Sembahyang rutin sebelum kakinya melangkah keluar rumah, Hinata senantiasa meluangkan sejenak waktu untuk merapal doa di hadapan patung Buddha. Ada patung mendiang ayahnya di samping benda suci itu. Dia sengaja menempatkanya agar bisa sekalian mengirimkan doa kepada penghuni langit demi kesejahteraan dan keselamatan sang ayah. Begitu khidmat terlihat, dia berdiri setengah badan bertumpu pada lutut dan kakinya sembari menangkup tangan dengan mata terpejam. "Semoga semua orang diberi kemudahan dalam urusannya, terima kasih untuk kesempatan di hari ini. Aku harap-"
"Aku senang akhirnya kau jadi datang. Tadinya kupikir akan ditunda lagi. Ayo, duduklah! Mau minum apa? Kopi, teh, atau yang dingin-dingin?!"
"Apa saja asal kau yang membuatkannya."
Percakapan manis ini seketika memancing keingintahuan Hinata. Dia beranjak, mengayun pijakan menuju pintu berbatas tirai berwarna merah tua.
"Dasar! Kau sangat pandai merayu orang."
"Tapi, di sini tidak ada orang lain selain dirimu, Hanari. Keberatan kalau aku sedikit bermain kata? Hanya untuk menyenangkan hatimu, sayang."
"Naero, jangan begitu. Anakku masih di rumah. Takutnya dia dengar, aku bisa malu."
Tentu Hanari tidak menyadari faktanya. Hinata, putrinya telanjur merekam obrolan mereka. Terlebih, dia sempat melirik dari balik kain pintu. Apa yang dia temukan bagai sebentuk letupan kaget yang menyerang tiba-tiba.
"Ibu?!" Monolog gadis ini. Dahinya berkerut menegaskan bahwa dia belum sepenuhnya memahami situasi sekian. "Sejak kapan ibu mahir berdandan? Aku tidak pernah melihatnya mengenakan baju seperti itu." Hanya gaun sutra putih mutiara, panjang di bawah lutut dan sepatu hak setinggi lima senti. Dengan pakaian itu ibunya tampak jauh muda, cantik juga anggun. Hinata sampai tidak percaya atas presensi dalam pandangannya.
"Apa tidak sebaiknya aku bertemu dia? Kita segera menikah, aku perlu mengenal seperti apa calon putriku. Benar 'kan?"
"Itu sudah pasti. Apalagi alasanku mendesak dirimu agar datang jika bukan untuk melihat Hinata? Dia gadis yang baik. Kami memang jarang bercakap-cakap, tetapi aku yakin putriku berkelakuan positif. Dia cerdas dan penurut, lebih sering di rumah daripada keluyuran."
"Firasatku mengatakan kalau dia sama cantiknya denganmu." Pria jangkung berbadan kekar ini menarik pinggang Hanari, menikmati sekon-sekon yang terlewati dengan saling memuja lewat tatapan. "Kau cantik sekali, aku tidak akan bosan-bosan mengamatimu."
"Ini godaan juga?"
"Tulus, Hanari. Aku terpikat padamu di pertemuan pertama kita. Begitu ada yang bilang kau sudah bersuami, aku sungguh heran dan nyaris tak percaya. Aku sampai menanyakanmu kepada salah satu kolegaku, untungnya dia tahu mengenai Tuan Hyuuga. Dari situ aku cuma bisa menelan ludah dalam keadaan pasrah. Aku suka tantangan, tetapi bukan untuk merebut milik orang."
"Jadi, sekarang kau senang karena aku janda?"
"Hei, aku bukan lelaki brengsek. Aku tidak mungkin tersenyum di atas musibah orang lain."
"Aku bercanda," tanggap Hanari serta tawanya yang halus.
"Ke sini, kau! Wanita nakal!"
"Hei, hei, hentikan! Anakku bisa di mana saja. Barangkali dia tengah memperhatikan kita."
"Biarkan, aku sama sekali tidak keberatan." Yang dilakukan pria berambut pirang ini adalah mendekap pinggang Hanari. Satu potongan adegan kembali membuat dada Hinata bergemuruh. Bermula heran. Lalu, kini dia merasakan kemarahan terhadap tindakan tak senonoh ibunya tersebut. Perempuan macam apa yang tega bermesraan dengan pria lain kala pemakaman suaminya belum genap sebulan? Konon pula, Hanari tak biasa menunjukkan sikap manja berikut perkataan manis semasa Tuan Hyuuga masih hidup.
"Lepaskan tanganmu, Naero! Apa kau tidak ingin minum?"
"Haruskah?"
"Terserah, aku tidak suka memaksa."
"Apa kau punya option berbeda?"
"Naero-"
"Ya, baiklah, sayang. Aku anggap profilmu sebagai nilai plus. Atau aku tidak sudi mengalah untuk apa yang hampir aku dapatkan."
"Bersabar sebentar tidaklah buruk." Entah topik apa yang keduanya bahas. Begitu tangan-tangan si pria asing melepas panggulnya, Hanari pun bergegas menuju dapur guna mengambil segelas air dingin.
"Kau menawarkanku tiga minuman. Dan yang kau berikan cuma segelas air putih? Wow, calon istriku benar-benar luar biasa."
"Kita baru dari luar. Kau meminum dua gelas cocktail. Jika berencana menjadikanku istrimu, maka kau perlu menyesuaikan diri, sayang. Aku yang akan mengatur cara makanmu. Bagiku kesehatan lebih penting."
Dalam keheningannya, Hinata meremas kain pintu amat keras. Seolah-olah perkataan tadi menusuk hatinya terlampau dasar. "Ibu bahkan tidak peduli dengan apapun yang ayah makan."
"Maksudmu kau mengambil peran ganda, sayang? Ingin menjadi dokter pribadiku, Hanari?"
"Sederhana, Naero. Setiap manusia ingin membenahi dirinya di masa lalu. Aku takut mengecewakanmu karena tidak becus sebagai istri. Maka dari itu aku berniat mencobanya dari sekarang, mulai dengan hal-hal sederhana terkait kebiasaan makan dan kesehatanmu. Andai kau tidak setuju, kita masih bisa merundingkannya."
"Orang bodoh mana yang tidak menyukai gagasanmu ini, sayang. Aku menyerahkan seutuhnya di tanganmu. Racun pun siap aku minum bila menurutmu itu baik." Sejemang Hanari mendesah ringan, menggeleng-geleng sebab kehabisan kata-kata untuk menjawab ucapan random calon suaminya.
"Silakan diminum. Aku ke dalam dulu sebelum Hinata melihat penampilanku, takutnya dia shock."
"Ehm, ya. Aku bisa menunggu."
Berujung Hinata menghempas gorden dari tangannya, kepalang muak setelah menyaksikan dialog yang dia anggap cukup picisan untuk dilakonkan oleh sejoli itu. Alhasil dia pergi melalui pintu yang terhubung langsung dengan kamar pribadinya.
-----
"Ibu kira kau sudah ke kampus. Biasanya jam segini 'kan?""Dosennya tidak masuk. Aku malas menunggu di kampus untuk mata kuliah berikutnya." Praktis berbohong. Pasalnya, dia terus dibayangi romantika ibunya dan si pria asing.
"Jadi, jam berapa kau akan berangkat?"
"Kemungkinan sore."
"Ah, ya sudah." Kemudian, Hanari merasa cukup gugup untuk mengutarakan maksudnya. Dia berdeham agar bisa setidaknya mengurangi kebimbangan, "Ibu ingin mengenalkan seseorang padamu. Ini Naero Ueman, teman ibu. Kami-akan menikah bulan depan."
Reaksi Hinata sungguh tidak dapat ditebak. Dia lebih dahulu menduga pengumuman ini, meski di benaknya spontan meneriakkan penolakan.
"Hai, Hinata. Aku menantikan pertemuan ini. Maaf baru bisa berkunjung." Suaranya sontak mengundang atensi gadis itu, hingga lekas mendongak dan mereka bertemu pandang dalam suasana tak biasa. Khusunya bagi Hinata, dia terjebak pada daya tarik Naero Ueman.
"Kau boleh memanggilnya Paman Naruto jika mau. Ibu pikir nama ini lebih familiar buat kita, agar kau juga gampang akrab dengannya." Informasi barusan menambah lagi pertanyaan di kepala Hinata. "Ibu meresmikan nama itu ke kantor kedutaan. Tapi, tidak melepaskan data aslinya selaku warga negara asing. Dengan begitu Naero tidak mengalami kesulitan dalam urusan operasional apapun."
"Aku ... aku tidak tahu mesti berkata apa," cetus Hinata seadanya usai dia buru-buru menunduk untuk menghilangkan rasa grogi yang mendera. "Semuanya di luar perkiraanku. Kepergian ayah masih sangat dini bagiku."
-----

KAMU SEDANG MEMBACA
Hypnotic (Commission) ✓
RomanceMakan malam terburuk yang pernah dialami oleh Hinata, dia kontan menganggapnya demikian. Ini lebih parah dari gosip-gosip kurang ajar tentang dia di antara teman-teman di kelasnya. Mereka duduk bertiga mengelilingi meja bundar berisi sajian makanan...