Aku menatap datar wajah wanita paruh baya yang menangis dibalik jendela kecil di samping pintu. Kulihat rambutnya yang mulai beruban, serta kerutan diwajahnya menunjukkan ia mulai menua.
Samar, kudengar bisikan sebuah nama dari sela tangisannya.
Kiela...
Ingin kuhampiri wanita itu dan menghapus bulir-bulir air mata yang jatuh. Namun kakiku sama sekali tidak bisa bergerak.
Seakan aku mati rasa.
Kiela.. Tiba-tiba saja kamu sudah berdiri dihadapanku, memunculkan senyum penuh pesonamu.
Mataku hanya bergerak tanpa membuka suara, menunggu kamu melanjutkan ucapanmu.
Apa sudah lebih baik? Tanyamu. Aku hanya bisa berteriak dalam hati, Aku baik-baik saja selama kamu disini.
Hari itu kamu menghabiskan hari bersamaku dengan mengajakku berbincang. Mungkin lebih tepatnya kamu yang mengoceh panjang lebar.
Setelah kepergianmu, aku mengeluarkan beberapa pil berwarna putih dari sebuah botol berwarna coklat pekat.
Kusentuh pil-pil itu dengan ujung jari telunjukku.
Kata orang, nama pil ini obat penawar rasa sakit.
Kuraih satu pil dari telapak tanganku.
Menelannya cepat.
**
Bunga Aster yang cantik untuk Kiela yang cantik, ujarmu dengan cengiran lebar diwajahmu. Kulihat sebuket bunga Aster ditanganmu.
Aku mengerjapkan mataku, memastikan bahwa ini bukan ilusi.
Raut lelahmu begitu ketara namun kamu tetap berusaha terlihat ceria. Aku hanya menatap pergerakanmu dalam diam, menikmati momen aku dan kamu.
Bagaimana, apa kamu betah disini?
Aku menggeleng.
Kalau ada aku, apa masih gak betah?
Semburat merah terasa dipipiku, membuatku memalingkan wajah menatap ke arah jendela.
Tanganmu bergerak menyentuh rambut-rambut halus dipipiku, membuatku merasakan setruman disekujur tubuhku. Lalu kamu menyelipkannya dibalik telingaku.
Aku.. Sekuat tenaga aku mengeluarkan suara. Tatapan lembutmu seakan menusukku hingga ke jantung.
Ada apa, Kiela?
Aku mencintaimu. Kalimat sakral itu akhirnya keluar dari bibirku. Membuat dadaku berdegup kencang menunggu responmu.
Tak seperti yang kuharapkan, wajahmu mengeras. Hatiku mencelos.
Kamu bangkit berdiri, meninggalkanku sendirian diruangan ini.
Kuraih botol berisi pil-pil itu. Seperti kemarin, mengeluarkan beberapa, lalu menyentuh ringan pil-pil itu.
Kuambil satu dan menelannya, lalu memasukkan kembali semua ke botol.
Lambat laun, rasa kantuk menyerangku. Aku menguap, mataku lemas dan berkunang-kunang, aku jatuh terlelap dalam mimpi.
**
Kiela, bangun yuk. Bisikan samar seorang wanita berumur pertengahan 20 membangunkanku.
Aku duduk ditempat tidur, menatap wanita itu intens.
Jangan menatapku seperti itu, makan yuk. Aku udah bikin bubur kesukaan kamu lho.
Aku tetap bergeming. Tidak menyerah, wanita itu bergerak menyendokkan bubur.
Buka mulutnya Kiela.
Aku menatap datar wanita itu, tangannya yang menggantung didepan wajahku kuabaikan. Hingga suaramu terdengar memecahkan kecanggungan.
Biar saya saja.
Kupu-kupu berterbangan diperutku, aku begitu senang dengan kedatanganmu. Kamu bergerak menggulung kemejamu sampai se siku, lalu mengambil alih sendok di tangan wanita berbaju putih tadi.
Kamu harus makan Kiela, biar sehat.
Pikiranku bergelut, lidahku seakan kebas ingin meminta maaf atas ucapanku semalam. Tapi, kenapa kamu baik-baik saja seakan tidak ada yang terjadi diantara kita?
Sendok demi sendok kamu suapkan padaku, dan aku dengan patuh membuka mulutku.
Aku senang aku dan kamu yang seperti ini. Kamu yang hanya fokus pada setiap sendok bubur tanpa melirikku sedikitpun, dan aku yang bebas menatap bola mata hitam pekatmu.
Sampai kapan ya, kita seperti ini? Aku bertanya-tanya dalam hatiku.
Pelan, kubisikkan sebuah kata dengan terbata setelah sendok terakhir yang kamu suapkan.
Ma..Maaf.
Kamu tersenyum. Hatiku meleleh dibuatnya.
Tanganmu terulur mengusap puncak kepalaku.
Aku pulang dulu ya.
Tanpa ekspresi, aku hanya menatap polos kamu yang tersenyum, lalu berbalik meninggalkanku.
Mataku mengerjap, lalu berjalan ke arah jendela yang mengarah ke halaman yang dipenuhi pohon rindang dan bunga-bunga.
Malam ini, aku bisa tidur dengan nyenyak tanpa pil-pil penawar itu.
Entah kenapa.
**
Keesokannya, aku mendapati seorang wanita paruh baya menangis lagi dibalik jendela kecil ruangan ini.
Mama, jangan menangis.
Ingin kuteriakkan kalimat itu dan menghapus bulir-bulir yang jatuh, namun tak bisa. Aku hanya bisa menatap datar wanita itu, tanpa melakukan apa-apa.
Aku memang seorang anak yang payah.
Yang kulakukan hanya duduk diam disini seperti orang bodoh, menunggu seseorang untuk datang.
Tapi nihil, hingga tengah malampun kamu tidak datang.
Sesaat, aku merasa kehilangan senyum ceriamu itu.
**