4. Execution

17 5 0
                                    

Jisoo tahu dunia yang dia tinggali minim keadilan. Penuh dusta, licik, egois, oportunis, rusak, gelap.

Papa Kai bukan tipe ayah yang akan memanjakan putrinya. Bukan ayah yang akan memberinya harapan palsu. Dari kecil, papa Kai selalu menunjukan fakta sekali pun pahit ditelan. Jisoo beruntung karenanya. Dia tumbuh menjadi sosok berprinsip realistis.

Kehidupan sederhana yang diimpikan setiap gadis seperti menikah lalu bahagia selamanya adalah fana. Bagi Jisoo, dunia seperti itu terlalu utopis. Bukannya dia meremehkan harapan umum tersebut. Tidak, Jisoo justru menghargainya. Mereka hanya belum melihat sisi gelap dari balik dinding Helios. Dan Jisoo sama sekali tidak berniat menghancurkan imajinasi indah mereka. Dia ingin semua perempuan baik dari Helios dan Barbarios setidaknya memiliki mimpi manis seperti itu. Makanya, dia rela bertindak nekat untuk memperjuangkan sebuah keadilan.

"Tetapi mengapa, mengapa aku harus dikhianati olehmu, Papa?"

Seperti orang bodoh, Jisoo menunggu lama di dalam lindungan barier. Namun, Papa Kai tidak juga muncul bahkan setelah dirinya berhasil membuka segel kekuatannya. Jisoo bahkan mencoba telepati. Namun, yang didapatkannya sekadar lubang hitam. Jisoo tidak bisa masuk ke dalam pikiran Papa Kai. Beliau memblokirnya.

Tahu-tahu, pintu depan puri terbuka. Tahu-tahu, Papa Kai didampingi Lee Taeyong dan beberapa prajurit menodong pedang ke arahnya. Jisoo tidak mengerti permainan apa yang sedang dilakukan papanya.

Jisoo tidak bergerak, masih duduk bersimpuh kendati dikepung. Irisnya tertuju pada Papa Kai. Bukan lubang hitam yang terlihat. Itu membuatnya menyadari satu hal.

Tarian yang dia gerakan bukan untuk membuka segel kekuatan, melainkan mengurungnya dalam barier yang diciptakan dirinya sendiri. Dia dimanipulasi. Nyatanya, Papa Kai-lah yang mengontrol kekuatan murni miliknya hingga dia tidak bisa menggunakan sesuka hati. Dadanya meletup oleh emosi. Hanya dengan menatap sang papa, Jisoo tahu apa yang sedang terjadi.

Bahwa dia hanyalah pion. Alat yang akan digunakan kerajaan untuk memonopoli kaum penyihir di luar lingkungan Helios. Bahwa dengan kekuatan Jisoo yang mampu merenggut kekuatan murni seorang penyihir, teror akan menyebar hingga semua wilayah akan tunduk pada Helios.

Jisoo dibesarkan hanya untuk dibohongi.

"Mimpi untuk mematahkan aturan rasis kaum Barbarios juga kebohongan, ya?" tanya Jisoo sewaktu mereka mengubah barier menjadi jeruji kotak yang memiliki roda.

Papa Kai tidak menjawab. Beliau melengos, mengabaikan Jisoo dengan memerintahkan membawanya ke dalam istana menggunakan teleportasi.

Dalam sekejap, Jisoo telah berpindah. Di hadapannya bukan lagi ribuan pedang yang menggantung di dinding, melainkan singgasana yang diisi oleh raja, ratu, serta seorang putri.

"Berkah dan anugerah milik Helios. Salam untuk Yang Mulia Raja Yuwana. Salam untuk Yang Mulia Ratu Helena. Salam untuk Yang Mulia Putri Leiah."

Jisoo tersenyum getir mendengar penghormatan yang dipimpin Papa Kai. Tangannya mengepal kuat menahan sesuatu yang berkecamuk dalam hatinya. Matanya mengabur, terhalang oleh bulir air mata yang mengumpul di pelupuk. Jadi, pada akhirnya dia ditakdirkan seperti ini. Diperlakukan bagai budak baik oleh keluarga dan rakyatnya sendiri. Namun, yang membuat sanubarinya sesak ialah ketika menatap langsung sang raja. Bukan tatapan dingin, Raja Yuwana mengirimkan memori masa lalu ketika baru dilahirkan. Bahwa faktanya dia hendak dibunuh seketika, tetapi Papa Kai mengusulkan rencana memperalat Jisoo dengan kekuatannya.

"Tidak perlu marah, Sayangku. Kau harusnya bersyukur masih hidup sampai saat ini."

Ada yang salah dengan akal orang-orang di istana Helios. Bagaimana mungkin seorang raja, ayah kandungnya, mengucap kalimat demikian. Kalimat yang hanya berasal dari mulut seorang tirani.

Sword Of Sun || Jisyong Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang