º³º

168 29 10
                                    

Kakinya mengentak-entak ke paving block, meluapkan kekesalan yang telanjur memuncak ke ubun-ubun. Pasalnya sejak di dalam laboratorium ponselnya terus menerus bergetar. Nomor baru masuk mencoba menghubungi dan Hinata sengaja abai akibat tugas penelitian tengah dia kerjakan. Namun, nomor tersebut tak kunjung jemu memanggil walau tiada tanggapan dari dia. Saking marahnya, Hinata sedikit berteriak sebelum nyalinya meluruh mendengar bariton asing yang baru dikenalnya.

Sekarang di sini lah dia berdiri, memberengut memperhatikan sosok laki-laki tinggi kekar di balik kursi kemudi. Ketika sekali bunyi klakson menyapanya, dia pun praktis membuka pintu mobil untuk duduk geram di samping lelaki tersebut.

"Kenapa kau menggangguku?!" Bukan perkataan yang pantas, melainkan Hinata memang tak berniat ramah.

"Kelewat percaya diri. Bukan keinginanku menelepon dirimu. Hanari butuh kau untuk menemaninya ke butik dan dia memintaku agar bersedia menjemputmu kemari. Dia juga memberikan nomor ponselmu padaku. Bisa dibilang aku terpaksa melakukannya. Apa kau puas?"

"Terserah! Kukatakan padamu aku benci ide seperti ini! Apa kau tahu kerugian apa yang aku alami? Penelitianku gagal! Seharusnya lusa aku sudah bisa melaporkan hasilnya kepada dosen. Tapi, lihat akibatnya?! Kau berhasil membuatku dalam masalah." Dadanya naik turun serempak kelopak mata berlinang. "Tidak ada satu pun dari kalian yang memahami posisiku. Memangnya apa yang bisa aku harapkan dari orang asing?!"

Naero sedikit prihatin dalam hatinya, meski dia tak memiliki ruang untuk bertindak lebih jauh. Embusan napasnya mengudara perlahan-lahan sembari dia menengok ke sebelah dengan kernyit di dahi. "Jadi, apa yang kau inginkan dariku?"

"Aku tidak tahu. Andai kukatakan pun mustahil kau mau mengabulkannya."

"Apa?"

"Bisakah kau meninggalkan ibuku, pergi sejauh yang kau mampu agar tidak terlihat lagi olehnya?"

"Tidak."

"Aku sudah menebak jawabanmu. Jangan bicara apapun lagi! Aku sungguh tidak peduli." Lantas, Hinata memutuskan menelan seluruh tuntutan yang semula ingin dia ungkapkan. Dia memunggungi calon ayah tirinya, menyembunyikan tangis yang tak lagi terbendung.

-----

Hampir sepertiga jam mereka di perjalanan menuju rumah. Naero bergeming sekejap seiring napasnya mengudara tenang. Dia mengambil selembar sapu tangan dari saku celana, menyerahkannya kepada Hinata yang sekarang tampak sembab.

"Gunakan ini! Aku tidak mau Hanari berpikir yang tidak-tidak jika melihatmu dalam keadaan buruk seperti itu. Aku tahu kau tidak menyukaiku, tetapi cobalah berusaha dengan tindakan positif bila kau memang segitu inginnya menyingkirkan diriku-Hanari sudah menunggumu. Masuk lah duluan, ada sesuatu yang perlu aku lakukan dan membutuhkan privasi."

Tentu Hinata menangkap makna dari perkataan calon ayah tirinya tadi. Dia bergegas keluar sambil menyapu seluruh wajahnya dari sisa air mata. Bukan sebab dia takut atau semacamnya, sekadar enggan memancing kecurigaan ibunya yang bisa-bisa mempertanyakan kondisi wajahnya.

"Aku pulang!"

"Hinata, di mana Naero?" Hanari menyambutnya dari dapur. Ibu yang masih terlihat awet muda ini tengah menyajikan kue ke piring berikut tiga cangkir teh hijau.

"Di mobil. Katanya dia akan menyusul."

"Ah, ya sudah. Kau langsung ganti baju saja, ya. Ibu siapkan kue dan teh untuk kau minum nanti. Kita akan mengobrol sebentar sebelum pergi."

"Dia bilang aku yang menemani Ibu. Apa dia juga ikut?"

