•Bab 3• Desir Malam dan Belati

0 0 0
                                    

Matahari yang oranye perlahan-lahan tenggelam di cakrawala, meninggalkan semburat jingga yang mulai berubah menjadi kelabu. Olea menarik napas dalam-dalam, air matanya masih membasahi pipi, meskipun kini dirinya mulai sedikit tenang telah berjumpa keluarganya walau dalam keadaan yang berbeda. Duka tetap menyelimutinya, namun setidaknya rasa sesak yang tadi menghimpit telah sedikit berkurang.

Di sampingnya, Marthe setia bersimpuh, menemani dalam diam. Jauh di belakang mereka, Peregrine tampak acuh, memainkan belati perak di tangannya, seolah ketidaksabaran menunggunya hanya perkara sepele.

Merasa bosan, Peregrine memutuskan untuk menghampiri. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia melemparkan belati itu ke tanah, tepat di samping Olea.

"Milikmu," ucapnya datar.

Olea mendongak, belati itu sangat dikenalnya. Mengapa belati itu ada pada pria ini? Ia meraihnya dengan cepat, memeluknya erat seakan itu adalah sisa kenangan yang tak ingin dilepaskan.

"Kau dan keluargamu itu—tidak! Kau dan juga bangsamu yang terkutuk itu!" geram sinis, tatapannya tak lepas dari Peregrine.

Marthe, khawatir akan ledakan emosi Olea, mencoba menenangkan, "Olea, tolong..."

Namun, Olea tak merespons. Tatapannya menajam ke arah pria yang kini berdiri di hadapannya.

"Bagaimana kau bisa melakukan itu pada keluargaku?!" desak Olea lagi, suaranya mulai bergetar oleh amarah yang terselubung.

Peregrine hanya menatapnya tanpa ekspresi, lalu berbalik untuk pergi. Baru beberapa langkah, Olea bangkit dan menghalangi jalannya. Sebuah besi dingin kini menempel di leher Peregrine—belati yang tadi dilemparkan kepadanya.

Marthe terperangah, buru-buru melangkah maju untuk mencegah tindakan Olea, tetapi Peregrine mengangkat tangan, meminta Marthe untuk diam.

"Ambil bungkusan dari kudaku Marthe," perintah Peregrine dengan tenang.

Marthe ragu sejenak, tapi segera menurut.

Peregrine kemudian berkata dengan suara rendah dan dingin, "Perang tidak bisa dihindari, seperti wabah yang menyebar dari satu tempat ke tempat lain. Apa yang kau harapkan dari perang? Perdamaian?"

Ia menambahkan dengan nada tantangan, "Sekarang, tunjukkan apa yang bisa kau lakukan dengan belati kecil itu."

Dengan gerakan halus, Peregrine mendekatkan lehernya pada belati, hingga ujungnya menembus kulitnya. Setetes darah segar mengalir, membuat Olea terkejut dan tanpa sadar menjatuhkan belatinya.

"Lihat," katanya dingin, "kau tak cukup berani untuk melakukannya. Perang adalah perang. Tidak ada yang selamat tanpa luka."

Kedua tangan Olea kini mengepal erat, hingga kuku-kukunya melukai telapak tangannya sendiri. Sudah berapa luka yang ia terima? Tidakkah cukup luka fisik yang merobek tubuhnya, kini luka batin yang tak kalah menyakitkan harus ia tanggung.

Peregrine memperhatikan Olea dengan mata tajam. Dalam gelapnya malam yang semakin pekat, rahangnya mengeras, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa ia tolak—semacam api yang menyala setiap kali ia menatap wanita itu. Sebuah kegairahan yang sama ketika ia menghadapi pertempuran, panas dan berbahaya.

"Kau salah menilai. Aku memberimu kesempatan untuk mengucap salam perpisahan kepada keluargamu.." ujar Peregrine tiba-tiba.

Tangan Olea terangkat, siap menamparnya, namun Peregrine menangkap tangannya lebih cepat. Marthe yang baru kembali membawa bungkusan, terkejut melihat adegan itu.

Peregrine mendorong Olea mundur, lalu mendudukkannya di atas batu besar. Ia membuka bungkusan yang diberikan Marthe, mengeluarkan kylix miliknya, dan menuangkan serbuk ke dalam bersama campuran air. Dengan jari telunjuknya, ia mengaduk ramuan itu.

Sapuan halus dirasakan Olea ketika Peregrine membubuhkan ramuan obat racikannya pada luka di kaki dengan jari telunjuknya. Rasa dingin nan perih menyebar cepat dan merubahnya menjadi remang hingga mencapai kuduknya.

Saat jemari pria itu aktif bergerilya, Peregrine kemudian berhenti tepat di atas paha dalam Olea. Tanpa berkata-kata, ia meminta Marthe untuk melanjutkan pengobatan Olea. Setelah itu, ia berdiri, melepas chlamysnya, dan meletakkannya di atas tanah lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

"Sebaiknya kau pakai ini dulu," kata Marthe sambil melilitkan kain milik tuannya di pinggang Olea.

Marthe mendecak, lalu berkomentar, "Yah, Olea... Kau benar-benar membuatku mati berdiri tadi. Kau hampir kehilangan nyawamu karena ulahmu."

"Aku benar-benar tidak mengerti." gumam Olea dengan suara pelan.

"Apa maksudmu?" Marthe mengerutkan kening, membantu Olea berdiri.

"Peregrine," jawab Olea, "sebengis apa dia? Layaknya pembunuh tanpa ampun, namun... hampir seperti dewa yang memberi kehidupan."

Marthe tak menanggapi ucapan itu. Sebab ada hal yang Olea tidak bisa pahami mengapa tuannya bertindak demikian. Ia memutuskan untuk segera membawa Olea kembali ke kamp.

Saat Olea berjalan menjauh, suara Peregrine terdengar kembali di belakangnya, dingin dan penuh teka-teki.

"Jangan salah sangka, Olea. Jika aku memang ingin membunuhmu tadi, kau tak akan punya waktu untuk menjatuhkan belatimu."

"Begitu juga dengan keluargamu. Mereka sudah bertahan. Harus kau akui hal itu." imbuhnya.

Olea berbalik, sorot matanya menyala penuh kemarahan. "Lalu kenapa kau tidak melakukannya? Apa kau menikmati melihatku menderita?"

Peregrine tersenyum tipis, matanya berkilat dalam cahaya bulan yang redup. "Mungkin. Atau mungkin aku hanya ingin melihat sampai sejauh mana kau sanggup bertahan."

Olea merasa perutnya mual oleh ketegangan yang menggantung di udara, dan sebelum ia sempat berkata apapun, Peregrine berbisik pelan.

"Dan percayalah, Olea. Aku selalu tahu kapan seseorang akan menyerah."

Note:
Kylix — sejenis alat minum yang berasal dari zaman kuno, khususnya digunakan untuk menyajikan anggur.

Chlamys — sejenis pakaian luar yang dikenakan oleh pria dalam budaya Yunani kuno.

Flos Inter SpinasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang