"Kak Wira!"
Pria dengan kacamata hitam itu menoleh, menatapku datar.
"Apa kamu memanggilku?"
Aku menghentakkan kaki kiriku kesal, membuat rambutku yang diikat satu bergoyang sedikit.
"Jangan pura-pura gak kenal sama Dea deh, kak!"
Pria itu mengenyit, membuat kerutan di dahinya semakin dalam.
"Kamu kelas berapa sih?"
"Kakak! Aku udah sembilan belas tahun, bukan anak kecil lagi kan?!" Balasku sebal.
Bukannya meladeni ocehanku, sekarang pria itu meninggalkanku, dengan kedua tangannya didalam saku.
"Pergi aja terus! Dasar nyebelin! Untung cinta!"
***
Jemariku bermain di atas keyboard dengan cepat. Setiap ketikanku begitu keras, meluapkan emosi ku.
Aku membenci kenyataan!
Aku membenci takdir!
Ucapan Ayah beberapa menit yang lalu masih terngiang dipikiranku, saat ia datang dengan seorang pria yang begitu kukenali.
"Deana, mulai sekarang anak Tante Jian tinggal disini ya. Biar makin akrab sama Ayah." Begitu ucap ayah.
Sedetik setelah bersitatap dengan anak Tante Jian, aku berlari meninggalkan keduanya. Dan sampai sekarang, mengunci diri di kamar ditemani tulisan-tulisanku.
Aku tidak marah pada kenyataan bahwa Ayah akan menikah lagi setelah tiga tahun kepergian Ibu.
Yang terpenting, Ayah bahagia. Aku juga bahagia.
Tapi.. bagaimana jika pria yang kau cintai selama dua tahun akan menjadi kakakmu dalam hitungan hari?
Pintu terbuka secara tiba-tiba, mengingatkanku kembali pada kenyataan pahit siapa calon kakakku.
"Akhirnya terbuka juga."
Ranjangku bergoncang, menandakan ada seseorang yang lain duduk diatas ranjangku.
"Kak Wira ngapain kesini?"
Laptopku tertutup secara tiba-tiba, membuatku langsung menatap tajam si pelaku.
"Kalo mau ngomong lihat orangnya."
Aku mendengus. Sekarang mengambil hp dan headset disamping nakas dengan kasar.
"Sayangnya Dea gak mau ngomong sama kakak."
Bisa kurasakan helaan nafas Pria ini, tatapannya begitu intens padaku.
"Deana--"
"Gak jadi! Skarang Dea mau ngomong sama kakak!"
Kutatap tajam pria berkacamata ini.
"Apa Kakak udah tau sebelumnya kalau Dea bakal jadi adik kakak?"
"Ya."
Hatiku bagai tersengat listrik mendengarnya.
Dia.. tahu kalau kami akan menjadi saudara dan tidak melakukan apa-apa?
Kurasa.. cintaku terbukti bertepuk sebelah tangan, seperti ucapan orang-orang bahwa memang aku yang terlalu berharap.
Lirih, aku bertanya, "Apa kakak mencintaiku? Tidak kah sedikitpun terpikir oleh kakak, kakak mencintaiku? Barang sedetik saja?"
Pria ini sekarang menghela napas, matanya terlihat sendu.
"Deana, kamu tahu kan kita akan menjadi keluarga minggu depan. Hanya saja, tidak ada yang bisa kakak lakukan demi kebahagiaan Mama kakak. Tapi.. kalau kamu tanya bagaimana perasaan kakak--"
"Aku membenci kakak! Kakak pembohong! PERGI!"
Tanpa mendengar lanjutan ucapan pria ini, kusumpal kedua telingaku dengan headset putih yang sudah mengeluarkan suara berisik. Sambil menutup mataku muak, menghilangkan wajah pria ini dari pandanganku.
"-kakak mencintaimu,"
"PERGI KAKAK, PERGI!!"
"--sejak tujuh tahun yang lalu."
Kisah cinta kita begitu menyakitkan, dimana sampai kapanpun kita tidak pernah bisa menyatu. Bahkan kamu tidak tahu kenyataan bahwa aku mencintaimu,
Deana Kiraina.