Momok yang menghantui

34 12 0
                                    

Kenzo Dirgantara mulai berpikir yang tidak-tidak. Dia mengira bahwa dirinya dalam keadaan setengah gila sekarang. Ada wajah Jingga Pauline di mana-mana. Hingga tak jarang dia sendiri pun terperanjat kaget. Halusinasi itu datang secara berulang tanpa mengatur tempat. Jingga di cermin, Jingga di dalam cangkir kopinya, Jingga di berkas laporan dan Jingga yang tiba-tiba berbaring seranjang dengannya sambil menyeringai cantik. Makin parah ketika wajah perempuan itu muncul di bokser yang tadi pagi dia ambil dari lemari. Sontak pakaian dalam tersebut melayang ke lantai, dan Kenzo hanya sekadar tercengang heran.

Dia tampil dalam keadaan memprihatinkan hari ini. Bagai dejavu jika mengingat tempo hari Jingga Pauline mengalami hal serupa. Kantung hitam di matanya amat kentara. Ekspresi putus asa mencoret ketampanan paripurna miliknya, tampang melongo itu lebih dari cukup sebagai wahana lelucon. Sang CEO tampan berubah menyedihkan gara-gara Jingga Pauline, si karyawan menyebalkan. Dia belum sadar laun-laun presensi perempuan itu telah berhasil mengacaukan kedamaian hidupnya, Kenzo Dirgantara terjatuh lebih dahulu.

Tubuhnya jatuh pasrah di kursi kebanggaan diri. Spontan punggung mendarat ke permukaan sofa nan empuk. Dia bersandar miring, meratapi nasib buruk yang beberapa hari ini terus mengintainya bertubi-tubi. Sungguh Jingga Pauline kini seumpama momok menakutkan baginya, menyebabkan dia tak lagi dapat melakukan aktivitas apa-apa dengan benar.

"Sialan! Aku terjebak!" Kepalanya terdorong ke belakang. "Nona Pauline, aku perintahkan dirimu agar tidak mengikutiku lagi. Mengerti?! Atau mau dipecat?!" monolognya dalam suara berat dan lirih. Kenzo Dirgantara justru tampak sakit bagi orang-orang yang sehat.

"Bos, Anda baik-baik saja?" Kecamuk di pikiran menyebabkan Kenzo kehilangan fokusnya. Sejak tadi Samantha, sekretarisnya mengetuk pintu berkali-kali. Akibat tak mendapat respons, kecemasan menarik langkah wanita itu untuk masuk ke ruang CEO tersebut. 

"Ya, ya, aku tidak apa-apa." Kenzo melambai-lambaikan tangannya masih dengan posisi semula. "Aku cuma diserang penyakit gila," katanya seperti seseorang yang sedang meracau. Sampai dia menjatuhkan kepalanya ke meja, Samantha tersentak ke belakang. Untung ada sofa yang menangkap tubuhnya, atau lantai keramik siap menyambut pantatnya.

"Ada apa dengan wajahmu, Bos? Apa Anda kerasukan? Menakutkan sekali." Sambil mengoceh Samantha memajukan badannya ke depan. Ekspresi bodoh yang terbaca di wajah bosnya membuat dia bergidik ngeri. "Mau saya panggilkan paranormal, bos? Orang-orang tidak akan berani melihat wajah Anda yang seperti ini. Ini lebih buruk dari hantu perjaka kesepian."

"Samantha, diam! Sekali lagi bicara, bonusmu saya potong." Seruannya seketika menguasai sampai Samantha kembali menjadi sosok sekretaris nan elegan. Dia berdeham anggun sebelum mengatur duduk cantik di depan CEO-nya.

"Maaf, Bos! Saya kira Anda benar-benar kesurupan. Saya membawa undangan rapat dari salah satu klien baru kita. Beliau mengundang kita untuk datang ke tempat pribadinya, setelah itu akan ada jamuan makan siang." Samantha menyampaikan laporannya dengan formal berikut raut serius yang menakjubkan.

"Gantikan aku. Katakan pada mereka jika ada perkembangan baru saya yang tangani—astaga, kepalaku ini pusing sekali." Kepalanya dicengkeram, lebih menonjolkan bahwa dia sedang kesal.

"Baik, Bos! Anda mau kopi?"

"Tambahkan sedikit gula."

"Tapi, biasanya ... saya mengerti," Sorot mata mengenaskan di hadapannya menahan protes Samantha untuk ditelan lagi.

"Samantha!" panggilnya saat wanita itu baru beranjak dari kursi. "Suruh office boy membeli kue pao. Saya perlu sesuatu yang manis untuk memulihkan mood yang berantakan ini."

"Ada lagi, Bos?"

"Tidak, hanya itu." Begitu Samantha keluar dari ruangannya, Kenzo Dirgantara beringsut ke toilet guna membasuh muka di wastafel. Sekurangnya dapat mengikis kantuk yang menyerang.

.
.
.

Di hadapan cermin di atas wastafel, Kenzo Dirgantara memperhatikan lamat-lamat pantulan dirinya, mengangkat jemari guna menyisir rambutnya ke belakang. Dua menit dia berdiri di sana, memastikan parasnya terlihat lebih baik. Dia mendesah lega saat menjumpai itu jauh tampak wajar, kecuali kantung hitam yang belum memudar. Butuh tidur nyenyak supaya gangguan itu menghilang dari ketampanannya.

