Terima kasih telah melamar untuk posisi Data Entry di perusahaan kami. Setelah mempertimbangkan kualifikasi dan kecocokan Anda, kami memutuskan untuk tidak melanjutkan proses rekrutmen pada tahap ini.
.
.
"Oy," panggil Alam sambil menepuk pundak Binar keras, buat si pemuda 27 tahun itu terkejut dan buru-buru mematikan layar ponsel yang menunjukkan display surel tanda penolakan lamaran kerjanya itu.
"Ngagetin aja sih lo," sungut Binar sambil menggeser badannya sedikit supaya Alam bisa duduk di atas bangku yang sama dengannya. Alam terkikik.
"Lagian, kering amat muka lo. Lagi ngeliatin apa sih?" tanya Alam seraya meletakkan dua cangkir besar minuman susu jahe di atas meja, kemudian duduk di sebelah Binar.
Saat ini, mereka sedang mampir sebentar di sebuah warung tenda yang menjual berbagai macam menu hidangan, termasuk susu jahe yang mereka pesan. Setelah menerima hasil penjualan kue basah hari ini, Binar tiba-tiba merasa tidak ingin langsung kembali ke rumah. Maka, dia meminta Alam untuk membawanya mengitari kota dan kemudian melipir sebentar ke warung tenda ini untuk menghabiskan waktu beberapa lama sambil menikmati susu jahe yang menghangatkan di malam yang dingin.
Yang ditanya menghela napas panjang. Binar menggeleng, dirinya memilih untuk tidak menceritakan masalah penolakan lamaran kerjanya itu karena dia merasa bahwa hal tersebut bukan sesuatu yang besar sampai perlu dia ceritakan pada sahabatnya.
"Kenapa? Ditolak lagi ya?" tanya Alam peka.
Binar memang sudah beberapa puluh kali mengirimkan surel lamaran kerja ke banyak perusahaan selama tiga bulan menganggur. Sejak hari pemecatan itu, ada dua aplikasi yang paling sering dia buka di ponselnya: email dan m-banking miliknya. Dua aplikasi tersebut harusnya bisa menjadi sumber kebahagiaannya kalau saja email-nya berisi balasan perihal diterimanya dia di posisi yang dia lamar alih-alih surat penolakan; juga saldo uangnya yang bertambah dalam jumlah masif alih-alih tanda minus yang berjejer di histori transaksinya (dan beberapa tanda tambah dengan nominal yang sangat sedikit). Apalagi, waktu jatuh tempo untuk membayar utang mendiang orang tuanya sudah di depan mata.
"Stop ngintip-ngintip layar hape gue dari belakang ya, Lam," imbau Binar dengan mata memicing ke arah Alam. Tangannya menyambar salah satu cangkir besar yang terletak paling dekat dengannya lalu menyeruput isinya perlahan.
Alam mengernyitkan alisnya tidak terima. "Heh, buat apa gue ngintipin privasi lo kalo cuma dengan lihat muka lo aja gue udah bisa tau isi pikiran lo?" omelnya.
Binar berkedip cepat. "Emang sejelas itu ya?" tanyanya lirih. Alam memutar bola matanya malas.
"Haruskah gue bawa kaca gede dari kamar mandi warung ini ke depan muka lo supaya lo bisa lihat sendiri?" tanyanya sarkastik. Binar tersipu.
"Gimana ya Lam... udah mau jatuh tempo tapi gue masih belum ketemu kerjaan yang stabil. Gue takut dia dateng lagi buat ngancem nenek gue," ungkap Binar dengan ekspresi penuh kekhawatiran.
Alam memandang wajah sahabatnya itu prihatin. "Udah, yang itu nggak usah dipikirin dulu. Selagi lo percaya pasti bakal ada jalan," ucapnya berusaha menenangkan. "Info dari temen gue kemaren udah lo pertimbangin belom?"
Ah, ya. Beberapa hari yang lalu, Alam sempat menawarkan sebuah pekerjaan pada Binar. Teman Alam yang bekerja sebagai pelayan tetap di sebuah warung kopi bilang bahwa mereka sedang membuka kesempatan bekerja sebagai pelayan di sana. Tawaran yang cukup bagus untuk pengangguran seperti Binar, tetapi satu hal yang membuatnya mempertimbangkan kesempatan ini: mereka hanya menerima karyawan paruhwaktu dan sedang tidak membuka lowongan untuk pekerja purnawaktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not for Sale [Doshin]
FanfictionBinar--si Malang yang menanggung kenyataan pahit dengan segenap jiwa dan raganya, bertemu dengan Gilang--si Mujur yang punya segalanya yang materiil di dalam hidupnya kecuali cinta sejati. Di tengah-tengah segala kemalangan yang terus menerus mener...