Aku menjulurkan tanganku, merasakan sepercik air jatuh di telapakku.
Dingin.
"Yah, hujan.." gumamku.
Seplastik cemilan di tangan kiriku mulai basah terkena percik air. Aku berjalan mundur, memilih duduk di halte sendiri.
Ck. Mungkin hanya aku satu-satunya orang yang berkeliaran di malam minggu hujan seperti ini.
Merasa bosan, kukeluarkan satu cemilan dari plastik, memakannya dengan lahap.
Kuperhatikan setiap sudut jalanan malam ini. Beberapa motor berlalu lalang berusaha cepat sampai ke rumah, atau kemanapun untuk berteduh. Berharap bisa segera meminum kopi panas, ataupun masuk ke selimut dan tidur.
Tidak seperti dirimu, Kat.
Tap!
Kress.
Ups, mungkin, memang masih ada orang bodoh selain diriku.
Biar kuperjelas, yang pertama tapak kaki seseorang disampingku yang baru saja duduk. Yang kedua suara keripik yang ku gigit.
Kulirik kesamping orang yang berteduh tadi.
YAAMPUN GANTENG..
Sorot matanya tajam, kupikir, dia tipe lelaki yang dingin. hm.
Rambutnya cukup panjang dengan poninya yang basah menjuntai menutupi poni. Kukisar.. umurnya setara denganku lah.
Dibawah hujan, berdua di sebuah halte.
Romance Novel tingkat dewa banget, ya.
"Eh, minta cemilan lo, dong,"
"Laper nih, jangan pelit."
BYAR!
Ekspetasiku jatuh total setelah ia bersuara.
Dingin dari huongkong!
Aku menyinisinya sesaat, namun kusodorkan juga cemilan ditanganku.
"Eh, ini udah habis woy."
"Yaudah, berarti habis."
"Itu disamping lo masih ada seplastik."
Lelaki dingin sialan!
"Ngeselin banget sih lo!"
Dengan kasar, ku ambil sebungkus cemilan dari dalam plastik, lalu menyerahkannya pada lelaki disebelahku.
Ia tampak terkekeh, lalu memakan dengan lahap cemilan yang kusodorkan.
"Makasih ya,"
"Gue Hian."
"Gak nanya." Aku menatap percik-percik air yang jatuh, terlihat lebih menarik dibanding makhluk disampingku. Gak ding. Untung cogan.
"Ck. Jadi masih ga ikhlas nih?"
"Hm."
Aku hanya bergumam.
"Nama lo siapa, gadis jomblo baik hati pemberi cemilan?"
"Sialan. Gue Kat-"
JEDAARR!
Tiba-tiba, sebuah petir menginterupsiku.
"AAAAA!"
Dan teriakan itu bukan dariku. Tapi dari samping.
Iya, Hi-an.
Aku melihatnya yang bersembunyi ketakutan dipunggungku.
Sedetik kemudian, aku tertawa terbahak-bahak.
"BAHAHAHHAHAHAH! COWOK MACEM APAAN LO SAMA GLEDEK TAKUT."
Gantian, Hian menyinisiku, ia menaruh tangannya di sisi pahanya, menatap lurus kedepan.
"Yee.. gitu aja ngambek."
"Siapa yang ngambek!" Hian menatap ku garang, yang kubalas dengan cengiran di wajahku.
"Emang kenapa lo bisa takut gledek?"
"Tolong ingat bahwa lo stranger. Eh tadi nama lo siapa ya?"
"Ya justru karna gue stranger, lebih enak diajak ngobrol kan, ini yang pertama, dan terakhir,"
Aku tersenyum tipis.
"Nama gue Katya."
Lelaki disampingku menatap ku sesaat, lalu membuka mulutnya. Samar-samar, kudengar bisikannya pelan.
"Gue gak yakin habis ini gak akan ketemu lagi."
"Eh, apaan? Lo ngomong apa barusan?"
Tak menggubris ucapanku, ia mulai bercerita tentang traumanya.
"Dulu waktu gue masih kecil, papa dan mama pernah bertengkar hebat. Hari itu langit gelap dan hujan. Tiba-tiba, mama pergi keluar. Dan gue yang gak tau apa-apa ngejar dia.
Tapi papa gue nahan gue dan dengan bodohnya, langkah gue berhenti pas dengar suara petir. Sejak saat itulah, gue nyesel kenapa gue berhenti karena petir karena..
mama gak pernah balik sampai sekarang."
Hian menutup ceritanya dengan helaan napas yang panjang.
JDAAR!
Hian memelukku secara reflek, membuat aliran listrik menyetrum diriku. Pundaknya tampak bergetar dan begitu rapuh. Kali ini, bukannya tertawa, aku justru merasa kasihan padanya.
Pelan, ku usap punggungnya lembut. Berusaha menenangkannya.
Hujan mulai mereda, tinggal gerimis kecil tersisa.
Hian melepas pelukannya. Kami duduk bersisian canggung.
"Yaampun.. kok malah kebalik gini ya malah lo yang hibur gue."
Kami hanya tertawa kecil.
"Jadi, Katya cewek jomblo baik hati.. kenapa lo bisa disini sendiri malem minggu?"
Malam itu, aku dan Hian saling berbagi cerita dibawah langit gerimis.
Dan aku mendapati satu fakta; aku menyukai pria hujan -sebut saja begitu- ini.
Hujan sudah berhenti.
Ku lirik jam di pergelangan tanganku, jarum jam menunjukkan waktu 9 tepat. Berarti, sudah sekitar satu setengah jam aku dan Hian menunggu hujan reda.
Aku beranjak, melihat taksi berhenti didepan halte.
"Hian, kayaknya gue duluan deh ya. Udah malem nih."
Hian hanya tersenyum dan menggangguk.
Aku diam beberapa detik, menunggu dia mengingat sesuatu. Misalnya.. bertukar kontak, begitu?
..tapi Hian hanya diam, menungguku masuk dengan tenang.
*Kalo kita emang ditakdirkan, entar juga kita pasti ketemu kok Kat.
Aku tersenyum kecut, lalu masuk ke dalam mobil. Kutatap matanya dari dalam. Ia melambaikan tangannya ceria.
Wajahnya kemudian menghilang, berganti dengan jalanan yang gelap dan sepi. Kosong.
Dan tiba-tiba, aku tersentak, menyadari kebodohanku sendiri.
Tidak! Bagaimana kalau kami tidak akan pernah bertemu lagi?!
"Pak, berhenti pak!"
Taksi berhenti mendadak, dan aku segera berlari kencang kembali ke halte.
Namun nihil, halte sudah kosong, Hian sudah pergi.
Tinggal aku sendiri. Aku yang meratapi nasibku sendiri yang menyesal karena menutup kemungkinan aku bertemu dengannya.
Terimakasih, Lelaki hujan. Semoga kita bertemu kembali di masa depan.
===
HAAHH! AKHIRNYA SIAP JUGA.. btw yang dibintangin itu kalimatnya Hian yaa... hihi.
Minggu, 15 November 2015