Pindah ke meja, Dirgantara mendapati sekotak kue dan secangkir kopi panas dengan kepulan asap tipis tersedia. Kelegaan samar-samar terukir di wajahnya. Dia bergegas menarik kursi, duduk untuk menikmati hobi terbaik yang selalu diinginkannya. Memakan tiga atau empat potong kue pao dalam kesunyian. Bagi orang-orang mungkin hanya kue biasa, tidak ada yang istimewa. Namun baginya, kue terenak sedunia ini membawa akal dan hati ke dalam suka cita. Apalagi buatan tangan sang ibu, yang menurut penilaiannya sampai kini rasanya masih menduduki nomor satu.

Selagi menggigit kelembutan kue pao itu, ketukan pintu menyebabkan suaranya terdengar penuh. Masih mengunyah, mau tidak mau dia menjawab dan mempersilakan masuk. Kemunculan Jingga Pauline dari balik pintu lagi-lagi berhasil memukul telak dirinya. Kenzo tersedak, buru-buru dia mereguk kopi yang jelas panas. Sangat panas sampai lidahnya terbakar. Berujung kopi pum menyembur dari mulutnya.

Kejadian barusan mendorong langkah Jingga segera mendekat. Dia berdiri di sebelah Kenzo, lalu menepuk-nepuk pelan tengkuk si pimpinan. "Anda tidak apa-apa?" Kekhawatiran tergambar kabur di paras Jingga. Dia lantas mengambil sebotol air mineral dari lemari pendingin mini yang berdekatan dengan bufet televisi. "Ini!" katanya seraya memberikan botol tersebut. Sejemang desahan berat mengudara dari bibir si CEO.

"Terima kasih."

"Lain kali jangan minum kopi panas, lidahmu bisa melepuh." Jingga mengucapkan peringatan itu, dia benar-benar panik usai mendapati sepasang mata Kenzo berubah merah.

Entah kesialan apa yang mengurung Kenzo Dirgantara, sampai kejutan tak ada habisnya muncul untuk membuatnya hilang kendali. Sungguh untuk sekarang keberadaan Jingga tidak baik bagi kesehatan jantungnya. Seraya mengangkat sebelah tangan ke hadapan Jingga, Kenzo hela napasnya berulang-ulang.

"Nona Pauline, bisa kamu duduk sekarang?" titahnya ketika merasa cukup tenang. Jingga yang tak melepas pandang darinya cuma menanggapi lewat anggukan lambat. "Ada yang ingin kamu sampaikan?"

Kebimbangan terbaca terang di bias mata Jingga. Sambil hendak menurunkan berkas di dekapannya, dia terus mengamati keanehan pada diri Kenzo Dirgantara. Pasalnya belum pernah dia menyaksikan Sang CEO bersikap baik dan tenang kepadanya, melainkan dominasi angkuh lah yang kerap dia lawan.

"Laporan yang Anda minta ... sudah berhasil saya siapkan."

"Jangan di situ!" pekik Dirgantara tiba-tiba, sontak Jingga pun turut menahan gerakannya. "Nanti berkasnya kena kopi, maaf karena mengejutkanmu. Aku tidak bermaksud."

"Maaf," ucap Jingga masih ragu-ragu. Perilaku Kenzo Dirgantara menjadi pusat atensinya saat ini. Daripada mendengar semua nada ketus yang sempat diucapkan bosnya itu, kegugupan pimpinannya adalah kenyataan paling tak biasa yang baru dia jumpai.

"Ti-tidak apa-apa. Aku hanya takut berkas itu rusak dan kamu harus menggantinya lagi. Taruh saja di sana! Aku akan melihatnya setelah meja ini dibersihkan," Kenzo mengumumkan disusul Jingga hanya mengangguk sekali lagi. Kemudian pandangannya tertuju pada sepiring kue pao.

"Anda suka kue pao?" ekspresi Jingga menjadi santai akibat menemukan kue pao yang memang pula adalah satu dari sekian banyak kue kesukaannya.

"Ya."

"Saya juga sangat suka," dia terbuka dengan lantang.

"Kamu boleh mengambilnya kalau mau."

"Sungguh?! Saya benar-benar tidak bisa menolak kue ini, Pak." Jingga mengangkat semua kue berikut piringnya, bahkan sisa kue yang semula dimakan oleh Kenzo.

"Eh, Nona Pauline ..."

"Terima kasih, ya. Anda baik sekali hari ini. Katakan pada saya jika ada kesalahan dalam laporannya." senyum Jingga mengembang kala mengatakan kejujuran itu, tak ayal meninggalkan kesan lebih bermakna bagi CEO muda. Kenzo bergeming di posisinya seraya mengikuti nalarnya untuk mengumbar senyuman terbaik.

"Kamu juga membawa bekas gigitanku? Lucu sekali."  Kenzo Dirgantara tak tahu apa yang dia alami. Tersenyum walau orangnya telah berlalu pergi, andai dia paham dia akan mengerti tanda-tanda tengah kasmaran.

*Tolong beri tanda jika menemukan kesalahan dalam penyebutan nama, ya. Aku memang belum membacanya ulang sebelum publish. Terima kasih :)*

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: a day ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Comfortt̶ableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang