Tangan seorang wanita terikat dengan kuat, tergantung pada tali jute yang sudah tiga hari melilit pergelangannya. Ia duduk terkulai di sebuah ruangan lembab yang baunya menyengat. Mata wanita itu terpejam sesaat, mencoba bertahan di antara rasa lelah dan nyeri yang merajalela di tubuhnya. Di sekelilingnya, jerit tangis memenuhi udara, dari tawan-tawan lain yang terkurung di ruangan-ruangan bersekat serupa. Beberapa di antaranya bahkan meringkuk lemah dengan pergelangan kaki terikat, mengerang kesakitan, sementara seorang anak kecil menangis kelaparan di sudut ruangan.
"Tolong, berikan secuil roti saja untuk anak ini."
"Tidak ada roti! Tunggu saja nanti." ucap salah satu penjaga kepada tawanan yang meminta tadi.
Wanita itu hanya bisa mendesah mendengar tawanan lain. Setiap usaha melepaskan diri dari ikatan hanya menghasilkan luka basah di pergelangannya. Ruang itu diselimuti kegelapan, dengan hanya sedikit cahaya yang menyelinap dari lubang kecil hasil ulah hewan pengerat. Di luar, beberapa pria bertubuh besar berjaga dengan senjata di tangan, sama sekali tidak peduli dengan penderitaan para tahanan yang mereka tawan.
Terdengar derap langkah kaki menggetarkan tanah, diikuti terbukanya pintu berjeruji yang mengangkat debu jerami halus ke udara. Beberapa pria keji itu menyeret dan melemparkan tubuh-tubuh baru ke dalam petak yang masih kosong. Kedatangan mereka menandakan sesuatu yang lebih buruk telah terjadi. Wanita itu mengangkat kepalanya, mencoba menahan desah napas yang berat.
"Itulah kenapa tikus-tikus itu seharusnya mau untuk dipakai jadi mainan," olok salah satu penjaga sambil melirik wanita itu. Tatapannya penuh penghinaan, tapi wanita itu tak gentar. Ia mendongak, sorot matanya tajam menusuk, dan ia berbicara pelan namun tegas.
"Kau pikir hidupmu lebih baik? Kalian hanya prajurit rendahan, terkurung di sini bersama bau besi. Apa bedanya kalian dengan kami? Tidak ada. Kalian sama tak bergunanya."
Serangan verbal itu membuat wajah pria berkumis tebal merah padam. Ia mendekat, menodongkan ujung senjatanya melalui celah jeruji dan mengangkat dagu wanita itu dengan kasar. "Kau seharusnya tahu kapan harus diam," desisnya. "Tapi tenang saja, nasibmu sudah tertulis—tubuhmu akan terkubur di sini."
Wanita itu tak membalas. Dalam hati, ia tahu lebih baik menyimpan tenaga untuk sesuatu yang lebih berarti. Namun, ia sadar, kesunyian tak akan membawanya ke mana-mana. Tidak di tempat ini.
Masih dalam napas berat yang tersengal, pintu jeruji petaknya terbuka, rantai berbunyi tajam disusul dengan tubuhnya yang terhempas ke tanah ketika tali jute itu dipotong dalam sekali tebas. Rambutnya ditarik dengan kasar, menyeretnya keluar dari ruangan yang pengap. Kakinya yang telanjang, penuh luka yang belum mengering, dengan langkah terseok-seok ia terseret tanpa daya di atas tanah.
Di luar, cahaya matahari yang menyilaukan menyambutnya, membuat matanya berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan diri. Pemandangan di hadapannya membuat dadanya terasa sesak. Kota Polass yang indah berubah porak poranda setelah mengalami kekalahan atas peperangan dengan Kota Brorich. Jasad-jasad tak bernyawa berserakan di mana-mana, kubangan darah segar mengalir di antara mereka, sementara lalat-lalat mengerumuni tubuh-tubuh itu tanpa ampun. Wanita itu berhenti, terpaku melihat kehancuran di sekelilingnya, tapi tarikan di dilengannya memaksanya untuk terus berjalan.
"Pisahkan dia," perintah seorang pria yang ia duga adalah salah satu prajurit yang tingkatannya jauh lebih tinggi dari pada orang-orang yang menyeretnya tadi. Baju zirah hitam legamnya tak bernoda. Kontras dengan para serdadu lain dengan baju zirah perak yang diwarnai noda darah dan juga gladius yang masih mengucurkan darah segar.
"Kemana kau akan membawaku? Dan mengapa kau pisahkan aku dengan yang lain?" tanyanya, suaranya serak namun penuh harapan agar ada jawaban. Namun, bukannya jawaban, ia hanya merasakan genggaman di lengannya semakin kencang, membuatnya semakin sulit untuk berjalan. Setiap langkah terasa seperti beban yang menambah penderitaannya. Sebuah mimpi buruk yang tidak pernah ia mimpikan sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flos Inter Spinas
Historical FictionDi tengah kegelapan yang tak terbayangkan, Puella Olea, terjebak dalam nasib kelam setelah kotanya dijarah, berjuang untuk mempertahankan harga diri dan kebebasannya. Dipenjarakan di pasar budak yang kejam, Olea harus menghadapi kenyataan pahit yang...