri. Yang bodohnya, demi gaya hidup, malah menjual harga diri dan martabat.

Pak Romli mengambil nafas panjang, "begini Her. Apa kamu nggak malu saat difoto telanjang begitu?" Heri hanya bisa menunduk malu. "Saya tetap bisa menerima kamu bekerja di sini. Dan foto-foto ini aman, tidak akan sampai ke orang tua kamu." Pak Romli menghentikan ucapannya, membuat Heri deg-degan dengan kalimat apa yang akan keluar dari mulut Pak Romli setelahnya. "Saya sudah menyiapkan kontraknya, kamu bisa pelajari dan jika kamu setuju kamu bisa tanda tangani," Pak Romli berjalan ke arah Heri, menyerahkan berkas kontrak itu ke atas pangkuan cowok muscle tersebut. "Saya kasih waktu dua hari. Pikirkan baik-baik, nama baik orang tua kamu."

Heri merasa dunianya runtuh. Akibat keserakahan gaya hidupnya sendiri di masa lalu.

[***]

Selengkapnya bisa dibaca di lynk.id saya.

Terima kasih.

SATPAM BARUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang