"Apa kamu akan mengatakan sesuatu?"
Sekitaran kafetaria masih lenggang, hanya beberapa mahasiswa yang duduk termasuk Hinata dan Tenten. Tenten kentara menyimpan rasa penasaran di benaknya sejak menyaksikan percakapan Hinata dengan pria asing tempo hari. Dan di hari ini dia hendak menuntut penjelasan.
"Jika tidak? Kamu mau apa?"
"Ya terserah. Bukan urusanku juga. Secara teknis aku berpikir sebagai teman tentu pantas berbagi. Aku juga tidak akan tahu seandainya kamu membual soal pria itu. Setidaknya gelar pertemanan di antara kita masih ada artinya."
Hinata mengesah, mengambil botol mineral untuk ditenggaknya pelan-pelan. "Kamu sudah telanjur melihatnya juga 'kan? Mau tidak mau aku perlu memberitahumu—dia pria yang akan menikahi ibuku."
Tidak ada drama keterkejutan, meski berita tersebut cukup mampu membuat Tenten melongo di depan Hinata.
"Kamu sedang bermimpi, ya? Apa kamu tidak puas dengan penampilan ayahmu sebelumnya, maka kamu ingin mencari seorang ayah yang lebih muda dan gagah? Masuk akal, sih. Tapi itu sedikit kejam."
"Dasar bodoh! Ayahku memang tua, tapi dia tetap menjadi satu-satunya ayah terbaik untukku."
"Lalu, kenapa pria muda itu yang bakal menjadi ayah sambung-mu?"
"Tanya ibuku. Kamu pikir aku menginginkan semua ini? Jika ada seseorang yang ingin menggagalkan pernikahan ibuku, akulah orang di barisan terdepan."
"Wah, apa upayamu? Kira-kira berapa persen keberhasilannya?"
Pundak Hinata merosot selaras kepasrahan berembus dari belah bibirnya. "Nol persen. Ibu bahkan tidak peduli mengenai pendapatku, apalagi keinginanku. Dia dibutakan omong kosong si pirang."
"Si pirang itu tampan, kamu tidak menyangkalnya 'kan? Ibumu juga masih pantas bersanding dengan dia. Atau barangkali ibumu yang mengejar-mengejar si pirang, siapa tahu 'kan? Mengemban julukan single parent cukup berat bagi sebagian orang, terutama wanita."
"Kamu makin mengada-ngada. Dilihat dari pandangan manusia normal, ibuku sebenarnya tidak membutuhkan pendamping. Ibu bisa menjadi single parent berkualitas, ayah pergi bukan tanpa meninggalkan apa-apa. Aku pun sudah terlalu dewasa untuk punya ayah sambung."
Penuturan tadi terdengar tepat jika memandang dari segi kemakmuran keluarga Hyuuga.
"Omonganmu bakal percuma tanpa usaha. Buktikan kalau kamu memang ingin pernikahan ibumu dengan si pirang itu batal."
Seketika Hinata pening. Pernikahan itu ada di depan mata. Sementara, dia sungguh tak memiliki wacana apapun untuk mencegahnya. "Kamu ada ide? Aku bingung, cara baik-baik tidak mempan."
"Ya pakai cara kotor." Spontan mengerutkan dahi, entah apa maksud perkataan Tenten ini. Hinata tidak menangkap sesuatu yang cocok dapat dia gambarkan di kepalanya.
"Aku harus fitnah dia?"
"Memangnya kamu kenal si tampan itu?"
"Tidak."
"Opsi yang salah. Jangan coba-coba memfitnah siapapun jika kamu tidak mendalami seluk-beluknya. Kamu bisa langsung dicap pembohong oleh ibumu."
"Bukannya tadi aku bilang tidak memiliki solusi? Aku tidak perlu mendengar nasihatmu, Tenten. Tapi, beri aku solusi."
Gelas ramping yang sudah berembun itu diteguk tandas isinya. Tenten tak peduli saat sedotan mengeluarkan bunyi berisik dari dasar gelas. "Es tehku habis. Aku mau pesan lagi dan kamu yang bayar, ya? Ideku ini mahal soalnya. Tidak semua otak menyimpan taktik brilian. Ambil atau abaikan?"
"Pesan bergelas-gelas sampai kamu kembung juga boleh. Tapi, jangan katakan jika yang ada di dalam pikiranmu cuma kalimat random. Aku tahu kamu selalu bicara seenaknya dan tidak difilter."
"Iya, iya. Aku paham, kok—Kyoko, aku mau teh persiknya lagi. Gelasnya yang lebih besar, ya. Aku sangat haus." Gadis seumuran mereka menjadi salah satu waiters di kafetaria itu. Dia buru-buru datang begitu Tenten memanggil namanya.
"Kamu tidak pesan lagi, Hinata?"
"Ehm ... berikan aku mochi taro dan keju cokelat, ya!"
"Baiklah, segera disiapkan."
"Terima kasih, Kyoko." Senyumannya tidak akan terlihat oleh si gadis waiters yang lebih dahulu memunggungi dia. Kerjanya memang harus cepat dan siaga agar pengunjung yang rata-ratanya mahasiswa tidak menunggu lama. Sebagian kecil dari mereka cukup tipis kesabarannya. "Balik ke pembicaraan tadi, Tenten. Apa jalan keluar yang kamu sarankan?"
"Rebut saja si pirang dari ibumu. Kamu pacari dia, buat dia supaya berpaling dan melupakan ibumu. Setelahnya aku jamin pernikahan itu tidak terjadi."
"Astaga ... kamu bandit sialan. Kenapa aku masih juga percaya, sih?! Aku sudah menduga akan seperti ini. Tapi, tidak menyangka bahwa kamu bisa lebih gila dari biasanya."
"Terserah. Kamu bisa rebut dia dengan cara kotor."
"Apa yang kotor? Tolong sebentar bertingkahlah sebagai manusia normal, Tenten. Aku nyaris putus asa karena mendengarkanmu di sini."
"Aku pribadi siap lakukan hal serupa bila di posisimu."
"Iya, tapi apa caranya? Kamu belum juga mengerti ucapanku? Dia bukan kucing yang gampang dipancing dengan ikan, Tenten." Untungnya sebesar apapun amarah Hinata, suaranya tetap merendah. Tidak meledak-ledak seperti orang-orang mengamuk pada umumnya.
"Pakai racun kek, bius kek ... kamu cuma mau supaya pernikahannya batal 'kan? Ya itu jalan keluarnya. Atau bikin dia mengalami kecelakaan dan,"
"Stop! Aku tidak mau dengar lagi!"
"Oke." Sementara Tenten sadar terhadap penggalan katanya adalah serius. Kendati Hinata kerap menganggap dia sering asal berbicara. Alhasil bibir tipisnya merenggang lebar nan rapat, seolah persetan untuk reaksi Hinata yang terang-terangan menyepelekan idenya. "Terima kasih minumannya. Kamu tidak mungkin menarik kembali 'kan? Tenang saja, kapanpun kamu merasa genting silakan coba solusi dariku ini."
"Ya, aku sangat BERSYUKUR. Kamu memang cerdas."
"Tentu. Banyak yang bilang pikiranku ini seksi," katanya pula sembari mengenakan kacamata hitam miliknya. Tak acuh saat Hinata menatap geli ke arahnya.
"Semoga mimpi burukmu berakhir. Teman yang baik selalu mendoakanmu." Kemudian, Hinata rasa dia membutuhkan udara segar yang banyak. Dimulai dari tarikan napas lumayan panjang. "Ahh ..." Itu sedikit mirip teriakan. "Bagaimana dengan One Night Stand untuk membuat nama ayah tirimu buruk di mata ibumu? Aku yakin cara ini pasti berhasil, Hinata."
-----
"Kenapa kamu tidak datang? Apakah urusanmu serumit itu?"
"Hanari, maafkan aku. Situasi di luar kendaliku. Di dunia bisnis kita tidak bisa sembarangan mengubah rules dan perjanjian. Orang-orang akan bercerita mengenai kinerja buruk dan amatir. Namaku akan tercoreng.
"Kita akan menikah. Kenapa kamu seperti menghindar? Aku menyetujui resepsi diadakan tertutup tanpa kartu undangan resmi karena kupikir itu demi menjaga privasimu. Tidak menyangka akhirnya jadi begini. Kamu mengundurkan tanggalnya tanpa berdiskusi denganku."
"Demi privasimu, tolong koreksi sekali lagi. Risiko lebih besar menghampirimu Hanari. Aku memikirkan penilaian orang andai tahu kamu menikah di masa berkabung. Suamimu baru saja meninggal. Apa kamu dapat menjamin opini masyarakat?"
"Demi Dewa, jangan mengalihkan topik Naero. Sikapmu ini membuatku waswas. Barangkali kamu berubah pikiran kapanpun kamu mau. Mudah buatmu mengacak-acak rencana yang kita sepakati, tidak menutup kemungkinan mudah juga untukmu membatalkan pernikahan ini. Aku benar 'kan?"
"Itu hanya kekhawatiranmu saja. Jaga diri, Hanari. Aku telepon lagi jika kamu sudah bisa berpikir jernih."
![](https://img.wattpad.com/cover/356048344-288-k341646.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Hypnotic (Commission) ✓
RomantikMakan malam terburuk yang pernah dialami oleh Hinata, dia kontan menganggapnya demikian. Ini lebih parah dari gosip-gosip kurang ajar tentang dia di antara teman-teman di kelasnya. Mereka duduk bertiga mengelilingi meja bundar berisi sajian makanan...