Hanari tersenyum bersahaja, senyum seindah kelopak mawar yang mekar. Dia mampu mencerna pemilihan kata-kata pada ucapan Hinata, terdengar ketus di telinga walau tak bernada lantang. "Naero cuma mengantar kita. Tadinya Ibu memang minta ditemani dia. Kebetulan pekerjaan sedang menantinya. Dia perlu membiasakan diri terhadap rekan-rekan dan suasana baru di sini. Jadi, Ibu kira dia harus menyelesaikan itu." Sementara, Hinata bungkam seraya berjalan ke kamarnya. Penjelasan Hanari cukup untuk membuatnya terpaksa menerima situasi.

"Hai, maaf jadi merepotkanmu." Langkah kaki Naero menarik atensi Hanari hingga dia menengok ke pintu, menyapa calon suaminya itu dengan sebuah dekapan hangat.

"Bukan masalah. Anggap saja ini salah satu caraku menyesuaikan diri denganmu."

"Kau sangat luar biasa. Aku tidak yakin pria lain bisa sepertimu." Saling memandang dalam tatapan penuh kasih. Di mata mereka tak sedikitpun terbaca kebohongan atau sandiwara. "Hinata memang agak pendiam. Tapi, dia baik juga penurut. Aku belum pernah melihat dia membantah mendiang ayahnya. Aku harap demikian padamu kelak." Di punggung Naero jemari Hanari mengusap lembut, hingga sebentuk afeksi mendorong mereka untuk menjemput manisnya berciuman. Singkat, namun sungguh mendebarkan dan menyenangkan. Itu terpampang nyata di raut keduanya.

"Berarti aku orang yang tepat untukmu."

"Tentu saja. Jika bukan, kita tidak mungkin berencana menikah."

"Ya, lega sekali rasanya karena selangkah lagi harapanku terkabul. Aku bisa mempersuntingmu." Hanari menarik pergelangannya, menggiring ke meja pantry di mana sepiring kue dan teh hijau semula tersaji.

"Kita berbincang sejenak bersama Hinata. Boleh 'kan?"

"Kau yang mengatur segalanya, sayang. Aku pasti mendukungmu," kata Naero jangka menyesap hati-hati teh bagiannya.

Barangkali Hinata yang memang terlampau peka akan sekitar, sampai-sampai dia kembali memergoki adegan romantis di antara sejoli di sana. Ciuman itu berputar-putar di kepalanya, persis peristiwa tempo hari. Perasaannya pun masih sama, dia tak menyukai keintiman demikian. Sensasi berbeda menyerang ke sudut hati, Hinata cemburu menyaksikan kemesraan ibu dan calon ayah tirinya. Di balik tirai pintu kamarnya dia menggeram marah, menelan penyangkalan yang datang mengusik kedamaiannya selama ini.

-----

"Bu, kita pergi sekarang?!" Serta merta penuturan sekian menghentikan tawa canda di pantry. Ibunya kontan memandang dia dalam keheningan sepintas.

"Duduklah dulu, Hinata. Kita segera berangkat setelah membicarakan beberapa perkara."

Mau tak mau dia mengambil tempat kosong di sela-sela ibu dan calon ayah tirinya.

"Kenapa tiba-tiba ibu merasa penting melibatkanku dalam percakapan ini?" Mereka semua terkejut termasuk Hinata yang sendirinya heran atas keberanian dia.

"Kita hanya berdua saat ini, Hinata. Kepada siapa lagi Ibu dapat bertukar pendapat? Ibu hanya mau kau juga mulai menerima pilihan Ibu. Tanpa restumu pernikahan itu tidak terasa benar dan lengkap."

"Apa Ibu bakal membatalkannya jika aku bilang tidak setuju?"

"Hinata-" Air muka Hanari berganti seratus delapan puluh derajat, kentara dia risi oleh pengakuan Hinata. "Agaknya Ibu perlu menegaskan satu hal bahwa pernikahan akan tetap diadakan apapun halangannya, tidak terkecuali egomu."

"Apa?! Ibu masih bisa menuduhku begitu? Kurasa pria ini memberi pengaruh negatif pada Ibu. Bagaimana ..."

"Cukup! Hentikan omong kosong itu, Hinata!"

Naero sebagai pria tunggal di sana tiada berdaya mendinginkan ketegangan yang menyerang. Matanya terpejam ringkas pertanda dia menelan kegundahannya.

"Aku hanya bingung. Setelah semua kejutan atas ulah Ibu, bagaimana bisa Ibu masih mengataiku egois? Tolong berkaca, Bu! Sejak awal Ibu lah yang tidak mempertimbangkan kedudukanku sebagai anak di sini! Permisi!"

-----

Hypnotic (Commission) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang