Kemarahan Jingga

67 15 2
                                    

Tepat pukul sepuluh malam ratusan berkas-berkas sepenuhnya rampung tersusun rapi. Sesuai dengan perintah CEO menyebalkan yang kerap berhasil membuat Jingga jengkel bukan main. Hela napas pun tak tanggung-tanggung ditariknya demi menghabiskan jenuh yang tersisa. Kepala pening, mata perih, nyaris mual akibat menghadapi gundukan kertas usang berdebu tersebut.

"Jelek! Monster kangguru! Gue pasti nulis banyak makian buat Lo. Liat aja entar! Biar gue gak lupa sama muka Lo yang songong itu. Dasar kelinci besar!" Sambil memukul-mukul pelan pundaknya yang kaku Jingga tiada henti mengumpat. Tubuhnya benar-benar letih, belum lagi otak yang seolah kram akibat terlalu banyak menelan urutan angka pada setiap lembaran.

"Loh, Neng Jingga belum pulang?" Pak Bambang selaku salah satu sekuriti perusahaan datang menghampiri dia ketika menyadari di ruangan itu masih berpendar cahaya. Sudah menjadi tugas wajib bagi Pak Bambang untuk memeriksa seluruh ruangan di perusahaan dalam situasi normal, tiada hal mencurigakan.

"Iya nih, Pak. Dapat lembur dari si Bos. Ini baru kelar. Apa masih ada orang selain saya, Pak?" tanya Jingga sembari mengecek sepintas penampilannya. Lalu, dia tak lupa menekan sakelar lampu.

"Ada, Neng. Tapi, saya lihat sudah siap-siap mau pulang juga." Pak Bambang menjawab seadanya tanpa abai terhadap sekeliling, ke ruang-ruang yang sudah gelap dengan sebuah senter menyala di tangannya. "Hati-hati ya, Neng," kata Pak Bambang ketika Jingga izin untuk pergi lebih dahulu dari sana. 
.
.
.

Di trotoar Jingga berulang kali menguap bersama perasaan yang turut gelisah. Dia juga mulai tidak nyaman dengan kondisi tubuhnya yang gerah. Hampir seperempat jam dia menunggu tak satupun driver online menerima orderannya. Jingga hendak berteriak kasar saat mendapati baterai ponselnya tersisa hanya dua puluh persen. Saking sibuk berkutat dengan hukumannya, dia tidak sempat mengecas gawai. Mustahil pula menghubungi temannya di jam malam seperti ini di mana orang-orang mendambakan waktu istirahat yang damai.

Tatapan Jingga menyipit bertepatan sebuah sedan metalik hitam berhenti tepat di hadapannya. Dia menyelipkan rambut ke balik telinga, sedikit merunduk guna mencermati sosok di bangku pengendara yang samar-samar dia yakin mengenali. Kening Jingga langsung mengernyit setelah matanya puas menjamah rangka mobil di tengah-tengah pencahayaan minim. Diam-diam dia merutuk dalam hati. Entah apa lagi ulah bosnya kali ini sampai secara tiba-tiba muncul di depannya. Jingga acuh tak acuh sekaligus memampangkan raut dingin, sengaja melipat tangan ke dada sambil membuang muka ke sisi lain.

"Jangan jual mahal! Cepat naik!" Ajakan bak perintah. Kenzo Dirgantara tidak memerlukan usaha keras untuk menyulut kekesalan Jingga.

"Enggak sudi! Sebentar lagi jemputan saya datang. Anda pergi aja!"

"Aku tunggu satu menit, kalau tidak naik aku pergi. Kudengar di sini sering dilewati geng motor atau begal. Semoga kamu selamat," katanya sembari menarik persneling. Dari ekor matanya tentu dia dapat melihat kecemasan pasa gelagat Jingga. Sepenggal teriakan menghentikan injakan kakinya pada pedal gas. Dia tidak bohong bahwa wajah Jingga benar-benar tegang. Sedikit sesal muncul ke permukaan usai menyaksikan perempuan itu seperti gemetar.

Jingga menelan kasar salivanya. Dengan jantung yang kini berdentum rapat dia memasang sabuk pengaman.

"Siapapun orangnya sangat tidak manusiawi meninggalkan orang lain di kawasan berbahaya seperti ini." Terbilang begitu saja dari birai  ranumnya.

"Memojokkan orang lain tidak selalu membuatmu benar. Aku bahkan menawarkan tumpangan padamu dan kamu yang menyalak."

"Katakan cerita Anda itu bohong!"

"Enggak usah bawel! Aku perlu konsentrasi sekarang." Kenzo melirik ringkas ke samping, masih bergelut dengan penyesalan semula. Dia sungguh tidak mengira Jingga akan termakan ucapannya dan menjadi kalut demikian.

"Anda keterlaluan jika cuma untuk menakut-nakuti saya!"

"Sudahlah! Kudengar mereka tidak akan menyerang perempuan pemberani. Jadi, kamu aman!"

"Saya benci Anda." Jingga mengatakannya dengan tekanan amarah, mata berkaca-kaca. "Pokoknya benci, benci, benci, benci! Anda menyebalkan!"

"Terserah. Aku juga tidak suka dengan orang sepertimu, bukan tipeku." Sikap tenang Kenzo dan ucapan pedas yang dia lontarkan menyebabkan Jingga lagi-lagi membuang pandang, enggan berdebat. 

.
.

Belum lama lipatan menit bersusulan. Hawa senyap yang mengiringi mereka tahu-tahu lenyap. "Aw, sshh ..." Jingga sontak meringis, "Anda mau bunuh saya? Kalau gak mahir jangan nyetir," hardik Jingga dini tindakan Kenzo Dirgantara mengerem tiba-tiba mengakibatkan sikunya berbenturan dengan dasbor.

"Tenanglah! Jangan kayak anak kecil. Aku bisa sungguhan marah di sini." Serta merta Jingga bergeming, terperanjat oleh pandangan tegas dari sepasang jelaga si Bos muda. "Tunggu sebentar, aku perlu melihat keluar," timpal Kenzo lagi sambil dia membuka pintu mobil untuk bergegas memastikan kondisi di belakang. Sejemang pria ini berdecak, meledakkan kedongkolannya dengan satu kali tendangan mengenai salah satu ban. "Sial!" makinya di tempat. Ban itu memang bocor. Bentuknya tak lagi bulat penuh, bagian bawah sudah merata dengan aspal.

"Apa yang terjadi?" tanya Jingga panik begitu Kenzo kembali masuk ke mobil dan dia menjumpai kegusaran di wajah lelaki itu.

"Bannya bocor."

"Ya Tuhan ...! Kita terjebak di tempat ini."

"Maaf. Aku tidak membawa ban lain. Kita harus menunggu bantuan, aku sudah menghubungi seseorang." Kenzo segera menelepon kenalannya sebelum naik ke mobil. "Sepuluh menit lagi jam sepuluh. Apa kamu sudah makan?"

"Saya enggak lapar." Jingga menyahut seadanya, menyandarkan punggungnya pula ke permukaan jok. Seharian penuh dilewati tanpa ada secuil pun kegembiraan, justru terisi oleh rentetan peristiwa buruk.

"Di depan ada mini market. Kalau berjalan kaki pulang balik kira-kira lima belas menit." Seraya menunjuk ke depan, Kenzo menjelaskan situasi di sekeliling mereka. "Aku akan ke sana sebentar. Tidak perlu takut, pintunya aku kunci." Jingga mengangguk ragu-ragu. Dia kepalang khawatir dan cape, namun tak ada pilihan yang lebih baik. Sejujurnya dia juga punya masalah di dalam perutnya saat ini. Jingga hanya memakan dua bungkus roti di siang itu dan satu cup milk sake, beruntung dia tak bermasalah dengan asam lambung. 
.
.
.

Kenzo membawa satu kantung berisi makanan dan protein instan. Dua kaleng kopi dan dua botol air mineral. Hela napasnya mengudara cukup berat dini dia kembali duduk di kursi kemudi. Ketika melirik ke samping dia menemukan wajah Jingga yang terlelap.

Ada yang berbeda dari perempuan itu dalam keadaan tidur demikian. Kenzo Dirgantara menyukainya. Wajah Jingga terlihat polos, lebih manis saat tertidur. Amat berbeda dengan siklus perubahan ekspresi yang dia saksikan belakangan. Sudut-sudut bibirnya pun perlahan naik begitu saja. Bertindak agak lancang, Kenzo nekat sembari berhati-hati menyingkirkan helai rambut yang menghalangi kecantikan Jingga. Efeknya sangat lekas memancing senyum merekah di paras CEO muda. "Aku jadi tidak yakin kamu bisa jadi menyebalkan. Cantik sekali. Kamu sangat cantik, Nona Pauline."

.
.
.

Comfortt̶ableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang