Kita tidak perlu sempurna untuk dicintai. Terkadang, keunikan kita adalah yang membuat kita istimewa
-jenario and laras-Laras Saputri sedari tadi menatap layar laptopnya. Berjam-jam dia duduk hanya memikirkan kelanjutan cerita yang akan dia buat nantinya. Di hadapannya, kertas-kertas penuh coretan, sketsa karakter, dan sebuah laptop yang terus menyala. Seperti biasa, kekhawatiran menyergap dirinya. "Bagaimana jika aku tidak bisa membuat novel kembali?" pikirnya. Selalu ada ketakutan yang mencekam ketika menyangkut karyanya. Sejak kecil, dia terbiasa menulis, tetapi menulis novel adalah tantangan terbesarnya.
Dia merengut, menatap kembali ke layar yang tampak hampa. Jarinya bergerak dengan lambat di atas keyboard, seolah ragu untuk menekan tombol spasi atau menghapus kata-kata yang sudah dituliskan hanya beberapa kata. Setiap kalimat yang tertera terasa tidak cukup baik. "Laras, kamu bisa melakukannya," bisiknya pada dirinya sendiri, berusaha menyalakan semangat yang mulai pudar.
Sejenak Laras menghentikan kegiatannya. Dia lebih memilih untuk menatap hujan daripada menulis kembali. Suara tetesan air yang jatuh ke atap rumah menciptakan melodi lembut yang membuatnya terlarut dalam pikirannya. Hujan ini membangkitkan kenangan-kenangan lama-masa-masa ketika ia masih kecil dan senang bermain di luar, tanpa rasa takut atau beban di pikirannya. Ia ingat betapa bahagianya saat melompat-lompat dalam genangan air, tertawa bersama teman-temannya, merasakan kebebasan yang tak tertandingi.
Sekarang, di hadapan laptopnya, Laras merasa terjebak dalam rutinitas dan harapan yang membebani dirinya. Dia meraih cangkir teh hangat yang sedari tadi dibiarkan mendingin. Menghirup aromanya yang menenangkan, ia berusaha untuk mencari ketenangan di dalam diri sendiri. "Mungkin aku memang butuh istirahat," gumamnya.
Dia memutuskan untuk beranjak dari kursinya dan berjalan menuju jendela. Dengan penuh rasa ingin tahu, Laras memperhatikan setiap tetesan hujan yang menari di kaca. Lalu, pandangannya beralih pada pohon-pohon di luar yang bergerak lembut tertiup angin. "Apakah ini yang dirasakan Liona di novelnya?" pikirnya. Dia membayangkan bagaimana karakter utamanya berjuang menghadapi masa lalu, sambil tetap berusaha mencari kebahagiaan di tengah badai hidup.
"Kalau aku beristirahat sejenak, apa yang akan terjadi?" Laras bertanya pada dirinya sendiri. Dia tersenyum, menyadari bahwa kadang-kadang hal-hal terbaik datang ketika kita tidak mengharapkannya. Memang, dia perlu memberi ruang bagi pikirannya untuk bernafas, seperti hujan yang memberikan kehidupan bagi bumi.
Setelah beberapa menit mengamati hujan, Laras mengambil keputusan. Dia tidak hanya ingin beristirahat, tetapi juga mencari inspirasi dari luar rumah. Ia mengambil jas hujannya dan sepatu botnya, siap untuk menjelajahi dunia luar, bahkan jika hanya untuk sejenak.
Ketika Laras melangkah keluar, dia merasakan udara segar yang memenuhi paru-parunya. Hujan semakin deras, namun itu tidak membuatnya gentar. Dia menginjakkan kaki di jalan setapak, merasakan genangan air dingin menyentuh sepatunya. Setiap langkah membuatnya merasa lebih hidup, seolah setiap tetesan hujan menari-nari di atas kepalanya, menghapus semua beban yang dirasakannya.
Dia berjalan tanpa arah, membiarkan instingnya yang membimbing. Setiap sudut jalan mengingatkannya pada masa lalu. Beberapa tempat membawa kembali kenangan indah, seperti saat ia dan sahabatnya, Nina, berkeliling di sekitar taman ini, bercanda, dan berkhayal tentang masa depan. Hujan yang sama yang kini mengingatkan Laras pada kebahagiaan masa kecilnya.
Laras tiba di sebuah taman kecil yang dikelilingi pepohonan rimbun. Dia menemukan tempat duduk yang basah namun nyaman, dan memutuskan untuk beristirahat sejenak.
"Kadang, kita perlu menjauh dari segala sesuatu untuk menemukan kembali diri kita sendiri," ucapnya. Dia membayangkan Liona yang juga melakukan perjalanan seperti ini, untuk menemukan inspirasi dan keberanian untuk melanjutkan hidup. Dia menulis tentang karakter Liona yang merindukan masa lalu, tetapi bertekad untuk tidak terjebak dalam kenangan tersebut. "Karena setiap hujan pasti akan berhenti, dan pelangi akan muncul."
Saat berpikir, Laras tidak menyadari betapa cepat waktu berlalu. Dia terhanyut dalam aliran kata-kata yang di dalam pikirannya, cerita Liona mulai hidup kembali. Dia membayangkan bagaimana Liona akan bertemu dengan sosok baru yang mengubah pandangannya tentang cinta dan kehidupan. Albara, pria yang belum ia kenal, tapi sudah terasa kehadirannya dalam tulisannya. Karakter yang akan membuat Liona berani menghadapi rasa sakitnya dan menatap masa depan dengan harapan.
Setelah beberapa saat, hujan mulai mereda. Laras mengangkat kepala dan memperhatikan sekelilingnya. Aroma tanah basah dan segar membawa ketenangan. Beberapa anak-anak mulai bermain di genangan air, tertawa ceria. Melihat itu, Laras merasakan getaran kebahagiaan dalam hatinya. Dia tersenyum, menyadari bahwa kehidupan selalu memiliki cara untuk menghadirkan kebahagiaan, bahkan di saat-saat yang paling sulit sekalipun.
Dia beranjak dari tempat duduk dan mulai berjalan kembali ke rumah. Saat melangkah, pikirannya melayang pada ide-ide yang baru saja ia tulis. Dia merasa lebih segar, lebih siap untuk kembali menulis. Sesampainya di rumah, dia membuka jas hujan dan sepatu botnya. Kemudian dia masuk ke kamar dan duduk di kursi meja belajarnya yang disana ada sebuah laptop. Dia pun membuka laptopnya dengan penuh semangat. Tanpa ragu, ia mulai mengetik kalimat demi kalimat yang sebelumnya terasa sulit.
"Liona melihat dunia di sekelilingnya, merasakan setiap detil yang terabaikan. Ia merasa bahwa hidup, seperti hujan, adalah perjalanan yang penuh warna. Dalam setiap tetes air, terdapat harapan baru yang menunggu untuk ditemukan," tulisnya. Kata-kata itu mengalir deras, seolah-olah semuanya telah dipersiapkan hanya untuknya.
Dalam ketenangan sore, Laras menulis dengan penuh semangat. Dia ingin membuat pertemuan pertama antara Liona dan Albara tidak terduga dan penuh ketegangan, sebuah momen yang akan membentuk perjalanan mereka ke depan. Dia membayangkan bagaimana Liona, dengan segala luka dan ketakutannya, bertemu Albara dalam situasi yang lucu namun menggugah hati. Mungkin sebuah insiden kecil yang membuat mereka terjebak dalam situasi canggung, tetapi pada saat yang sama, menumbuhkan rasa ketertarikan di antara mereka.
Laras tersenyum saat membayangkan semua kemungkinan yang ada. Di dalam pikirannya, dia menciptakan skenario di mana Liona sedang melakukan kegiatan sederhana, entah itu berbelanja atau berjalan di taman, lalu bertemu Albara yang dalam pandangannya terasa misterius namun menawan. Dengan cepat, ia mulai menulis skenario pertemuan tersebut.
"Di tengah keramaian, liona terjatuh, dan albara, yang kebetulan berada di dekatnya, sigap membantu. Dalam momen canggung tersebut, mereka saling bertatap mata, dan dalam sekejap, dunia di sekitar mereka menghilang. Hanya ada mereka berdua, dengan jantung yang berdebar kencang," tulisnya.
Saat itu, Laras menyadari bahwa dia telah menemukan jalan ceritanya kembali. Dia merasa seolah-olah Albara telah muncul dari kegelapan dan mengisi kekosongan yang ada. Dia tak sabar untuk menulis lebih banyak tentang pertemuan mereka, tentang bagaimana liona akan berjuang menghadapi ketakutannya dan menerima cinta yang mungkin ditawarkan oleh Albara.
Tak terasa malam pun tiba, Dia pun menutup laptopnya dengan perasaan bahagia. Dia merasa seolah-olah telah menemukan kembali bagian dari dirinya yang hilang. Dengan semangat baru dan ide-ide segar, dia tahu bahwa perjalanannya untuk menyelesaikan novel ini baru saja dimulai.
"Terima kasih, hujan," bisiknya, dan dengan itu, dia tersenyum, siap melanjutkan petualangannya dalam menulis. Laras yakin, Albara dan liona akan saling menemukan, dan ketika itu terjadi, dunia mereka akan berubah selamanya.
............
Vote
KAMU SEDANG MEMBACA
Jenario and Laras
RomanceLaras dan Jenario pernah satu kelas di SMA, tetapi mereka jarang berinteraksi, hidup di dunia yang berbeda. Laras, seorang penulis, dan Jenario, seniman visual, menjalani hidup mereka masing-masing hingga sebuah reuni mempertemukan mereka kembali se...