1. The Visual

57 13 0
                                    

Api dari lentera yang menempel di sudut dinding nyala-redup oleh embusan angin.  Derap langkah terburu-buru ialah penyebabnya. Gaun berbahan beludru menyapu lantai serta menggibas cukup kuat oleh gerakan tajam setiap berkelok dari lorong ke lorong.

Mereka menyebutnya putri bukan tanpa alasan. Selain dari darah biru yang mengalir di pembuluh darah, visualnya ialah bukti nyata yang tak bisa disangkal.  Kulitnya licin nan lembut bagai porselen. Surai legam bergelombangnya bak jalinan sutra. Wajah cantik paripurna tak akan lekang oleh waktu. Aura yang melekat memancarkan keanggunan absolut. Termasuk ketika dia berlari panik melarikan diri.

Jisoo mencengkeram hulu pedang yang telah keluar dari sarungnya. Tungkainya mengikuti jejak anggun seorang putri yang menghindarinya. Dia tidak terburu-buru seperti mangsa di depan. Toh dua belokan lagi yang akan menjumpai mereka adalah balkon tua setinggi enam belas meter dari atas tanah.

Sungguh sebuah perbedaan yang sangat kontras.

Dengung bunyi yang mereka bawa bertolak belakang. Langkah Jisoo diiringi gemerincing rantai yang berasal dari zirah yang menempel di tubuhnya. Sementara sang putri berupa gemeresik lembut hasil singgungan kain dan ornamen permata. Satu-satunya persamaan di antara mereka hanyalah jenis gender.

Ketukan sepatu besi Jisoo melambat seiring maniknya menjumpai sang putri yang melunglai terpojok di tepi balkon. Dia berbalik. Gerakan tersebut menciptakan efek dramatis; helai legamnya tertiup angin laksana tirai terbuka yang menunjukkan paras jelita.

Jisoo menutup jarak sebanyak tiga langkah dari putri. Tangannya terangkat ke depan, menaruh pedangnya sama lurus dengan ujung menempel di leher sang lawan. Dari sudut pandang mana pun, semua orang sudah bisa menebak siapa yang memerankan korban dan penjahat.

Dalam ingatan samarnya, satu kalimat di penghujung sebuah buku mendadak muncul dalam benak.

Jika kamu adalah superhero, apa yang akan kamu perbuat?

Jawaban klasik bagi orang pencinta kedamaian tentunya akan berupa; menyelamatkan dunia. Jisoo pun begitu. Namun, menyelamatkan dunia versi Jisoo berbeda dengan sudut pandang orang-orang. Sebab, sebagaimana definisinya, superhero adalah orang yang berani, gigih, pejuang kebenaran, pahlawan. Dan Jisoo adalah pahlawan untuk dirinya sendiri.

“Jisoo.” Permohonan sang putri lekas dipotong dengan timah tajam yang menimbulkan garis berwarna merah. Berbanding terbalik dengan jiwanya yang telah mati rasa. Dia tidak terpengaruh walau raut melas di depannya sanggup meluluhlantakkan semua atensi juga empati.

"Putri, Anda tentunya paham alasan saya melakukan semua ini." Jisoo memandang tanpa riak sembari menguatkan genggaman pedang. Sementara si putri cantik menggeleng-gelengkan kepala disertai air mata yang mengalir di pipi. Tubuhnya dibasuh cahaya rembulan laksana pelakon utama opera di atas panggung. Jisoo tersenyum oleh karenanya. Memang benar demikian. Sayangnya, tidak akan ada pangeran atau penyelamat. Ini adalah pertarungan antara mereka berdua.

“Hanya ada satu matahari dalam sebuah galaksi,” bisik Jisoo seiring dimulainya alunan musik tragedi. “Dan matahari itu adalah aku.”

***

Surai keemasan miliknya berkibar ketika tudung jubah besar yang sedang digunakan perlahan merosot. Judith berdiri di balkon kastil Hitam dengan mata memicing, mencoba menangkap presensi seseorang yang baru saja masuk gerbang. Dia lekas berbalik begitu mengenali aroma gerangan yang dibawa angin.

Kai.

Dia adalah jendral pasukan khusus kerajaan Helios. Seorang penyihir berdarah campuran yang terlahir tanpa kekuatan suci. Dia pria tangguh. Jabatannya diraih dari jerih payahnya sendiri. Seorang manusia yang sanggup mematahkan standar masyarakat bahwa wilayah istana hanya dapat ditinggali penyihir murni.

Judith tidak tahu alasan kedatangan orang sepenting Kai di hari yang sangat istimewa bagi kerajaan Helios. Harusnya pria itu masih di istana merayakan kelahiran kedua sang ratu.

Tujuh ribu anak tangga kastil dengan mudah ditempuh Judith dalam lima detik menggunakan kekuatan sihirnya. Pintu depan terbuka, Kai merangsek masuk dalam kilatan detik. Judith masih belum paham ketika Kai secara berlebihan menutup pintu dengan mantra. Lelaki itu lekas meraihnya dalam dekapan.

Ini bukan pelukan penuh kerinduan. Judith sangat mengenal watak Kai. Kendati dia tidak melihat raut wajahnya, Judith tahu bahu berdetar di depannya disebabkan oleh kegetiran. Namun, hal itu tidak membuatnya terkejut. Judith lebih terkejut pada sesuatu yang membatasi mereka. Sesuatu di balik jubah hitam kebesaran Kai.

"Kai," lirih Judith terkesima.

Pelukan merenggang. Kai menyibak kain yang menutupi subjek fokus Judith. Tubuh mungil itu menggeliat dalam bedungan hingga yang tampak hanya wajah. Mulutnya menguap sebelum tertawa khas yang mana membuat Kai dan Judith tersenyum. Namun, Judith tersadar satu hal semenjak mengenali visual si bayi.

"Kau menculik bayi Ratu?" tanya Judith tak habis pikir.

Kai menggeleng-gelengkan kepala sebagai jawaban. Dia membuka lapisan kain si bayi hingga bahu telanjangnya terlihat. Ada ukiran mahkota berwarna hitam di kulit lembutnya. Gerakan yang sanggup menepis sorot curiga wanita itu.

Judith mengulurkan tangan, jemarinya bergetar menyentuh tanda kelahiran yang kini bersinar redup nyala. Sungguh, dia telah kehilangan kata.

"Raja memerintahkan untuk melenyapkan bayi ini." Kai berkata seraya menatap sendu. Tangannya ikut mengelus ukiran mahkota hitam. "Katanya, dia adalah ancaman untuk kaum penyihir. Hanya karena tanda ini. Hanya karena ramalan yang belum pasti keabsahannya. 'Tak apa', lanjutnya. Toh mereka masih punya bayi lainnya. Bayi yang memiliki tanda kemuliaan bukan hitam arang berbahaya."

Sunyi merajalela. Baik Judith dan Kai sama-sama terdiam. Pun si bayi sekadar tersenyum polos tanpa suara. Seolah-olah mengetahui cara bersikap di situasi tersebut.

Mereka tahu bahwa setiap insan yang lahir dengan ukiran mahkota adalah calon seorang pemimpin. Entah itu ratu ataupun raja. Namun, ada hal yang menyertai selain bentuk mahkota. Warna. Hanya ada dua warna dan dua kemungkinan. Putih untuk kejayaan atau hitam untuk kehancuran.

Malam ini, dua warna itu muncul bersamaan dari rahim yang sama. Walau keputusan memusnahkan yang hitam dianggap kewajaran sebagaimana bentuk pencegahan kebinasaan umat. Kai tidak bisa melaksanakan perintah tersebut. Di mana letak hati nuraninya jikalau sanggup membunuh bayi yang baru lahir?

"Kai, apa yang akan kau lakukan setelah ini?"

Tidakkah Judith dapat menebaknya? Atau pertanyaan tersebut ialah retorik belaka?

"Mulai hari ini," ucap Kai sembari menarik napas panjang, "nama bayi ini adalah Kim Jisoo. Dia adalah bayi kita. Dia akan menjadi penyelamat untuk kaum penyihir."

Lebih tepatnya, untuk kaum penyihir yang terlahir tanpa kekuatan murni.

***
To be continued

Sword Of Sun || Jisyong Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang